Selasa, 21 Oktober 2008

MODEL SASTRA ABRAMS

 

Dalam model ini terkandunglah pendekatan kritis yang utama terhadap karya sastra sebagai berikut:
• Pendekatan yang menitik beratkan karya sastra itu sendiri: Pendekatan ini di sebut pendekatan Obyektif.
• Pendektan yang menitik beratkan penulis: Pendekatan ini disebut Ekspresif
• Pendekatan yang menitik beratkan semesta: Pendekatan ini disebut Mimetik
• Pendekatan yang menitik beratkan Pembaca: Pendekatan ini disebut pendekatan Pragmatik. 
BENTUK KARYA SASTRA SEBAGAI VARIABEL
 Faktor waktu dari segi lainpun masih merupakan sesuatu yang penting dalam penelitian sastra: karya sastra bukanlah sesuatu yang stabil, tetap, takterubahkan; seorang ahli sastra yang sangat berjasa di bidang penelitian teks asli drama Shakespeare, Freson dan, Bowers perna menyebutkan The remorseleser corupting influense that carraway at text during the course of it’s trasmitions (Bowers 1959:8). Pengaruh perusak yang tak kenal ampun, yang mengerogoti sebuah teks sepanjang waktu penurunanya. Yaitu para penyalin naskah. 
 Variasi Merupakan dan memerankan peran yang penting dan khas dalam hal sastra lisan, yang biasanya tidak diselamatkan dalam bentuk yang lebih luas dan lebih asasi daripada yang biasanya kita lihat dari teori sastra: khususnya di indonesia sastra lisan sangat penting. Tidak hanya sebagai gejala tersendiri tetapi juga interaksi dengan sastra tulis. Malahan dapat dikatakan sejarah sastra, tidak dapat ditulisakan tanpa menyertakan sastra lisan. Sastra tulis dalam fungsi kemasayarakatanya banyak menunjukan gejala yang khas untuk sastra lisan. Sastra lisan paling sering berfungsi sebagai performing art. Maka itu masalah penelitian sastra lisan akan dibahas.
 Fungsi bahasa misalnya; kalau terinjak paku kita akan menjerik suatu kata yang menyatakan bhawa kita merasa kesakitan” Aduh” ini merupakan fungsi ekspresif dari bahasa lisan dan fatikdalam artian bahwa saya yang mnegatakan aduh tadi menyatakan situasi dengan barang siapa yang kebetulan sakit. 
 Fungsi konatif, apeal yaitu kita minta perhatian atau tolong kepada orang lain dan bisa juga kita mengharapakan kasih sayang dari orang lain.
 Fungsi refesial, sebab kata aku merupakan akibat kita spontan saja mengalami suatu peristiwa. Yang dalam bahasa indonesia menjadi sistematik (hai sahabat) konatif yang dominan karena kita mengiginkan perhatian dari seseoang. 

  Aku ini binatang jalang 
  Dari kumpulanya terbuang
  Aku disini tidak seperti bahasa sehari-hari mengacu pada pembicara, pemakain kata AKU, yaitu Chairil Anwar melainkan pada seseorang yang ke-aku-anya, kita jabarkan atas bahan sajak itu sendiri. berdasarkan kemampuan kita sebagai pemakai bahasa Indonesia. Lepas dari ancuan yang kongkrit dalam kenyataan atau realitas demikian pula dengan biantang. Yang dipakai secara metafora dengan alang. Dengan segala macam gejala lain, yang kita temui dalam bahasa sajak ini, rima, dan irama. Oleh karena itu tidak ada acuan di luar sajak itu yang diketahui dan disetujuhi baik oleh pengirim maupun oleh penerima pesan (dengan kata lain oleh doaminya fungsi puitik terhadap fungsi Reverial).
 Maka puisi mungkin ambigu, bermakna ganda. Lagi pula pengirim dan penerima peran itu tidak jelas orangnya. Pesan yang dapat sajak menjadi sesuatu” an enduring thing” lain dengan pemakai bahasa yang normal guna apabila fungsi sudah terpenuhi. Kalau peranya sudah diterima dengan baik oleh pendengar, pengirim dan penerima tidak jelas (Reflications); sajak sekaligus benda dan tanda ekuivalsusi bunyi. Dalam bentuk rima, aliterasi, asonansi; tetapi dalm skema mantra seperti kidung dan kakawin yang mempunyai kesejajaran. Antara larik dan larik, antara pupuh dengan pupuh dan di dalam larik ada macam-macam kesejajaran: seluruhnya disebut sstem mantra.
 Demikian pula irama berdasarkan kesejajaran tertentu, tetapi kesejajaran dapat juga bersifat morfologi atau sintaksis yang di ulang secara sisitematik. Dalam bentuk puisi tertentu, sedangkan gejala sebagai majas. Metafora dan metomini juga dapat di lihat dari segi ekuivalansi. Yaitu ekaulivansi semantik kala tertentu dipakai secara metafora karena dalam pandangan penyair ada persamaan tertentu antara hal yang ingin dirujuk dengan makna kata yang dipakai secara metafora. Chairil menyebut si” Aku” lirik dalam sajak ”Aku” : binatang jalang karena ternyata dalam rangka dunia rekaan sajak itu ada persamaan tertentu antara kosep binatang yang dibanyangkan oleh kata binatang dengan pandangan terhadap siaku ini. Sifat kebinatanganya yang justru oleh metafora berdasarkan prisip ekuevalensi.
 Bukan linguislah yang menentukan apa yang relevan dalam sajak tapi pembacanya: yang berdasarkan pengalaman sebagai pembaca puisi. Dengan segala pengetahuan apa relevan dan punya fungsi puitik pada suatu sajak. Sajak lebih dari stuktur tata bahasa” No Gramatical analysis of poem can give us more then gramar of poem” rifatere menonjolkan sajak sebagai sarana kmunikasi yang berfungsi dalam kotak Stilistik(R) yang sama dengan konteks harapan pembaca.
 Peneliti harus membina semacam ( Suparander) sebagai sarana pengupasan; adalah gabungan segala response terhadap sajak yang telah dikumpulakan. Sejauh response itu dilepaskan dari unsur subyektif di luar tindak komunikasi. Aspek puisi terpenting adalah ketegangan antar arti mimetik unsur bahasa dan makna smeiotiknya.

Masalah Jenis Sastra: teori Aristoteles
A. Media Of Representatons ( sarana perwujudan)
• Prosa
• Puisi; karya yang memanfatakan hanya satu mantra (mentrum) misalnya epik, ind: Syair.
• Karya lebih dari satu matra (tragedi dan kakawin)
B. Object of reprentation (Objek Perwujudan) yang menjadi objek pada prinsipnya selalu manusia tetapi ada tiga kemungkinan:
1. Manusia rekaan yang lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik homorus, dan cerita panji.
2. Manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi,lenong.
3. Manusia rekaan sama dengan manusia nyata : Roman>Cleophon
C. Manners of Poetic Representations
1. Teks sebagian dari cerita, sebagian disampaikan melalui ujaran tokoh (Dialog); Epik
2. Yang berbicara si Aku lirik penyair; Lirik
3. Yang berbicara para tokoh saja; drama

Karya Sastra dan Kenyataan 
Plato percaya seniman di ilhami oleh dewi keindahan MUSE. Seni adalah banyangan dari benda yang rendah nilainya, tapi seni memiliki hubungan tak langsung dengan sifat hakiki benda, tidak ada pertentangan realisme dan idealisme dalam seni. Seni yang terbaik tercipta lewat nimemis. Seni harusnya benar, dan seniman harus bersifat rendah hati. Lagi pula seniman cenderung menghimbau bukan rasio, nalar manusia. Melainkan nafsu emosi menurut Plato harus ditekan. Seni menimbulkan nafsu sedangakn manusia yang berani harus merendahkan nafsu. 
 Tetapi hal ini justru dibantah oleh Aristoteles, muridnya sendiri. karena ia mengangap seni justru mensucikan manusia lewat proses yang disebut katarsis. Penyucian sehingga hasil yang didapatkan akan menimbulkan kekhawatiran dan rasa kasihan dalam hasil karya seni membebaskan dari nafsu yang rendah, karya seni memuaskan estetik keadaan jiwa dan budi manusia yang justru akan ditingkatkan. Sehingga manusia menjadi budiman. 

Teeuw, A.1988. Sastra dan Ilmu Sastra ”Pengantar teori Sastra”. Jakarta: Pustaka Jaya  

Tidak ada komentar: