Oleh: Heru Susanto
Ketika membaca pernyataan Drs. Suyatno, M.Pd., saya jadi teringat teman perempuan dari Kobe, Jepang, yang pernah memberikan ungkapan mesra kepada saya. “Heru, kamu jangan hanya mengandalkan pemikiran saja, tetapi kamu juga harus cakep. Percuma pintar tetapi tidak memperhatikan penampilan!”, wasiat yang masih melekat dalam ubun-ubun dari perempuan negeri-empat-musim bermata sipit.
Saya menganggap pernyataan itulah yang paling romantis dari pertemuan kami. Kenapa romantis? Saat itulah pertemuan filosofis dari dua budaya yang berbeda mulai berbenturan dan secara tidak sadar memengaruhi pemikiran saya. Dulu saya beranggapan bahwa penampilan adalah bagian kesekian kali yang perlu diperhatikan, yang intinya penampilan itu bukan sesuatu yang penting. Yang paling penting adalah pemikiran. Bila sekarang saya disuruh memilih dari dua pilihan, yakni
1) pemikiran lebih penting daripada penampilan atau
2) penampilan lebih penting daripada pemikiran, saya pasti akan memohon dengan sangat hormat untuk mengajukan pilihan yang ketiga. Menurut saya, kenapa bila ada yang paling baik, kita hanya sekadar memilih yang baik? Entah Anda setuju atau tidak setuju, yang pasti saya akan memunculkan pilihan yang ketiga, yakni pemikiran dan penampilan sama-sama pentingnya bagi kehidupan ini.
Kenangan tersebut pulalah yang memicu hasrat saya untuk menarik suatu benang simetri dalam memahami citra dan realita yang sangat berpengaruh terhadap jiwa kehumasan. Menurut saya, jiwa kehumasan sama-sama romantisnya dari kisah mesra menjalani kehidupan yang tidak terlepas dari citra dan realita. Namun, memang ada beberapa permasalahan mengenai jiwa kehumasan, yakni tidak semua manusia mampu memunculkan jiwa kehumasannya dan justru muncul penyimpangan terhadap strategi awal kehumasan itu sendiri.
Dalam tulisan ini, saya memang tidak akan memberikan tips secara teknis bagaimana panduan untuk menjadi manusia berjiwa kehumasan, layaknya panduan cara pembuatan tempe maupun tahu yang terancam gulung-tikar karena bahan baku dan bahan bakar melambung tinggi di negeri ini. Akan tetapi, saya mencoba mengupas tentang hakikat jiwa kehumasan secara filosofis dalam menanggapi permasalahan yang diajukan oleh Drs. Suyatno, M.Pd. berdasarkan citra dan realita.
Meyakini Takdir Citra
Saya tidak akan mendefinisikan citra secara detail dalam tulisan ini. Namun, yang paling penting adalah memahami apa itu citra justru dari pengaruhnya. Sadar atau tidak, semua orang pada dasarnya tertarik pada segala sesuatu. Saat mereka mulai menyadari ketertarikannya pada sesuatu, mereka mulai berpikir untuk membuat sesuatu mulai tertarik pada dirinya. Inilah yang saya sebut sebagai “arus-putar-pencitraan” Anda tidak percaya? Silakan cermati ilustrasi berikut ini!
Ketika manusia masih bayi, ia tidak akan pernah lepas pula dari pengaruh citra. Bila banyi tersebut diberi suatu pengaruh lain dari luar, seperti senyum ibunya atau benda yang berwarna mencolok, bayi tersebut akan memberikan respons, entah tersenyum, mengguman, atau menangis. Apa yang menyebabkan bayi tersebut tersenyum, mengguman, atau menangis, hal itu dikarenakan pengaruh citra. Citra yang dihasilkan dari suatu apa pun dapat diterima maupun ditolak oleh si bayi.
Ketika manusia beranjak pada masa anak-anak yang paling bersemangat dalam dunia bermain, ia akan mudah tertarik dengan berbagai permainan atau segala sesuatu yang berbentuk hiburan. Bila anak-anak berhadapan dengan layar televisi, ia akan lebih mudah terpengaruh oleh film, salah satunya film kartun. Tokoh yang ada dalam film tersebut secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi anak. Oleh sebab itu, tidak jarang anak-anak sering membeli berbagai aksesoris yang identik dengan penampilan tokoh dalam film.
Setelah manusia lepas dari masa anak-anak, ia memasuki masa remaja. Dalam masa remaja, manusia tampaknya mulai sadar dengan pengaruh citra. Yang sering terjadi pada masa remaja adalah mulai memerhatikan lawan jenis. Tidak jarang para remaja sering bergonta-ganti model baju untuk menunjukkan penampilannya. Dari sinilah, seseorang mulai tertarik dengan citra yang dihasilkan oleh penampilan. Oleh sebab itu, para remaja mulai bersemangat untuk membangun citra agar dapat menarik perhatian lawan jenis. Kondisi seperti ini akan berlanjut hingga manusia berada pada titik akhir kehidupan.
Semua ilustrasi tersebut pada dasarnya adalah spirit yang harus disadari dalam jiwa kehumasan. Pengaruh citra sangat kuat dalam setiap peristiwa dalam kehidupan. Sejak manusia mulai menjadi pendatang baru dalam dunia ini, ia telah ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang terpengaruhi citra dan pada perkembangannya, mereka ditakdirkan pula untuk membentuk sebuah citra.
Memahami kehumasan pada dasarnya juga harus memahami pencitraan. Takdir mengenai citra yang melekat dalam manusia yang pada akhirnya dinamakan sebagai jiwa kehumasan inilah yang harus diyakini terlebih dahulu. Perlu disadari, keyakinan terhadap takdir citra dan kuatnya pengaruh citra terhadap kehidupan juga memunculkan permasalahan tersendiri.
Pencitraan yang Kebablasan
Pencitraan yang kebablasan (hiperpencitraan) dalam kehidupan tampaknya sering terjadi. Konsekuensi yang logis dari pencitraan seperti ini adalah kekecewaan bagi sesama. Kenyataan inilah yang menurut saya sebagai salah satu dari penyimpangan strategi dasar kehumasan.
Beberapa penyimpangan yang sering terjadi dalam proses pencitraan antara lain, pengiklanan produk dan pengiklanan (kampanye) tokoh politik. Walaupun kehumasan tidak sekadar pengiklanan maupun kampanye politik, tidak dapat dipungkiri keduanya merupakan bagian dari spirit kehumasan.
Dalam pengiklanan serta kampanye tokoh politik, pencitraan merupakan salah satu senjata ampuh yang sering digunakan. Keampuhannya tampaknya dijadikan senjata hipnotis yang tidak kalah mengerikan dengan senjata pemusnah massal. Banyak pengiklanan produk yang berusaha menyosialisasikan secara berlebihan dengan menutupi segala keburukan yang terdapat dalam produk tersebut. Seakan-akan pencintraan digunakan untuk memunculkan citra yang paling ampuh buat produk yang dipromosikan tanpa mempertimbangkan lagi konsekuensi yang ditimbulkannya.
Akibat pencitraan yang berlebihan seperti ini, penyosialisasian produk telah menyimpang dari strategi awal, yang ingin menjadikan produk dikenal masyarakat luas dan memuaskan. Yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat mulai menjauhi produk tersebut karena merasa dikecewakan.
Kenyataan seperti itu juga sering terjadi dalam kampanye politik. Banyak para tokoh politik yang sering menggunakan pencitraan sebagai senjata andalan. Yang dilakukan dalam dunia politik seperti ini sering disebut sebagai pencitraan politik (politic of image). Tokoh politik sering dicitraan sebagai tokoh yang penuh tanggung jawab, ramah, bijaksana, adil dan segala sesuatu yang seakan-akan dapat menutupi kelemahan. Dengan pencitraan seperti ini, orang cacat hukum dapat menjelma sebagai orang bajik berbudi luhur. Keadaan seperti inilah yang dapat memunculkan kekecewaan terhadap masyarakat.
Pencitraan yang kebablasan tersebut memunculkan realita semu. Realita semu tersebut memang dapat mengubah sebuah emosi, kondisi psikis, pemikiran masyarakat karena daya sugestinya yang kuat. Akan tetapi, pada akhirnya, realita semu tadi memunculkan ketidakpuasan yang dapat memberikan predikat cacat pada salah satu produk maupun figur.
Realita sebagai Pusat Peraduan
Realita di sini lebih ditekankan pada realita yang sesungguhnya, bukan realita semu akibat pincitraan yang kebablasan. Realita di sini lebih mengacu pada kesadaran. Kesadaran mengenai apa, siapa, mengapa, bagaimana, dan akan ke mana merupakan pertanyaan dari kesadaran tentang realita.
Pengenalan tentang realita diri, khususnya memang perlu ditekankan. Apa yang perlu disadari, siapa dirinya sehingga harus disadari, mengapa harus disadari, dan bagaimana menyadari, dan setelah itu akan ke mana merupakan tindakan-tindakan memahami realita.
Konsep realita ini harus jelas. Misalnya produk yang dicitrakan harus dipahami sebagai realita dirinya sendiri (produk itu sendiri). Untuk apa produk (diri) dicitrakan, kelemaham dan kelebihan apa yang dimiliki produk (diri) tersebut harus diyakini sebagai realita sebenarnya. Tidak ada penambahan dan pengurangan dalam pengenalannya sebagai suatu produk atau figur.
Ketika realita tersebut dijadikan landasan kesadaran yang kuat, kepercayaan masyarakat akan menguatkan produk maupun figur. Dari sinilah, pelurusan terhadap penyimpangan strategi dasar mulai diluruskan. Kembalinya segala sesuatu pada realita sebenarnya merupakan kontrol konstruktif untuk mengembalikan penyimpangan ke tendensi awal yang diharapkan. Saat itulah, sealita semu mulai ditinggalkan.
Hubungannya Pemikiran dengan Penampilan?
Manusia memang tidak semua mampu memunculkan jiwa kehumasan dalam dirinya sebagai suatu yang dominan. Hal itu memang benar adanya karena ada manusia yang lantang menunjukkan eksistensi dirinya dengan mengoptimalkan pencitraan dan juga ada yang malu-malu menunjukkan eksistensi dirinya. Penyebab permasalahan tersebut memang sangat kompleks, akan tetapi tampaknya kurang pahamnya dan tidak sadarnya akan takdir dirinya sebagai manusia penuh citra dan realita sebagai penyebab awal.
Bagaimana mewujudkan dalam diri manusia tentang jiwa kehumasan agar optimal? Jawabannya ialah masukkan diri Anda untuk memahami takdir diri sebagai manusia yang penuh citra. Dengan memahami takdir citra dalam manusia, keyakinan akan kekuatan citra diri dapat membangkitkan eksistensi manusia. Untuk tidak menyimpang dari strategi dasar kehumasan tersebut, pemahaman serta kesadaran terhadap ralita tetap harus diyakini sebagai kontrol konstruktif. Hal itu disebabkan citra dan realita adalah jiwa kehumasan yang paling utama harus disadari oleh manusia.
Bagaimana hubungannya dengan pemikiran dan penampilan? Ketika manusia mulai meyakini pemikiran dan penampilan sebagai satu kesatuan yang utuh, disitulah citra dan realita telah dipahami sebagai jiwa kehumasan yang hakiki. Saat itulah, saya harus mengucapkan terima kasih kepada Drs. Suyatno, M.Pd. karena telah mengingatkan saya pada si dia! “Don’t forget me!”, sabda Citra dan Realita kepada manusia yang ingin dikenal eksistensinya.
Heru Susanto NIM 042074016
Mahasiswa P. Bahasa dan Sastra Indonesia
Redaktur tabloid Gema Unesa, salah satu penggagas “Aufklarung” (Kajian Filsafat Unesa)
hr_eksis@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar