Selasa, 21 Oktober 2008

Sastra Melayu; Sejarah Awal

 201).Istilah sastra Melayu rendah atau sastra Melayu Tionghoa digunakan untuk menyebutkan karya sastra dalam bahasa melayu yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. Kosakatanya banyak dipengarui oleh bahasa dalam kehidupan sehari-hari atau bahasa pasar, khususnya unsur-unsur bahasa Tionghoa. Oleh karena itulah pada zamanya sering disebut bahasa gado-gado atau capcai. 202) istilah Melayu Tionghoa juga sering disebut sastra Melayu Tionghoa peranakan. Mereka adalah golongan peranakan yang sudah lahir di Indonesia yang ikut menghasilkan, mendukung, dan menikmati karya sastra Melayu. Mereka adalah masyarakat yang mengalami keterputusan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.
 Di samping itu sampai akhir abad 19, pemerintah kolonial melarang bangsa Tionghoa untuk sekolah di sekolah Belanda. Bahasa Melayu rendah dilawankan dengan bahasa Melayu Tinggi, yaitu bahasa melayu yang digunakan di Semenanjung Melayu, yang digunakan dalam karya sastra Balai Pustaka. Bahasa Melayu Tinggi dengan demikian(203) identik dengan bahasa sastra tinggi. Pemerintah kolonial memang antipati terhadap etnis Cina, dan dengan demian terhadap bahasa dan sastra Tionghoa, dengan alasan bahwa masyarakat Tionghoa menganut paham Marxis, berakiran kiri, agresif, lebih banyak menolak kebijakan pemerintah kolonial. Masyarakat Tionghoa juga ditempatkan pada daerah tertentu dan sastranya dianggap sebagai bacaan liar.
 Perdebatan tentang Melayu Tionghoa belum banyak. Pada umumnya pembicaraan ini muncul dalam kaitanya dengan masalah angkatan. Seperti diketahui, angkatan dalam sastra Indonesia modern dimulai dengan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan seterusnya. Seolah ada keenganan para sarjana untuk menghindari karena;
1. Sastra Melayu Tionghoa adalah adalah karya-karya yang secara khusus diapresiasikan di kalangan masyarakat Tionghoa peranakan, jadi bukan merupakan bagian sastra Indonesia.
2. Tidak adanya data yang untuk dibicarakan.
(205) Sejak awal Alisjahbana(1957:58) telah menyatakan Bahwa bahasa Melayu Tionghoa adalah Varian bahasa Melayu yan sudah tersebar luas di kepulauan Nusantara dan telah mempengarui perkembangan Bahasa Indonesia. Kita ketahui bahasa Indonesia mendapatkan pengaruh Bahasa yang sangat banyak dan hal ini justru menguntungkan karena derajat bahasa Indonesia bertambah tingggi.
 Seperti yang diketahui, khazanah sastra Indonesia memiliki ciri khas yang unik yang tidak mungkin dimiliki oleh bangsa lain. Dengan mengutip pendapat Ajib Rosidi ( 1964:5-6) Pengertian modern dalam sastra Indonesia adalah semangat politis, bukan semata-mata Zaman, era, periode, dan perkembangan historis lainya. Oleh karena itu sastra Indonesia modern pada dasarnya tidak mengenal istilah dan tidak bisa (206) dilawankan dengan sastra Indonesia lama sebab pengertian yang terakhir ini digantikan dengan sastra-sastra daerah, yaitu keseluruhan sastra yang ada di wilayah Nusantara. Termasuk sastra melayu itu sendiri. oleh karena itu hubungan pergertian modern meliputi tiga aspek;
1. Ditulis dengan huruf latin dan di sebarkan secara luas dengan teknologi modern
2. Mengunakan bahasa Indonseia atau pada masa kolonialisme melayu.
3. Mengunakan bentuk baru, karena pengaruh sastra Barat seperti: cerpen, novel, drama, dan puisi. 
Sastra yang lahir sebelum abad ke-20 diangap sebagai sastra daerah. Sastra Melayu Tinggi dengan demikian mengalami keterputusan historis, terpecah menjadi dua kelompok baik secara liteler amaupun secara kultural. Sebaliknya, sastra Melayu Tionghoa sejak awal pertumbuhanya hinggga abad ke-20 tetap eksis. Bila dikaitkan dengan penulsnya sastra sebelum abad ke-20 dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Karya sastra yang ditulis oleh orang-orang non Tionghoa seperti penulis pribumi dan belanda. Pada umumnya penulis tesebut adalah wartawan. Seperti F.D.J. Pangemanan, H.F.R. Kommer, F. Winger, G. Francis dan Mas Marco Kartodikromo, R.M. Tirto Ardisoeryo.
2. Karya sastra yang ditulis oleh orang Tionghoa, diawali oleh Thio Tjien Boen (Oey se,1903), Gouw Peng Liang (LO Fen Koei,1903), dan Oei Soei (Njai Alimah, 1904). Sejak penerbitan ini terjadi perkembangan pesat dalam bidang sastra Melayu Rendah.
Sastra Melayu Tionghoa sangat kaya, hampir selama satu abad 1870-1960-an rentang waktu yang yang sama bahkan melebihi seluruh periode Balai Pustaka hingga tahun 2000-an. Jumalah buku yang dihasilkan sebanyak 2.757 judul buku. Yang terdiri dari anonim 248 judul, sehingga jumlah keseluruhan sekitar 3.005 judul. Dengan rincian 1398 novel dan cerpen alsi, 73 sandiwara, 183 syair, 233 terjemahan sastra Barat, 759 terjemahan karya sastra dari bahasa Cina. 
 208) kekayaan dan keberagaman sastra Melayu Tionghoa ini jauh melebihi Khazanah Balai Pustaka. Demikian juga kekayaan yang terkandng didalamnya. Sastra Balai Pustaka misalnya terbatas hanya menampilkan masalah kawin paksa. Sebaliknya sastra Melayu Tionghoa tema-temanya sangat beragam. Seperti politik, Kritik sosial, nasionalisme, dan yang paling penting antikolonial. Berbeda dengan sastra Balai Pustaka yang terbatas bicara seperti hanya berbicara dalam kerangka regional saja, yang sesuai politik orientalisme sedangkan sastra Melayu Tionghoa menampilkan hubungan antarbangsa. Dari hal in kita dapat melhat sebenarnya apakah peran Balai Pustaka dalam perkembangan sastra kita, kita selalu dibuat untuk menjauhi hal yang berhubungan dengan yang bersifat Tionghoa dan dituntut untuk selalu memarginalkan mereka.  
 (209) Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia mengangap Balai Pustaka sebagai suatu angkatan dalam periodesasi sastra yang diploklamasikan oleh H.B Jassin secara umum. Tetapi yang mendominasi pengarang pada Balai Pustaka adalah para pengarang Suematralah. Seperti pendapat Sykorsky, pakar sastra Indonesia dari institut Kesustraan Asia Timur, Moskow dalam ceramahnya di Pusat Pengkajian Kebudayaan UGM, Yogyakarta (Jumat, 8 Maret 1991). Menurutnya karya sastra tidak akan lahir melalui penerbitan(Balai Pustaka), dan dengan sendirinya tidak lahir melalui lembaga kolonialisme. Dalam litelatur sastra Rusia misalnya novel Siti Nurbaya tidak perna disebut justru yang muncul karya-karya Marco Kartodikromo dan Semaun.
211) Peranan bahasa Belanda 
 Bahasa Belanda masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-16 bersamaan dengan kedatangan Belanda. Hal yang sama juga terjadi pada India dalam kasus bahasa Inggris pertama kali masuk juga saat Inggris datang. Dibandingkan dengan bahasa penjaja lain yang perna datang ke Indonesia perkembanganya sangatlah lambat bahkan hanya orang tertentu atau sebagian kecil orang Indonesia yang menguasai bahasa Belanda. Karena penyebaranya hanya di sekolah-sekolah yang bertujuan khusus untuk membuat tenaga adminitrasi yang murah. Sebelum perang Dunia II hanya 2% penduduk Pribumi (Hindia Belanda) yang dapat bahasa Belanda. Selain itu juga bahasa Belanda sebagai gengsi pemimpin dibandingkan fungsinya sebagai bahasa pergaulan. Sejarah perkembangan bahasa Belanda dibagi menjadi tiga periode: a) periode VOC (abad ke-17 hingga abadke-18), b) periode politik etis hingga abad ke-20, c) periode sekolah swasta(liar) 1920-1942.
 Periode (217)politik etis berkaitan dengan kesadaran pemerintah kolonial, bangsa Belanda terhadap Hindia Belanda. Seperti yang diketahui politik etis atau yang disebut politik balas budi bertujuan untuk memajukan Bangsa Indonesia(Hindia Belanda). Baik di bidang pendidikan maupun kesejahteraan, politik yang dimaksud sering dikaitkan dengan tulisan Van Deventer yang berjudul ”Een Eereschuld” utang kehormatan yang dimuat dalam majalah DE GIDS (November, No.63,1899). Menuerutnya semenjak dilakukan sistem tanam paksa 1830 da sistem liberal tahun 1870 pemerintahan kolonial Belanda telah melakukan eksploitasi.
 Dalam rangka memajukan bahasa Belanda, tahun 1901 Direktur Pendidikan Abendemon, kemudian penasihat Urusan Pribumi. Snouck Hurgronje membuka kursus-kursus bahasa Belanda untuk pribumi. Meskipun usaha dilakukan secara formal dan implisit tetapi hasilnya sangat lambat. Sebaliknya bahasa Melayu walaupun tersebar hanya secara implisit tetapi berkembang pesat. Lebih lagi disahkanya penulisan bahasa melayu dengan tulisan latin. Dengan ejaan yang disusun oleh Ch. Van Ophuijsen (1901). Bahkan tahun 1902 direktur pendidkan Abendomen mewajibkan semua sekolah mengunakan ejaan Van Ophuijsen. Suatu aturan yang memperkuat bahasa Melayu. Berdirinya Balai Pustaka tahun 1908 menyediakan bacaan yang murah dengan bahasa Jawa, Sunda, Madura, juga Melayu.
Balai Pustaka
 Pembicaraan mengenai Balai Pustaka sangat banyak yang bisa dibahas. Pada dasarnya pembicaraan mengenai manfaat Balai Pustaka terbagi menjadi dua yaitu; Pertama: kelompok yang memberikan penilaian positif, peranya sebagai lembaga pendidikan, sesuai dengan amanat politik etis. Umumnya kelompok pertama adalah bagian dari orientalisme atau ilmuwan Barat seperti A. Teuw. Karena pendapat mereka lahir lebih dahul dan diangap dikemukakan oleh pakar yang memiliki wibawa terhadap keberadaan sastra Indonesia. Maka pendapat ini yang lebih banyak dimuat dibuku-buku dan digunakan mahasiswa, demikian juga masyarakat umumnya. Kedua: kelompok yang memberikan penilaian negatif, ini lahir dari pemikiran kritis karena justru sastra Indonesia harus dikaitkan dengan sastra daerah dan sastra Melayu dan Tionghoa.
 Secara historis Balai Pustaka di tompang oleh dua surat keputusan yaitu: a) Undang-undang Agaran belanja tahun 1848, b) Politik Etis tahun 1901. Dalam SK yang pertama dalam kaitanya dengan pengembangan dunia pendidikan di tanah jajahan. Melalui gagasan yang diajukan oleh Van Deventer pemerintah kolonial mengeluarkan dana sebanyak 25.000,00 gulden setiap tahun. Empat tahun kemudian ditingkatkan 250.000,00 gulden. Dalam SK yang kedua dengan didahului pidato Ratu Wilhemia, sebagai salah satu bagian dari trilogi politik etis, yaitu: irigasi, edukasi, dan emigrasi. Belanda mengeluarkan dana sebesar empat puluh juta gulden.(224) surat keputusan yang kedua memnadang pribumi sebagai objek yang gampang diatur. 
 Dengan memahami pengalaman Inggris di tanah kolonialisme di India maka Belanda membuat batasan bacaan rahyat yang bisa membuat kesadaran Nasional bangkit.(225) Sesuai dengan tugas lembaga yaitu untuk mengotrol bacaan yang masuk maka tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi ( Commissse Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang diketuai oleh Hazeu, dengan enam angotanya. Komisi berkerja secara efektif dua tahun kemudian setelah diketuai oleh Rinkers. Dan tahun 1917 menjadi Balai Pustaka, tugas pokonya adalah mensensor naskah-naskah yang akan diterbitkan. Baik bahasa maupun isinya, khususnya bacaan swasta atau bacaan liar. Di samping bacaan dalam bahasa Belanda dan Melayu juga menerbitkan bahasa Daerah. (226) Secara organisasi Balai Pustaka dibagi menjadi empat bidang yaitu; redaksi, adminitrasi, perpustakaan, dan pers. Redaksi menyeleksi bacaan dan melakukan penyuntingan bahasa dan isi. Pelaksanaan penyuntingan sangat ketat sehingga bahasa Balai Pustaka seolah-olah seragam. Bagian adminitrasi mengawasi masalah percetakan, penerbitan, dan penjualan. Bagian Pers bertugas membuat laporan yang dengan sendirinya sudah disensor. Penyaluran mula-mula dilakukan oleh pemerintah kemudia untuk kepraktisan dilakukan oleh kepala sekolah.
 Buku-buku dibedakan menjadi seri A. Untuk anak-anak, seri B. Untuk mereka yang dewasa, seri C. Untuk mereka yang memiliki pengetahuan yang lebih lanjut, sebagai kelompok intelektual. Disamping meminjamkan Balai Pustaka juga menerbitan buku murah sebab tujuan utamanya bukan keuntungan tetapi bersifat politis. Yaitu untuk membatasi bacaan liar, ini merupakan fungsi badan kolonial. Selain menerbitkan buku sastra juga menerbitkan buku populer seperti; tata susila, pertanian, pertenakan, kesehatan, sejarah, adat istiadat, dan sebagainya. Disamping itu Balai Pustaka juga menerbitkan majalah antara lain; Sri Pustaka yang kemudian digantikan Panji Pustaka (berbahasa Melayu), kejawen( berbahasa Jawa), Parahiangan (sunda). Sastra Barat tidak hanya diterjemahkan dalam bahasa Melayu tetapi juga daerah, seperti; Sans Famile (Hector Marlot) menjadi sebatang kara(Melayu), Pinokio menjadi(pinokio’Melayu).
 Sebagai hasil nyata bidang sastra, tahun 1914 berhasil menerbitkan novel pertama dalam bahasa Sunda Baruang Ka Nu (Racun bagi para Muda) Adiwinata. 1918 terbit si Jamin dan si Johan(Merari Siregar) kemudian disusul Siti Nurbaya. 
Nyai Dasima (G.Francis, 1896)
A). Sinopsis Yai Dasima berasal dari kampung Kuripan Nyai seorang Inggris Edward W. dari hubungan mereka lahir seorang anak Nanci. Samiun ingin menguasai harta Dasima dan ingin menjadikanya istri kedua. Pada akhir cerita dasima dibunuh Samiun. Alasan yang pertama untuk merayu Dasima adalah agar ia beragama Islam kembali. Untuk memisahkan Dasima dari Edward W, ia menyewa Haji Salihun. Untuk membunuh Dasima ia menyewa Si Poasa. 
Analisis. 
 Nyai Dasima ditulis oleh G. Fracis salah seorang keluarga Francis(Inggris). Yang banyak berperan dalam pemerintahan kolonial belanda. Cerita nya dikisahkan pada tahun 1813. seperti karya konvensional lainya tidak ada perbedaan antara karya sastra dengan kehidupan sehari-hari. Hubungan antara Edward dan Dasima seperti penjajah dan tanah jajahan. Hal ini doketahui oleh perbedaan harga diri yang sanagat besar antara bangsa Eropa dengan pribumi antaranya seolah-olah haram untuk menikah resmi.
 
   

Tidak ada komentar: