Rabu, 21 Januari 2009

Albert Camus""Orang Aneh"

 

Ketika kami hidup bersama, ibu selalu memperhatikan aku, tapi kami hampir-hampir tidak bicara. Pada minggu-minggu pertamanya di wisma, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menangis. Tapi hal itu hanya karena ibu belum merasa betah. Setelah dua atau tiga bulan kemudian ia akan menangis justru bila dikatakan bahwa ia akan meningalkan wisma itu. Dan hal tersebut yang menyebabkan kesedihan bagi dirinya. Itulah sebabnya selama tahun terakhir belakang ini aku jarang melewatkan hari mingguku, kesulitan-kesulitan pergi ke tempat bis, sulitnya mendapatkan karcis, dan dua jam yang membosankan sepanjang perjalanan. (6)
 ”Baiklah, aku meningalkan Anda di sini, Tuan Mersault. Bila anda membutuhkan sesuatu, aku akan berada dikantor. Kami mengatur penguburan besok pagi. Dengan demikian anda memiliki kesempatan semalam suntuk berada didekat keranda ibumu, sesuatu yang tentu sangat kau harpakan. Satu hal lagi. Dari keterangan beberapa teman ibumu, ibumu mengharap agar dikebumikan dengan upacara gereja. Aku telah mengatur sesuatunya, kukira pantas kesampaikan pada anda.”
 Aku mengucapkan terima kasih. Sepanjang yang kuketahui, walaupun ibu sesunguhnya bukan atheis, tapi tidak perna memikirkan soal-soal agama dalam kehidupanya.(7)
 Sesaat kemudian seorang penjaga muncul di belakangku. Rupanya ia datang dengan tergesa-gesa karena nafasnya tersengal-sengal. ”Tadi kami telah menutup keranda itu, tapi ketika dikabarkan bahwa Anda akan datang, sekrup-sekrupnya kami lepas agar Anda dapat melihatnya.” ketika ia mendekati keranda itu, kukatakan agar ia jangan menjamahnya.
 ”Apa? Apa Maksudmu?” teriaknya.
 ”Apakah kau tidak ingin agar aku...”
 ”Jangan!” kataku.
 Ia memasukan kembali kunci sekrup ke dalam kantongnya lalu memandang kepadaku. Aku sadar kini bahwa seharusnya tidak melarang dia. Aku jadi kikuk. Setelah beberapa lama memandang padaku ia berkata:
 ”Kenapa tidak?” Tapi suaranya tidaklah seperti bersungguh-sunguh, ia hanya ingin tahu.
 ”Entahlah, aku betul-betul tidak bisa menjawapnya,” jawapku. Ia memutar-mutar kumisnya yang sudah memutih lalu berujar dengan suara lemah:
 ”Aku mengerti.”(8)
 Ia menyarankan padaku agar aku ke kamar makan untuk makan malam, tapi aku tidak lapar. Lalu ia menawarkan semangkok cafe au lait. Aku mengucapkan terima kasih. Karena aku senang pada cafe au lait. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan sebuh baki. Kopi kuminum, lalu aku ingin merokok. Tapi aku bimbang sejenak, apakah aku pantas merokok dalam suasana seperti itu, di mana manyat ibuku terbaring di sana. Aku mempertimbangkanya lagi, dan sungguh hal itu tidaklah akan menjadi masalah. Aku menawarkan sebatang rokok pada penjaga itu, lalu kami berdua merokok.(11)
 Ketika mereka akan duduk, mereka memandang padaku seperti ingin memberi hormat. Sementara bibir-bibir mereka seperti dihisap di antara gusi-gusi yang sudah tidak bergigi lagi. Tak bisa kupastikan apakah dengan sikap itu mereka memberi hormat kepadaku dan mencoba mengucapkan sesuatu ataukah memang sikap demikian khas dimiliki oleh orang-orang tua. Aku sendiri cenderung berpendapat bahwa mereka memberi hormat padaku bila melihat sikap mereka itu. Tapi ada suatu perasaan asing bila melihat orang-orang tua itu berkumpul di sekitar penjaga pintu dan dengan tenang sayu memandang padaku sambil sesekali kepalanya miring ke kiri dan ke kanan. Sejenak bersemi kesan absurd dalam diriku, seakan-akan mereka datang dan duduk disitu untuk mengadili aku. Beberap menit kemudian salah seorang di antara wanita-wanita tua itu mulai menangis. (13 )
 ”Udara begitu panas hari ini, bukan?”
 ”Ya,” jawapku.
 Sejurus kemudian ia bertanya: Yang kita kubur hari ini ibumu, bukan?”
 ”Ya,” aku menjawap lagi.
 ”Berapa umurnya?”
 ”Kurang pasti berapa, tapi ia sudah tahu memang,” Dan sesungguhnya aku tidak tahu pasti umurnya berapa.(21)  
 Ia memandang pada dasi hitam yang kuakai dan apakah memang aku berada pada suasana berkabung. Kujelaskan apakah memang aku berada pada suasana berkabung. Kujelaskan tentang kematian ibuku. ”kapan,” tanyanya dan kujawap: Kemarin.” Ia tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun kupastikan ia agak terkejut. Ingin kujelaskan bahwa itu bukanlah kesalahanku tapi kubatalan dan teringat betapa tololnya katika hal seperti itu kukatakan pada majikanku. Tapi –tolol atau tidak ---kukira seseorang tentulah sedikit-sedikitnya tidak merasa bersalah.(27)
 ”Demikianlah, aku tahu bahwa ada suatu permainan kotor di belakangku dan kukatakan padanya. Tapi mula-mula kuberika tepat berteduh yang baik padanya dan memberikan sekedar nasihat. Kukatakan bahwa cuma satu hal yang menarik perhatianya, yaitu tidur dengan berbagai lelaki bila ia mempunyai kesempatan. Dan langsung kuperingatkan dia: ’Pada suatu hari kau akan menyesal, kekasihku, dan kau akan kembali padamu, iri pada keberuntunganmu, karena aku menjamin hidupmu dengan baik’.”
 Ia telah memukul perempuan itu sampai berdarah, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. ”Tapi tidaklah begitu keras, hanya karena rasa gemas. Ia memekik dan cepat-cepat aku menutup jendela. Dan, seperti biasanya, hal itu berakhir begitu saja. Tapi saat ini aku sudah putus dengan dia. Cuma, menurut perasaanku, belum cukup aku menghukum dia. Kau mengerti apa maksudmu?”(41).
  Seberkas cahaya terpantul dari pisau itu dan kuraskan seperti sebilah benda tajam panjang menghujam pada dahiku. Pada saat itu juga keringat hangat yang terkumpul di alis mengucur membasahi mataku. Mataku seperti buta. Namun aku masih sadar akan cahaya matahari yang menghantam kepalaku dan cahaya mengkilat pisau yang dipegang oleh orang arap itu. 
 Lalu segala sesuatunya berputar di depan mataku, angin kencang berhembus dari arah laut, langit seperti terbelah dan nyala api seperti tercurah dari curah belahan itu. Tiap saraf dalam tubuhku mengencang dan pistol kuat kupegang pelatuk kutarik dan gangang pistol itu terasa mendepak dalam telapak tanganku. Dan demikianlah—dengan suara yang nyaring dan membahana—segala sesuatu bermula. Aku mengusap keringat dan menghidar cahaya. Aku tahu, keseimbangan dan kedamaian hari itu telah aku hancurkan sesungguhnya mengahncurkan kedamaian yang meliputi pantai di mana aku perna merasa bahagia. Masih aku menembakan empat butir peluruh lagi kerah tubuh orang Arap itu yang tidak meningalkan bekas yang dapat dilihat. Dan tiap butir peluru yang kutembakan itu rupanya adalah gedoran yang semakin keras terhadap pintu kehidupanku yang akan datang.(79)
 Sambil duduk ditempat tidurku, ia memberitahukan bahwa mereka melakukan penyelidikan tentang kehidupan pribadiku. Mereka telah mengetahui bahwa ibuku baru-baru ini telah meninggal baru-baru ini di wisma Orang Jompo. Penyeledikan dilakukan di Marengo dan polisi menerangkan bahwa aku telah memperlihatkan”kekerasan hatiku” pada saat penguburan tersebut.(85)
 Ia melanjutkan pertayaanya dengan menanyakan apakah aku merasa sedih pada ”peristiwa menyedihkan” itu. Pertayaan ini mengagetkan aku. Kedengaranya asing di telingaku. Aku tentulah akan merasa malu bila pertayaan seperti itu kuajukan kepada orang lain.
 Kujawap dengan mengatakan bahwa pada tahun-tahun terakhir ini aku sudah tidak dapat mencatat dan menghayati apa yang kurasakan dan sangat sulit bagaimana aku menjawab. Dengan jujur saja kukatakan bahwa aku sangat menyenangi ibuku—tapi apakah hal ini banyak artinya? Semua orang normal---kataku menambahkan---tentunya memilki perasaan akan perasaan berpisah dengan orang-orang yang dicintai berupa kematian pada suatu hari.
 Ahli hukum itu mencegat ucapanku dengan mata agak membelalak.
 ”Kau harus berjanji padaku untuk tidak mengatakan hal itu didepan pengadilan atau di depan jaksa penutut.”
 Aku berjanji. Dan itu hanya untuk memuaskan hatinya—tapi kujelaskan pula kondisi fisikku pada waktu-waktu tertentu sering mempengaruhi perasaanku. Seperti umpamanya pada upacara penguburan ibuku aku betul-betul bosan dan jemu dan setengah tertidur. Aku betul-betul tidak bisa menghayati apa yang sedang terjadi. Namun demikian aku masih menyakinkan dia: bahwa rasanya ibuku belum meningal.(86)
Aku merasa lelah mengulang cerita yang sama dan aku tahu baru kali itulah aku berbicara begitu banyak selama hidupku.(89)
 Aku berpikir sejenak, lalu menjelaskan masalah tembakan itu tidaklah berturut-turut. Mula-mula aku menembak satu kali dan sejenak kemudian baru menembak empat kali.  
 ”Kenapa kau berhenti antara tembakan pertama dan kedua?”
 Ak seakan-akan melihat cahaya terik pantai mengambang di depan mataku dan merasakan bagaimana nafasku turun naik dengan cepatnya, sunguh, sunguh, aku tidak menjawap pada waktu itu.
 Ruang itu menjadi hening, sementara ia nampak agak gelisah, sambil mengusap-usap rambutnya lalu duduk lagi. Akhirnya ia memandang padaku dengan ekspresi wajah yang aneh.
 ”Tapi kenapa, kenapa kau terus menmbak orang yang sudah tidak berdaya?”
  Lagi-lagi aku tidak menemukan jawapanya.
  Sambil memegang dahinya, jaksa pembantu mengulang lagi pertayaanya
  dalam nada suara yang agak berbeda. 
  ” Aku tanya kenapa?! Aku mendesak agar kau menjawap.”
  Aku tetap diam.(90)
  ”Semua penjahat yang diseret ke depanku selama ini akan menagis tersedu-sedu bila mereka melihat lambang penderitaan Tuhan kita ini.”
 Sebenarnya aku ingin menjawap dengan mengatakan”justru karena mereka memang penjahat”. Tapi cepat kusadari, bahwa aku juga berada ditempat itu dalam lukisan yang serupa. Setidak-tidaknya itu merupakan suatu ide yang tidak perna kusemaikan.(93)
 Ada sesuatu yang betul-betul membosankan aku pada akhir-akhir ini: kebiasaanku untuk berpikir seperti orang meredeka. Misalnya, keinginanku yang muncul secara tiba-tiba untuk pergi berenang kelaut. Atau ini: sekadar ingin mendengar suara tapak-tapak kakiku sementara aku melangkah, rasa lembut air yang jatuh dan mengering di badanku begitu aku keluar dari air dan perasaan yang nyaman dan lega kubawa pulang, semuanya masih terus mengoda diriku, mengetar ke seluruh sel-sel tubuhku.
 Tapi sayang, fase kehidupan seperti itu hanya berlangsung beberapa bulan. Kemudian aku harus mengantikanya dengan pikiran seorang tahanan. Antara lain, bagaimana rasanya menantikan saat bisa berjalan-jalan di halaman penjara atau kunjungan pengacaraku. Aku ingat salah satu buah pikiran ibuku---yang selalu didengung-dengungkan--:seseorang haruslah berusaha membiasakan dirinya pada sesuatu.(102)
 Sepanjang hari aku merasa pusing dan menjadi pemarah. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa aku dilarang merokok, bukanlah hal itu tidak mengagangu orang lain? Tapi akhirnya aku mengerti maksud larangan itu: perasaan kekurangan atau tidak memiliki sesuatu itu adalah bagian dari hukuman. Dan sejak aku mengerti masalahnya, merindukan akan sesuatu itu berangsur-angsur hilang dan hal itu berhenti menjadi bagian dari hukuman.
 Kecuali perasaan kekurangan atau tidak memiliki sesuatu itu, aku tidaklah bahagia. Ditambah lagi masalah utamanya: bagaimana mengisi waktu. Tapi begitu aku belajar bagaimana mengigat sesutu, maka tak ada waktu lagi di mana aku menjadi bosan. Pelajaran yang aku peroleh adalah: walaupun sehari saja kita perna hidup diluar, seseorang akan mudah hidup 100 tahun dalam penjara. Ia telah menyimpan cukup ingatan untuk tidak menjadi bosan. Tapi, jelas dari segi pandangan yang lain, ini merupaka suatu kompensasi barangkali.
 Dan... masalah tidur! Mula-mula aku sulit tidur dan disiang hari aku sama sekali tidak bisa tidur. Tapi berangsur-angsur aku bisa tidur nyeyak dan aku berusaha mencukupi masa tidurku pada siang hari. Kenyataan, dalam bulan-bulan ter-(105) akhir ini aku bisa tidur selama 16-18 jam sehai semalam. Dan waktu yang hanya 6 jam, kuisi dengan waktu untuk makan, istrirahat, mengenang sesuatu dan ...sejarah Cekoslovakia!(106)
 Atas pertanyaan yang lain, ia menjawap bahwa pada hari penguburan ibuku, ia merasa heran melihat aku begitu tenang. Ia ditanya apa yang maksud dengan ” aku begitu tenang”. Ia menundukan kepala dan memandang keujung sepatu untuk beberapa saat. Kemudian ia jelaskan, bahwa aku tidak ingin melihat mayat ibuku atau tidak menitikan air mata walau setetes dan bahwa aku segera pulang begitu penguburan itu selesai tanpa termenung sejenak pun di kuburan. Satu hal yang mengherankan dia. Salah seorang pengurus kuburan mengatakan bahwa aku tidak tahu berapa umur ibuku yang sebenarnya. 
 Rasanya aku ingin meledak dalam tangis. Tapi keinginan ini tentulah keinginan yang koyol. Untuk pertama kali aku menyadari bagaimana semua orang membenciku. (119)  
 Tujuan utamanya, kukira, adalah ingin membuktikan bahwa kejahatan yang kulakukan itu adalah perbuatan yang telah kurancang sebelumnya. Aku ingat misalnya salah satu ucpanya yang mengatakan: ”aku dapat membuktikan hal itu, para anggota juri yang terhormat, mulai dari awalnya. Pertama, anda mempunyai fakta-fakta kejahatan itu. Fakta-fakta yang sudah jelas dan terang. Dan berikutnya Anda juga memiliki apa yang kuistilahkan dengan ’sisi yang gelap’ dari perkara ini, semacam usaha atau kegiatan yang gelap dari suatu mentalitas jahat.”
 Ia menyimpilkan fakta-fakta mulai dari kematian ibuku. Ditekankan olehnya bahwa aku adalah orang yang tidak berbelas kasihan, seorang yang kejam, tidak mampu menyatakan berapa umur ibuku yang sebenarnya, kunjunganku ke kolam renang di mana aku menjumpai Marie, nonton film bersama-sama dia dan akhirnya aku dan Marie ke kamarku.(133)
  Tapi, kucoba menghibur diriku, ”walau bagaimanapun, sudah menjadi rahasia umum bahwa hidup itu bukanlah kehidupan yang pantas dijalani”. Dalam arti yang luas, dapat aku pahami hanya terdapat pendapat kecil, apakah seseorang akan mati pada umur 30,60, atau 100 tahun, karena ada orang lain. Bila kehidupanku habis dan kematian telah menyudutkan aku. Sekali lagi aku berdiri menantangnya, maka cara-cara bagaimana aku mati nanti jelas akan tidak punya arti lagi. Oleh sebab itu, aku harus mempersiapkan diri menghadapi penolakan permohonanku.(153)
 Dengan kematian begitu dekatnya, ibu tentulah merasa bahwa seakan-akan berdiri ditapal batas kebebasan dan siap lagi memulai kehidupan yang lain.(164)  
   
   
   

Proklamasi

 Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokiritu Junbi Choosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok
Artikel utama untuk bagian ini adalah: peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga Status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelahmenyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalka berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah) dan Sajuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalim dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "tranfer of power". Bung Hatta, Subardjo, BM Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Melik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nisjijima masih didengungkan.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[2] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi
 
Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional dengan bingkai[3]

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi

Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.
Naskah Otentik
Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17, bulan 8, tahun 45
Wakil2 bangsa Indonesia.