Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia
Periode atau masalah angkatan merupakan masalah yang sangat peka sekali di dunia sastra Indonesia, sebagaimana dalam setiap masalah persoalan reaksi yang timbul dapat di bedakan menjadi dua yaitu yang setuju dengan yang menolak. HB. Jassin yang selalu saja mengemukakan masalah periode sastra yang selalu saja membuat ribut masyarakat sastra kita. Karena pendapatnya selalu saja diperhatikan oleh orang banyak. Kita ketaui bahwa Jassin adalah seorang orang yang boleh dibilang yang mempunyai perpustakaan sastra Indonesia yang paling lengkap.
Jadi yang sebenarnya merupakan masalah para penelaah sastra sedangkan kita disini, biasanya berbicara tentang masalah tersebut adalah para pengarang yang sendiri aktif terlebat dalam dalam persoalan itu. Pengarang yang terlibat niscaya tidaka akan bisa objektif karena akan berbicara atas landasan yang erat bertalian dengan pengakuan atas dirinya sebagai pengarang.
Hal ini karena disebabkan kita belum mempunyai penelaah sastra yang cukup baik. Karena itu pengarang-pengarang sendiri aktif mencipta sering berbicara tentang masalah angkatan. Yang biasanya semakin memperkeruh keadaan. Masalaha angkatan jadi lepas dari masalah periodesasi sejarah sastra, dan dibicarakan sebagai masalah tersendiri. Seperti masalah angkatan 66 yang diplokamasikan oleh Jassin, memnag ia tidak menyebutkan siapakah saja sastrawan yang masuk dalam angkatan 66. Juga tidak ada pengarang atau sastrawan yang mengemukakan bahwa ia merupakan angkatan 66. yang ada adalah sekelompok orang yang mengunakan istilah angkatan 66 dalam artian politik dan sosial. Yaitu untuk menyebut gerakan melaan tirani yang timbul di awal tahun 1966. Apakah yang dimaksud oleh Jassin adalah penamaan dalam arti sosial politik itu? Tapi dalam tulisanya Jassin hanya menyebutkan bahwa angkatan yang dimaksud adalah angkatan dalam arti sastra bukan politik.
Mengenai angkatan 45 dapat kita ketahui bahwa pada tahun-tahun tersebut terjadi peristiwa politik yang penting. Secara kebetulan juga terjadi perubahan dalam dunia sastra Indonesia. Baik visi dan misi maupun ekspresi pengucapanya. Dalam tulisan Jassin pun ada pula yang memberikan ciri-ciri Angakatan 66 yaitu antara lain:
1. Konsepsinya Pancasila
2. Membawa kesadaran murni menusia yang bertahun-tahun mengalami kezaliman dan perosaan terhadap kebenaran dan rasa keadilan, kesadaran moral dan agama. Merupakan khas pada pada hasil kesustraan 66 ialah protes sosisal kemudian protes politik.
3. Yang masuk angkatan 66 adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur 25 tahun.
Melihat ciri yang pertama apakah para pengarang sebelum ’angkatan 66’ konsepsinya bukan Pancasila. Apakah yang demikian yang dimaksud kan oleh Jassin konsepsi Pancasila dalam karya sastra. Tidakah itu merupakan penamaan umum yang dikemukan oleh Jassin.
Tentang protes sosial dan politik apakah hal itu hanyalah khas milik sastra angkatan 66 saja?. Bagimana tentang karya-karya Yamin, Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Sanusi Pane, Abdul Muis, dan Rivai Apin tidak mempunyai ciri prtes politik demikian tantang membawa kesadaran murni manusia. Apakah itu hanya merupakan ciri angakatan 66 tapi merupakan milik seluruh atau kebanyakan karya sastra.
Sedangan ciri yang ketiga yang membuat seorang sastrawan masuk dalam angkatan 66 adalah mereka yang ketika tahun 1945 umur 25 tahun. Ia menyebutkan nama Navis dan Djamil Suherman. Keduanya sudah berkumis pada tahun 1945 dan pada tahun 1966 merekah berdua sudah lebih dari 40 tahun. Jadi 15 tahun lebih tua dari yang telah diperkirakan oleh Jasin. Navis lahir pada tahun 1924 (lebih tua dari Pramudya, Asrul sani dan Rivai Apin) dan Djamil Suherman lahir tahun 1926 (lebih tua dari Rivai Rapin).
