Rabu, 06 Mei 2009

Konsepsi Materialis tentang Sejarah

Konsepsi Materialis tentang Sejarah 

Ditulis oleh Dio 
Senin, 04 Desember 2006 00:00 
Saya sudah membahas tentang kekeliruan pembacaan teks-teks Marx dalam tulisan sebelumnya (Membaca Materialisme Dialektik-Historis dalam The German Ideology). Artikel ini bertujuan melengkapi dan melanjutkan pemahaman tersebut. Konsepsi-konsepsi yang dinyatakan Marx-Engels sebenarnya tak bisa dipisahkan dari kondisi-kondisi masyarakat Eropa khususnya dan dunia secara umum pada zamannya. Demikian pula, teks atau frase dalam karya Marx-Engels tidak tepat untuk dibaca hanya sebagai teks, karena sekalipun Marx-Engels menulis dengan metode filosofis (logika-dialektika), namun teks-teks mereka tidak sepenuhnya bisa disebut karya filsafat abstrak (terutama The German Ideology) atau ungkapan linguistik dan simbolik semata seperti dipahami dalam semiotika modern atau sebagai game of language.

Karya-karya lain Marx, yakni Das Kapital, juga tidak bisa diperlakukan demikian, karena karya ini sebenarnya adalah kritik atas ekonomi politik borjuasi Eropa yang berkembang pesat di zamannya terutama di Inggris. Kalau teks-teks kritik ini hanya dianggap sebagai teks, maka tak berguna dan sia-sialah semua tradisi tulis yang dinyatakan dalam teks sebagai penyajian realitas. Apalagi penyajian Marx-Engels bukan sekedar konsepsi-konsepsi abstrak yang bercorak skolastik dan komtemplatif, namun didasarkan pengamatan realistik-empiris seperti premis-premis sejarah yang nyata dalam The German Ideology dan data-data statistik-historis-ekonomi-politik yang dianalisa dari sudut pandang determinan-relatif dalam The Capital. Metode-metode berpikir Marx-Engels tentu saja tidak menghindari cara berpikir manusia sudah ada, yakni logika, namun mereka menekankan arti penting dialektika yang tenggelam dalam dominasi metode berpikir logika terutama dalam perkembangan masyarakat Eropa modern dan diungkap kembali secara mendasar dalam filsafat (atau sejarah ide) Hegel. Marx sendiri mengatakan tentang penggunaan metode dialektika ini:

"… Oleh karena itu, saya secara terbuka mengumumkan diri saya sendiri sebagai murid dari ahli fikir besar itu… Pemistikan yang diderita dialektika di tangan Hegel, sama sekali tak menghalanginya untuk pertama kali menyajikan bentuk-bentuk umum dari fungsinya secara menyeluruh dan ringkas. Dengan Hegel, dialektika berdiri di atas kepalanya. Kita harus membalikkannya, agar kembali ke atas kakinya, agar dapat menemukan inti rasional yang berbalut kulitnya yang mistikal." (Kapital Buku I, Pengantar, Hasta Mitra, 2004, hal. xl, dikutip dengan beberapa edit redaksi bahasa oleh pengutip).

Apa yang dimaksud Marx dengan “membalikkanya” dan “menemukan inti rasional” itu? Marx menyatakan sebagai berikut:

"Metode dialektika saya pada dasarnya tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses berpikir yang bahkan ditransormasikan menjadi subyek independent dengan nama ide, adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari ide itu. Bagi saya sebaliknya, ide itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran." (Kapital, Ibid. hal. xxxix.)

Kalau demikian, karya-karya Marx dan Engels adalah penyajian atau presentasi dari pengamatan empiris atas realitas yang bergerak secara dialektik.

Presentasi semacam ini adalah kritik atau titik balik dari presentasi realitas dalam konsep-konsep skolastik yang abstrak, statis, kontemplatif dan tidak dialektik. Namun Marx mengakui munculnya problema aktualitas dalam presentasi. Dia mencatat:

"Bentuk penyajian tentu saja mesti berbeda dari bentuk penelitian. Penelitian mesti menguasai bahan secara terperinci, menganalisa bentuk-bentuk perkembangannya yang berbeda-beda, menelusuri keterkaitan internalnya. Hanya setelah pekerjaan ini diselesaikan, gerak sesungguhnya bisa digambarkan secara memadai. Jika ini berhasil dilakukan, maka gerak bisa tampil seakan-akan kita mendapatkan suatu bangunan a priori semata-mata di hadapan kita." (Kapital, Ibid.)

Jadi gerak aktual hanya bisa disajikan setelah pengamatan empiris yang cermat dan terperinci. Penyajian ini adalah bentuk pengetahuan yang seolah-olah tampil a priori, sebab hanya demikianlah aktualitas bisa disajikan dan diketahui, jadi signifikansinya bukan sekedar kelangsungan suatu gerak, tapi pemahaman atas gerak. Namun, penyajian ini tentu saja harus dibedakan dengan abstraksi filosofis, skolastik, statis dan tak dialektik sebagaimana telah disinggung di atas, karena penyajian yang dimaksud Marx adalah deskripsi realitas gerak material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran atau konsepsi-konsepsi.

Lalu bagaimana memahami dan tentu saja mengajukan kritik secara tepat terhadap cara berpikir dan penyajian realitas dalam karya-karya Marx-Engels? Hasil pemikiran siapapun tidak terkecuali Marx-Engels tentu saja bisa dan harus dipahami serta dikritik secara terbuka dan jernih, namun harus ada cara-cara yang memadai agar tidak menjadi langkah semena-mena (arbitrer) atau skolastik, bahkan serangan politis, sadar atau tidak.

Pertama kali, saya perlu menjelaskan bahwa memahami dan mengritik karya-karya Marx-Engels sebagai teks atau frase semata-mata (seperti dilakukan Jacques Derrida) dengan melepaskannya dari konteks sejarah Eropa di zamannya, tidak hanya menjadi skolastik dan kontemplatif, namun ilusif dan absurd. Meskipun kita tak bisa mengingkari bahwa sebuah teks tidak sepenuhnya menyajikan semua nuansa pemikiran dari subyek (penulis, pengarang, pemikir) karena alasan material, historis dan aktulitas tentunya, namun karya-karya Marx-Engels cukup komprehensif menyajikan kondisi historis Eropa dan pemahaman mereka atas perkembangan masyarakat manusia secara umum. Pemilahan-pemilahan pemikiran Marx dalam kronologi muda-tua sebagaimana secara cermat dipahami Louis Althusser tentu saja harus tetap dipertimbangkan dalam konteks perkembangan pemahaman historis, pemikiran dan aksi sosial Marx dalam perkembangan masyarakat Eropa di zamannya, jadi bukan dibaca dan dipahami sekedar teks-teks belaka. Di dalam konteks ini pula, pemilahan-pemilahan corak pemahaman atas pemikiran Marx dalam Marxisme Klasik/ortodoks, revisionis, Neo-Marxisme, Post-Marxisme cenderung menutup pintu pemahaman terbuka terhadap karya-karya Marx-Engels sendiri, jadi ada indikasi kultus dan membuat rumit jalan pemahaman atas pemikiran mereka sendiri. Disini saya ingin menghindari kultus terhadap teks, pengarang dan pembaca, sebab bentuk pemahaman ini sebenarnya a-historis.

Oleh karena itu, saya mencoba menentukan bidang atau arah pemahaman dan kritik (kalau pun mesti distatiskan) yang memadai dan jernih terhadap Marx-Engels dan pemikirannya sebagai berikut:
fakta-fakta yang dihimpun dalam lingkup pemahaman Marx-Engels, yang harus dipahami sebagai fakta-fakta historis yang signifikan bagi mereka;
konsepsi atau ide yang dinyatakan untuk memahami fakta-fakta historis ini;
praktek dan aksi dari pemahaman konseptual ini;
fakta-fakta historis setelah zaman Marx-Engels hingga zaman ini sebagai perbandingan dan sebagai pemahaman atau kritik atas konsepsi-konsepsi mereka.
Cara memahami Marx-Engels dan pemikirannya ini bertujuan mencegah sikap dogmatis-apologetik dan prasangka atau tuduhan skolastik yang sangat ditentang Marx karena ilusif, bahkan kultus yang tersirat dari kedua sikap ini, yakni kultus atas pengarang, teks dan pembaca karena a-historis dan kontemplatif. Saya hanya akan mencoba memahami dua bidang pertama untuk kepentingan memahami konsepsi tentang sejarah.

Pertama, saya akan melihat sekilas (untuk mengulangi kembali dan memperjelas dari tulisan saya sebelumnya) sejarah masyarakat Eropa sebelum Marx-Engels, tidak hanya menurut Marx, tapi saya menjelaskan beberapa signifikansi yang mungkin tak dibahas oleh Marx-Engels karena situasi mereka yang berbeda atau signifikansi yang mereka pikirkan berkaitan dengan tuntutan zamannya. Fredrich Engels sebenarnya sudah mengungkapkan latar belakang historis, jadi kondisi-kondisi historis, dari pemikiran sosialisme materialis dialektis dalam karyanya Sosialisme Utopis dan Ilmiah. Saya juga menyisihkan terlebih dahulu sejarah masyarakat lain yang tentu saja mempunyai relasi penting dengan masyarakat Eropa (misalnya sejarah masyarakat Muslim yang sebenarnya sudah disinggung sekilas dalam karya Engels tersebut. Kalau kita ingin melihat sejarah masyarakat secara komprehensif dan tidak ingin terjebak dalam Euro-Sentris atau Oksidentalistik seperti di zaman kuno, ada bias Roman-Sentris dalam karya-karya tulis sejarahwan kuno seperti Herodotus atau Strabo, sebenarnya signifikansi relatif ini harus diungkap dan dipahami, namun studi ini diluar bidang pemahaman tulisan ini).

Saya tidak akan menjelaskan secara kronologis sejarah masyarakat Eropa, sebab tipologi ini juga problematis dan sudah usang. Saya hanya akan melihat signifikansi perubahan-perubahan revolusioner dari tatanan masyarakat feudal-klasik menjadi tatanan masyarakat kapitalis-modern. Sebenarnya ada perubahan-perubahan gradual dalam tatanan masyarakat feudal sebagai pra kondisi perubahan revolusioner menuju masyarakat borjuis-kapitalis. Perubahan gradual di dalam tatanan masyarakat feudal (sebenarnya beberapa wilayah Eropa tetap berada dalam tatanan masyarakat feudal, terutama di Eropa timur) berbentuk resistensi dan adaptasi terhadap perubahan masyarakat menuju tatanan masyarakat borjuis-kapitalis yang mengukuhkan kekuasaannya setelah Revolusi Industri 1640 dan 1688 di Inggris dan Revolusi Prancis tahun 1789.

Perubahan-perubahan revolusioner yang dipahami Marx-Engels ini secara mendasar terjadi dalam corak produksi (mode of production, mode of life) sehingga menandai dan menentukan perubahan konsepsi atau ide tentang Negara, kekuasaan, otoritas, dan dari segi filsafat dan pemikiran, perubahan konseptual tentang Kebenaran Sejati, Hakiki, Mutlak (inilah signifikansi yang saya garisbawahi dan sebenarnya telah dikritik dalam The German Ideology). Ide tentang Kebenaran ini meliputi: sumber pokok, dasar, sifat dan otoritas. Ide Kebenaran di dalam masyarakat feudal: sumbernya adalah wujud supra-manusia, yakni Tuhan; dasarnya adalah iman, percaya; sifatnya universal; otoritas legislasinya adalah hukum Tuhan yang tercantum dalam Kitab Suci menurut tafsir otoritatif para agamawan. Sekalipun demikian, dalam perubahan-perubahan gradual itu terjadi perubahan-perubahan konseptual, namun kita dapat menyimpulkan bahwa konsepsi Kebenaran di dalam masyarakat feudal adalah theo-centris. Sementara itu, ide Kebenaran di dalam masyarakat borjuis-kapitalis: sumbernya adalah manusia; dasarnya adalah akal, rasio, eksistensi individu; sifatnya universal; otoritas legislasinya hukum alam (sebagai contoh dalam karya Thomas Hobbes, Leviathan) dan demokrasi (dalam makna masyarakat sipil, misalnya dalam karya-karya Baron de Montesquieu, yang berkembang pesat terutama setelah zaman Marx-Engels). Sekalipun banyak varian dalam ide tentang kebenaran, namun kita bisa menyimpulkan bahwa konsepsi Kebenaran dalam tatanan masyarakat borjuis-kapitalis ini pada dasarnya adalah antropo-centris. Secara eksplisit dasar konseptual ini memang tidak dinyatakan, namun kedua bentuk konseptual ini pada dasarnya sama.

Ide atau konsepsi telah menjadi kenyataan dalam kedua tatanan masyarakat ini, sekalipun Hegel telah melihat prinsip gerak dialektik dalam sejarah Manusia. Marx sendiri memandang bahwa tidak ada perbedaan khusus antara idealisme Jerman dan ideologi bangsa-bangsa lain. Yang dimaksud idealisme atau ideologi disini adalah cara pandang manusia tentang dunia yang dikuasai ide-ide. Ide-ide atau konsep-konsep ini menjadi prinsip yang menentukan (determinan) serta pengertian-pengertian tertentu tentang misteri dunia material yang tak bisa dipahami para filosof. Oleh karena itu, Marx memandang idealisme ini sebagai berikut:

"Hitherto men have always formed wrong ideas about themselves, about what they are and what they ought to be. They have arranged their relation according to their ideas of God, of normal man, etc. The products of their brain have got out of their hands. They, the creators, have bowed down before their creations. Let us liberate them from the chimeras, ideas, dogmas, imagery beings… Let us revolt against this rule of concepts…" (Karl Marx-Frederich Engels, The German Ideology, Progress Publisher, Moscow, 1976, hlm. 29)

“Manusia-manusia sampai saat ini selalu membentuk ide-ide yang salah tentang diri mereka sendiri, tentang apa mereka dan apa seharusnya mereka. Mereka merancang hubungan-hubungan mereka menurut ide-ide mereka tentang Tuhan, manusia biasa dan lain-lain. Hasil otak mereka telah terlepas dari tangan mereka. Mereka, para pencipta ini, membungkukkan diri di bawah ciptaan mereka. Marilah kita membebaskan mereka dari takhayul-takhayul, ide-ide, dogma-dogma, wujud-wujud tamsil… Marilah kita melawan kekuasaan (kaidah) konsep-konsep ini…”

Alih-alih membahas Kebenaran an sich, Marx-Engels menunjukkan bahwa kebenaran itu hanyalah konsepsi atau ide yang diciptakan manusia sendiri. Ketika ide ini sudah terlepas dari mereka, lalu disembah, dipuja atau dikultuskan. Namun Marx-Engels pada dasarnya memandang bahwa manusia-manusia (pemikir) telah keliru dalam membangun ide-ide atau konsepsi-konsepsi tentang diri mereka sendiri lalu mereka merancang hubungan-hubungan mereka menurut ide-ide yang keliru ini. Kekeliruan ini pada dasarnya adalah sikap mereka terhadap hasil ciptaan otak mereka sendiri. Ide atau konsepsi menjadi satu-satunya dan dasar realitas dunia yang menentukan pola-pola hubungan mereka dengan sesama dan alam semesta. Namun Marx-Engels memandang kemajuan yang berarti dalam pemikiran Hegel yang melihat realitas ide mempunyai prinsip gerak, jadi melihat kesejarahan ide. Bagaimana filsafat sejarah Hegel yang progresif ini kemudian menjadi kultus? Hegel tetap terobsesi mencari prinsip Kebenaran dalam sejarah ide yang berubah-ubah, semena-mena, chaos namun dialektik itu dan mendapatkan ide transendental (melampaui) dalam ruh absolut.

Sekalipun Marx-Engels menolak kekuasaan ide-ide, namun mereka melihat unsur penting dalam pemahaman konseptual yang hingga zamannya mengkultuskan ide, yakni prinsip gerak dialektik atau sejarah. Selanjutnya, Marx-Engels melihat kemajuan penting lainnya dari sejarah masyarakat Eropa dalam sosialisme Prancis dan konsepsi-konsepsi ekonomi politik di Inggris. Oleh karena itu, Marx-Engels sebenarnya tidak menolak konsepsi atau ide sebagai cara manusia memahami realitas, namun yang ditentang mereka adalah kultus ide, yakni melihat ide sebagai dasar dan prinsip pokok dalam melihat realitas. Kultus ide adalah kealpaan manusia pemikir atas dirinya dan lingkungannya yang lebih nyata dari ide atau konsepsi mereka. Marx-Engels sendiri tidak memisahkan antara ide dan materi dan tidak menegasikan salah satunya, namun memandang materi sebagai realitas empiris yang awal. Sejarah pemikiran Eropa di luar Jerman menunjukkan arah yang progresif tentang realitas empiris material ini sebagaimana dipaparkan Engels dalam karyanya Sosialisme Utopis dan Ilmiah. Secara ringkas, kalau saya mengambil langkah abstraksi, maka realitas itu adalah cerapan inderawi terhadap benda atau materi. Materi ini ternyata tidak statis, namum bergerak secara dialektik karena ada sisi positif dan negatif. Di dalam ilmu alam, gerak itu disebut daya atau energi yang ternyata memang mengandung kutub positif dan negatif.

Marx-Engels tentu saja selanjutnya menghadapi persoalan manusia individu atau individu an sich, sebagaimana telah dibahas pula dalam sejarah pemikiran Eropa, awalnya dalam pemikiran Thomas Hobbes atau dalam pengaruh Rene Descartes yang melontarkan proposisi “Aku berpikir, karena itu aku ada”. Mereka menolak kultus terhadap konsepsi individu atau individualisme sebagaimana berkembang dalam tatanan masyarakat borjuis-modern. Konsepsi individu yang otonom atau Manusia dengan M huruf besar hanya bisa dipahami di dalam masyarakat. Di dalam Theses on Feurbach, Marx menyatakan:

“The standpoint of the old materialism is “civil” society; the standpoint of the new is human society, or associated humanity” (Karl Marx-Frederich Engels, The German Ideology, hal. 620).

“Titik pijak materialisme lama adalah masyarakat “sipil” (beradab), sementara titik pijak materialisme baru adalah masyarakat manusia, atau kemanusiaan yang berhimpun.”

Dalam konsepsi inilah mereka mengemukakan konsepsi materialis tentang sejarah dengan premis-premis sebagai berikut:

“… the real individuals, their activity and the material conditions of their life, both those which they find already existing and those produced by their activity…” (Karl Marx-Frederich Engels, The German Ideology, hal. 36-37).

“… individu-individu riil, aktivitas mereka dan kondisi material kehidupan mereka, mereka menemukan kedua hal ini sudah maujud dan diproduksi oleh aktivitas mereka…”

Kalau kita mengingat sejenak konsepsi ini sama dengan konsepsi tabula rasa John Locke, namun bedanya adalah determinasi lingkungan material dari kehidupan individu-individu, bukan moral seperti dalam konsepsi John Locke. Dengan demikian, premis awal dari semua sejarah masyarakat manusia adalah eksistensi (wujud) dari individu-individu manusia yang hidup. Individu-individu atau masyarakat manusia harus memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu sebelum “membuat sejarah”. Hidup disini mencakup kebutuhan dasar yakni makan, minum, tempat berlindung, pakaian sebelum segala hal lainnya. Lalu apa bedanya manusia dengan makhluk hidup lainnya seperti telah menjadi pertanyaan sejarah perkembangan filsafat Yunani? Masyarakat manusia bisa dibedakan dari binatang karena kesadarannya, agama atau apa saja sesuka kita. Namun masyarakat manusia mulai membedakan diri mereka sendiri dari binatang setelah mereka mulai membuat alat-alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Premis awal ini kemudian menjadi dasar konsepsi materialis tentang sejarah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam The German Ideology.

Sekarang saya sudah mencoba menelusuri jalan pemikiran Marx-Engels dalam dua bidang pemahaman yang telah saya sebutkan diatas. Mereka berdua atau pemikir-pemikir Eropa lainnya sebenarnya bukan individu-individu pemikir yang berdiri sendiri, namun berhubungan dengan perubahan-perubahan revolusioner tatanan masyarakatnya. Marx-Engels telah berupaya memahami dan mengajukan kritik dalam kondisi-kondisi masyarakat yang nyata, jadi bukan kritik-kritik kontemplatif dan skolastik sebagaimana menguasai pemikiran di zamannya. Kritik-kritik ini bertolak dari pemahaman dialektik dan pengamatan serta pengalaman yang nyata dalam masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya. Kritik ini pula yang membawa mereka berdua pada kegiatan-kegiatan revolusioner, tidak hanya dalam bidang pemikiran dan filsafat, namun dalam aksi-aksi politik. Karya-karya Marx-Engels juga memuat polemik-polemik ekonomi politik terutama dalam The Capital. Kita bisa mendalami lebih lanjut polemik-polemik ini untuk membaca tafsir-tafsir yang memuja dan membela atau menyerang dan menuduh secara semena-mena atas pemikiran Marx-Engels setelah mereka hingga saat ini. Kita juga bisa memahami dan mengajukan kritik dari kondisi historis saat ini atas pemikiran Marx-Engels setelah kita bisa meletakkan kontribrusi pemikiran mereka secara adil dan jernih. Menurut hemat saya, sosialisme ilmiah dan penemuan-penemuan konseptualnya yang nyata, yakni: materialisme historis dan konsepsi nilai lebih (surplus value), tidak harus menutup diri pada dialektika dalam konsepsi-konsepsinya sendiri, apalagi berubah menjadi kultus terhadap individu, zaman dan partikularitas masyarakat tertentu untuk memahami dialektika perkembangan masyarakat yang terus berlanjut, penemuan-penemuan ilmiah baru, kritik-kritik dan tentu saja aksi-aksi yang nyata demi suatu kemanusian yang membebaskan. Humanisme yang membebaskan inilah tujuan sosialisme.

Dio, kontributor Rumahkiri.net

Diperlakukan Tidak Adil, SB Berniat Mundur



 
PERSDA NETWORK/ FX ISMANTO
Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir didampingi Sekjen PAN Zulkifli Hasan, tampak serius saat memberikan pembekalan kepada 300 caleg PAN yang hadir dari 600 caleg seluruh Indonesia dalam acara 'Pemantapan Kinerja Calon Anggota Legislatif PAN se-Indonesia', Minggu (28/12) di Bollrom Hotel Sultan, Jakarta. 
Rabu, 6 Mei 2009 | 19:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir (SB) berniat mengundurkan diri karena merasa tidak diperlakukan secara adil oleh partainya. Ketika hendak mengajukan diri sebagai calon wakil presiden bersama dengan calon presiden Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Letjen TNI Purn Prabowo Subianto, internal partai seolah-olah menghalanginya.

"Puncaknya seusai peristiwa Yogya (Rapimnas PAN) lalu. Jadi Pak SB tidak memiliki ruang lagi untuk menjadikan partai sebagai alat pengabdi kepada masyarakat," ujar Ketua Penelitian dan Pengembangan DPP PAN Sayuti Asyathri, Rabu (6/5) malam, kepada Kompas.com.

Seperti diberitakan, pada rapimnas tersebut, peserta menetapkan anggota MPP DPP PAN Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden mendampingi capres dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Keputusan tersebut disahkan kendati SB tidak menghadiri sesi tersebut. Merapatnya PAN ke PD berawal ketika Ketua MPP DPP PAN Amien Rais bertemu dengan SBY beberapa waktu lalu.

Menurut Sayuti, yang juga anggota Komisi II DPR RI, kini suasana di partai berbasis Muhammadiyah tersebut sudah tidak kondusif lagi dan penuh dengan politicking. Sayuti sendiri menuding Amien sebagai salah satu penyebab tidak kondusifnya kondisi partai berlambang matahari tersebut.

Kini, lanjut Sayuti, SB berencana menunggu waktu yang tepat untuk undur diri. Namun, Sayuti beserta para elite yang dekat dengan SB tetap berusaha meminta SB untuk memimpin partai tersebut.


Senin, 04 Mei 2009