Lantaran adanya kekacauan pengertian tentang istilah angkatan yang berasal dari dua macam sikap serta tafsiran yang berebeda, maka saya berpendapat bahwa lebih baik dalam masalah periodesasi sejarah sastra Indonesia digunakan istilah ’Period’ bukan istilah angkatan atau generasi. Istilah angakatan seperti apa yang dikemukakan oleh Pramudya Ananta Toer yaitu untuk menyebut sekelompok sastrawan yang diikat ole satu ikatan jiwa, kesatuan semangat dalam rangkuman tempat, masa dan lingkunagan yang sama.
Dalam salah satu ceramah dalam Seminar sastra falkutas sastra Universitas Indonesia Tahun 1963, Nugroho susanto menegmukakan periode sastar Indonesia sebagai berikut:
I. SASTRA MELAYU LAMA
II. SASTRA INDONESIA MODERN
Saatra Indonesia Modern dapat kita klasifikasikan bagi sejarahnya atas dua masa, yaitu:
I. Masa kebangkitan (kurang lebih 1920-1945)
II. Masa perkembangan ( 1945 sampai sekarang)
Masa kebangkitan terdiri atas 3 periode:
I. Periode 20
II. Periode 33
III. Periode 42
Sedangakan masa perkembagan kita bagi atas periode:
1. Periode 45
2. Periode 50
Chairil Anwar dan Proporsinya
Tentang Chairil Anwar dalam perkembangan karya sastra Indonesia sudah banyak dikupas dan dikemukakan. Umumnya Chairil diangap sebaga pelopor Angkatan 45 dan jasanya dalam pembeharuan bentuk puisi Indonesia. Dan perananya ini Chairil selalu diagung-agungkan. Terutama oleh HB. Jassin yang telah memitoskan Chairil Anwar. Ia mengakui sikapnya dalam tulisan Selamat Tingal Tahun 1952 perna mengakui sikapnya yang tidak objektif terhadap peranan Cahril Anwar.
Pengaruh stuktur bahasa asing dapat ditemukan dalam sajak-sajak Chairil Anwar, terutama bahasa belanda. Nampak juga ruh bahasa percakapan sehari-hari namun tidak dapat dibantah bahwa segala pengauh itu dicerna dan dimanifeskan dalam suatu susunan bahasa Indonesia. Melalui sajaknya bahasa Indonesia dapat ia buat bahasa sastra untuk mengungkapakan kehidupan dan penghidupan rohani manusia modern yang ada didalamnya. Sejak Chairil Anwar bahasa Indonesia masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan, penempaan, dan penyingihan. Tetapi berdasarkan dasar-dasar yang sudah diberikan ia telah membuka perpektif dan kakilangit baru untuk itu. Dan bukan hanya untuk bahasa Indonesia saja tetapi juga untuk sastra Indonesia. Pandangan orang yang selam ini mengatakan bahwa sajak Chairil Anwar mengutamakan isi daripada bentuk tetapi setelah diteliti lebih mendalam justru bentuk mendapatkan perhatian yang tingggi.
Berlainan dengan sastrawan lain yang namanya sering disebut oleh masyarakat umum karena kegiatanya yang diluar dunia sastra, maka Chairil tidak perna terpisah dari dunia sastra. Dari kehidupan sehari-hari dapat kita ketahui bahwa dia adalah manusia yang Individualis anarkhis yang boleh dikatakan tidak memperdulikan hal yang lainya kecuali kesastraan. Dapat dilihat hidupnya hanya berdasarkan atau dari honorium sastranya belaka.
Dan karena individualisnya ini pada masa pertengahan tahun enam puluhan banyak pihak yang mengangap bahwa sajak-sajak Chairil tidak cocock dengan revolusi, bahkan ada yang mengatakan bahwa Nasionalismenya nol. Dapat kita lihat dai sakanya ’Diponegoro’ dan ’Persetujuan dengan Bung Karno dan masih ada satu sajak lagi yang menegaskan bahwa Ia perduli kepada bangsanya, yaitu sajak ’Karawang-Bekasi’ walau kemudia dapat kita ketahui bahwa sajak tersebut merupakan hasil saduran atau terjemahan Archilibad Mac Leish yang dikenal sebagai sajak ’ The Youn Dead Soldier’ tapi kemudian ditambah warna lokal:
” kami yang kini terbaring antara Krawang-bekasi tidak bisa teriak ”merdeka” dan angkat senjata lagi”
Dan juga ia menambahkan lagi baris-baris berikut:
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syaril
Amir Hamah Raja Penyair Pujangga Baru
Bukunya yang berjudul Amir Hamah Raja Penyair Pujangga Baru h (Jakarta, 1962) dalam buku ini HB. Jassin mengumpulkan tulisan Amir Hamzah yang semula tersebar di berbagai majalah. Seperti bukunya yang membahas tentang Chairil Anwar dalam bukunya ini ai juga menyertakan daftar karya almarhum secara kronologis tetapi tidak seperti pada buku yang ia tulis tentang Chairil Anwar ” Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 ” HB. Jassin tidak menyertakan pembelaan ataupun uraian mengapa ia menobatkan Amir Hamza sebagai raja penyair pujangga baru.
Bahakan ajib melukiskan Amir Hamzah sebagai seorang penyair dan manusia yang tidak kunjung dewasa, tidak matang, baik secara kejiwaaan atau pengucapan. ” sebagai manusia biasa pun kelihatan dalam persajakanya, ia belum memperlihatkan jiwa dewasa yang tahan derita dengan tidak berkeluh kesah dan mengalirakan air mata”. Jassin mengangap mengapa ia menasbihkan Amir Hamzah sebagai Raja penyair, karena variasi yang besar dalam jumlah suku kata Amir melepaskan diri dari irama yang sesuai dengan alun jiwanya. Dengan kata-kata yang telah lama ia ciptakan alam baru, dengan kombinasi yang baru dalam pengunanan kata, kiasan dan perbandingan”.( K.22) janganlah angapan M. Balfas yang mengandaikan Jassin sebagai seorang angkutan yang mnegumpulkan dan memisahkan barang-barang sih penyair dan memcatatnya saja”. Menjadi keyataan. Dengan kesabaran dan ketelitian saja ia tidak akan memberikan dasar-dasar yang kuatuntuk suatu penghargaan yang menjadi tangung jawapnya sendiri. ia pun tidak bisa dikeluarkan adari lingkungan orang yang mencari pegangan batin dari sebuah tugu.
Kita menghargai Jasssin karena ketekunan, kerajinan, dan ketelitian ia dalam mengumpulkan buah tangan penyair Amir Hamzah almarhum yang semula tersebar. Tetapi kita harus menyadarkan jassin akan tanda bahaya yang dibawa oleh kerajinan dan ketekunan saja. Karena kita mengharapkan Jassin tidak puas menjadi angkutan saja.
Pujangga Baru Prosa dan Puisi
Buku Pujangga Baru Prosa dan Puisi yang disusun oleh HB. Jassin adalah sebuah bunga rampai atau antalogi dari para pengarang dan penyair yang oleh susunanya digolongkan apa yang dinamakan ” Angkatan Pujangga Baru” seperti yang diketahui, oleh para ahli dan penyusun buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra di bagi dalam angkatan. Dan angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagai angatan dua puluhan yang lahir sebelum Angkatan 45. tatapi dalam buku Jassin tidak disertakan mengapa ada pembagian sejarah dalam angakatn ini. Bahkan tidak sedikit sastrawan yang menolak dimasukan dalam angkatan Pujangga Baru. Misalnya Achdiat K. Mihardja yang perna mengatakan bahwa ia lebih senang dimasukan dalam angkatan Puajangga Baru daripada Angkatan 45.
Dalam kalimat pertama dalam kata pengatarnya terdengar seolah-olah Jassin baru sadar betapa sulitnya memberikan karakteristik pada angkatan-angakatan, padahal pada tulisanya Angkatan 45, ia telah menegaskan, ia begitu merasa pasti membedakan Angkatan 45 dengan Angkatan Pujangga Baru.
Tetapi kesadaran akan kesulitan itu tidaklah menyebabkan Jassin merumuskan dahulu apa konsepsinya mengenai istilah Angkatan. Apakah berdasarkan kurun masa ataukah berdasarkan perlainan konsepsi mengenai seni, mengenai hidup, dan mengenai sastra? Apakah pula yang menjadi konsepsi sastra Angkatan Pujangga Baru, sehingga oleh Jassin dipertahankan sebagai suatu Angakatan tersendiri. Atau apakah karena ada majalah dengan nama Poedjangga Baroe saja?
Lingkungan Pujangga Baru memang ada, terutama disekitar majalah Poejangga Baroe. Ini suatu kenyataan sejarah. Tetapi yang kita harapkan dari Jassin sebagai seoarang sarjana ialah analisa yang tajam dengan keterangan yang jelas dan tegas. Mengapa baginya lingkunagn tersebut merupakan suatu angakatan mengapa pula ia membedakan lingkunagn tersebut dengan lingkunagn lain sebagai suatu angkatan.
Jassin panjang lebar memberikan keerangan tentang pengaruh, persamaan dan perbedaan tiap angkatan, karena tidak ada rumusan yang tegas dan jelas mengenai tema pokok bahasanya, maka pembicaraan Jassin mengenai sementara tokoh Pujangga Baru yang terkemuka, malah memberikan kesan betapa berlainan dan berbeda konsepsi peyelesaian. Misalnya S. Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane disatu pihk dengan Sanoesi Pane dan Amir Hamzah dilain pihak. Pihak yang pertama lebih menaruh perhatian kepada dunia Barat dan pihak yang kedua lebih menaruh perhatian kepada dunia Timur. Dan mengapa mereka bersama-sama dimasukan dlaam angkatan Pujangga Baru.
Akibat tidak ada karakteristik yang jelas dan tagas seolah-olah pemilihan angakatan tersebut hanya beradasarkan pilihan Jassin mengenai sastrawan mana yang buah tanganya dimasukan dalam bunga ramapai itu.
Misalnya tidak jelas mengapa M. Jamin, Roestam Efendi, dan Sanoesi Pane dimasukan dalam angkatan Pujangga Baru, padahal para sastrawan tersebut sudah berhenti menulis sastra takalah majalah Poejangga Baroe mulai terbit. Demikian juga mengapa Soetomo Djauhar arifin yang baru muncul sebagi pengarang dengan roman Adang Taruna yang diterbitakan oleh Balai Pustaka pada tahun 1941 digolongkan dalam angkatan Pujangga Baru tetapi justru yang seharusnya dimasukan dalam angatan pujangga Baru seperti esai dari DR. Amir, St. Sjahrir, dan Amir Sjarifudin padahal ketiganya perna masuk dalam atau menjadi anggota ”Keluarga Poedjangga Baroe” karena tulisan Sjahrir itu akan memberikan latar belakang pemikiran dan kemasyarakatan umumnya para pemuka Angkatan Pujangga Baru. Bahakan Jassin memasukan esai L.K. Bohang tentang Amir Hamzah yang baru diumumkan sesudah zaman jepang tetapi tidak mengangap perlu memasukan sajak-sajak buah tangan Bahrum Rangkuti, Maria Amin dan lain-lain yang juga sudah banyak dimuat dalam malajah Poedjangga baroe.
Angkatan 66 Prosa dan Puisi
Masalah dalam dunia sastra dimasa lampau sampa sekarang adalah penrbitan buku. Pada jaman penjajaha belanda penerbitan buku kita di yang kurang banyak dan pengawasan yang ketat dari masa kemasa yang awalnya dimulai oleh balai pustaka yang bertugas untuk menseleksi dan mensesor buku yang layak terbit. jaman penjajahan Jepang adalah jaman dimana kehidupan sastra Indonesia berkembang lebih baik daripada jaman penjajahan Belanda tetapi dalam bebarapa tahun hanya beberapa buku kesastraan saja yan diterbitkan. Karena fokus yang ditujukan di dunia sastra pada jaman penjajahan Jepan untuk mendukung peran Asia Raya yang digagaskan oleh Jepang.
Secara konkrik mereka yang mengikuti perkembangan karya sastra yang dimuat di majalah Kisah (1953-1956) mengenal hasil karya pengarang yang muncul pada waktu itu. Tidak pula mereka mengeri karya sastra dan pengarang yang pada majalah Sastra (1961-1964) atau Horison sejak 1966.
Angkatan 66 yang disusun oleh H.B. Jassin untuk melengkapi ketiga antologinya yang terdahulu. Yang jelas diketahui apanila kita membaca kata pengantar, di mana Jassin berkata : semenjak terbitnya Gema Tanah Air tahun 1948 dengan tambahan kemudian hingga tahun 55-an, kesusutraan Indonesia seolah-olah terhenti pada tahun tersebut dan bagi para penulis buku pelajaran sekolah dan panitia ujian yang menyusun ujian tiap tahun karena guru hanya mendasarkan pengajaranya atas hasil-hasil pengarang yang ditampilkan pada bunga rampai tersebut.
Dari keteranganya itu saja kita telah menemukan motif apa yang sebenarnya yang telah menyebabkan Jassin bersikeras mempertahankan bukunya agar tetap berjudul Angkatan 66. karena memang benar keteranganya yang baru kita kutip itu maka ia harus memberi penjelasan secara lengkap mengapa justru tahun 1955-an yang dijadikan patokan waktu dimualnya antologi yang kemudian di beri nama Angkatan 66. apakah lantaran Gema Tanah Air telah diperluas kebetulan samapai tahun tersebut saja? Kalau benar demikan maka bagaimana dan apakah sikap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar