Kamis, 23 Juli 2009

Kawasan Bersejarah, Siapa Bertanggung Jawab?


Kamis, 2 Juli 2009 | 15:19 WIB

KOMPAS.com — Bicara soal pelestarian kawasan tua, ada satu hal yang terjadi di kota pusaka di Indonesia. Sebut saja Sawahlunto, Kota Gede (Yogyakarta), dan Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara sudah masuk dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia atau JKPI) yaitu tentang siapa sebenarnya yang akan bertanggung jawab pada kawasan lingkungan cagar budaya, si penanggung jawab harus melakukan apa saja/tugas apa yang dibebankan kepada penanggung jawab tadi.

Di dalam UU tentang Benda Cagar Budaya, UU No 5 Tahun 1992 disebutkan, “Semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara,” dan “Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah.” Dalam UU itu pemerintah lebih suka menggunakan kata benda cagar budaya (BCB) bukannya BCB dan lingkungan cagar budaya.

Di Jakarta, meskipun ada Perda Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, tetapi perhatian lebih lekat pada benda/bangunan cagar budaya. Contohnya, bidang pengawasan di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, sebelum digabung dengan Pariwisata, lebih fokus pada pengawasan BCB. Sementara itu, lingkungan cagar budaya, seperti Condet, sudah gagal. Kampung Tugu, sudah nyaris lenyap. Kawasan Kota Tua, masih bingung siapa yang bertanggung jawab pada kawasan ini. Padahal, jelas-jelas pemerintah daerah bertanggung jawab atas kawasan lingkungan cagar budaya itu, bukan cuma mengurus BCB.

Lord Donald Hankey, Presiden International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) UK memberi masukan, dengan ketidakjelasan soal tanggung jawab, perlu ada dukungan dari akademisi, komunitas pecinta pusaka, atau lembaga semacam Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) yang harusnya bisa memberi masukan pada pemerintah. “Stakeholder harus diikutsertakan dalam pembuatan rancangan master plan. Jika tidak, tentu akan sulit melaksanakan rencana itu. Harus bersama dalam melihat lahan, melihat potensi,” tandasnya.

Perlu mengupayakan pemahaman yang sama kepada semua pihak bahwa lingkungan bersejarah itu merupakan modal. Karena untuk melestarikan, orang perlu paham nilai-nilai untuk masyarakat setempat, identifikasi dalam konteks budaya atau sebuah kesepakatan lokal/nasional pada monumen atau lingkungan bersejarah. “Yang pasti, pelestarian itu nantinya harus memberikan keuntungan bagi semua pihak, bisa digunakan untuk kemudian dikelola secara berkesinambungan bagi pemeliharaan kawasan/bangunan itu sendiri,” lanjut Hankey ketika berbicara dalam acara Pelatihan Penyusunan Master Plan Kota Pusaka, di Kota Gede, Yogyakarta.

Sementara itu, Katrinka Ebbe dari World Bank Washington menyatakan, pusaka bukan benda (intangible heritage) berada pada posisi yang membahayakan dalam era globalisasi. “Dan ini terjadi di seluruh dunia. Karena orang sekarang lebih enak nonton TV, melihat ada kesempatan yang lebih menarik dibandingkan, misalnya, meneruskan kerajinan perak yang sudah turun temurun di keluarga,” ujarnya.

Spesialis sumber daya budaya bukan benda ini juga menekankan, makin hilangnya tradisi, yang menjadi intangible heritage itu tak lain adalah karena dunia pariwisata yang di satu sisi mendukung pengenalan budaya bukan benda, tetapi di sisi lain juga menghilangkan nilainya. “Misalnya, ada tarian yang karena menarik untuk turis, maka di mana-mana, setiap hari ditampilkan, padahal nilai tarian itu juga menjadi intangible heritage. Simbol ritual sering kali dikomersialkan,” demikian ia menjelaskan.

Untuk itu sekali lagi ia menegaskan pentingnya kesadaran dan pemahaman atas pentingnya tradisi yang dibangun oleh komunitas. Termasuk juga peningkatan produk budaya, seperti warisan kuliner, kerajinan. Yang terpenting, publikasi, khususnya, di dunia yang sudah tak berjarak ini, melalui website.

Namun, hal yang pertama harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran dan pemahaman adalah pendataan terhadap semua kekayaan yang ada di lingkungan bersejarah, bukan hanya fisik, melainkan juga yang non-fisik (tangible dan intangible heritage). Sudahkah Jakarta membuat daftar tersebut? Sudahkah Jakarta menjalankan Perda yang dibikin sejak 1999? Jawabnya berceceran di lapangan, fakta lapangan.

Kondom Tidak Efektif Mencegah HIV/AIDS






Thursday, 24 April 2008 02:18

Kondom Tidak Efektif Mencegah HIV/AIDS

Kondom mampu mencegah penularan HIV/AIDS. Benarkah pernyataan tersebut? Apakah kondom benar-benar efektif mencegah penularan HIV/AIDS?

Efektivitas penggunaan kondom guna menangkal penularan HIV/AIDS banyak diragukan sejumlah pakar, tidak saja ahli dalam negeri tetapi juga banyak peneliti internasional. Walaupun demikian, ada juga sejumlah “pakar” yang menyangkalnya dan meyakini bahwa kondom efektif untuk menangkal virus HIV/AIDS. Polemik ini baru menyentuh masalah teknis, belum psikologi massa, dan juga aspek sosiologis.

Salah seorang pakar di negeri ini yang gencar mengampanyekan rendahnya efektivitas penggunaan kondom sebagai pelindung dan sebagai penangkal penyebaran virus HIV/AIDS adalah Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari. Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini sejak bertahun-tahun lalu tidak bosan-bosannya menyerukan kepada masyarakat dan juga pemerintah tentang fakta ilmiah tersebut.

Menurut Dadang, “Di Indonesia, masih saja ada kelompok masyarakat yang menyatakan kondom seratus persen aman. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Survei di lapangan dan penelitian di laboratorium membuktikan bahwa penggunaan kondom hanya dapat mereduksi resiko penularan, tetapi tidak dapat menghilangkan sama sekali resiko penularan virus HIV/AIDS.”

Beberapa temuan ilmiah seputar rendahnya efektivitas kondom bagi upaya penyebaran virus HIV/AIDS, dipaparkan seperti dibawah ini:

• Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993) menyatakan bahwa efektivitas kondom diragukan.

• Pernyataan J. Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute yang menyatakan bahwa tingkat keamanan kondom hanya tujuh puluh persen.

• Penelitian yang dilakukan oleh Carey (1992) dari Division of Physical Science, Rockville, Maryland, USA, menemukan kenyataan bahwa virus HIV dapat menembus kondom. Dari 89 kondom yang diperiksa (yang beredar dipasaran) ternyata 29 darinya terdapat kebocoran, atau dengan kata lain tingkat kebocoran kondom mencapai tiga puluh persen.

• Dalam konferensi AIDS Asia Pasific di Chiang Mai, Thailand (1995), dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar.

• Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang, lebar pori-pori tersebut mencapai sepuluh kali. Sementara ukuran virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian, virus HIV dapat dengan leluasa menembus kondom.

• Laporang dari Customer Report Magazine (1995) menyatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat pori-pori kondom yang sepuluh kali lebih besar dari virus HIV.

• M. Potts (1995), Presiden Family Health Internasional, salah seorang pencipta kondom mengakui, “Kami tidak dapat memberitahukan kepada banyak orang sejauh mana kondom dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka yang telah masuk ke dalam kehidupan yang memiliki resiko tinggi (seks bebas dan pelacuran) ini untuk memakai kondom sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk memasang sabuk ke lehernya.”

• V. Cline (1995), professor Psikologi Universitas Uttah, Amerika Serikat, menegaskan bahwa memberi kepercayaan kepada remaja atas keselamatan berhubungan seksual dengan menggunakan kondom adalah sangat keliru. Jika para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan.

• Pakar AIDS, R. Smith (1995), setelah bertahun-tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan “safe sex” dengan cara mengunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya, beliau mengetengahkan pendapat bahwa penularan/penyebaran HIV/AIDS dapat diberantas dengan cara menghindari hubungan seks diluar nikah.

• Di Indonesia pada tahun 1996 yang lalu, kondom yang diimpor dari Hongkong ditarik dari peredaran karena lima puluh persen bocor.

• Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Biran Effendi (2000) menyatakan bahwa tingkat kegagalan kondom dalam Keluarga Berencana (KB) mencapai dua puluh persen. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Prof. Dr. Haryono Suyono (1994) bahwa kondom dirancang untuk Keluarga Berencana dan bukan untuk mencegah HIV/AIDS.

• Dapat diumpamakan bahwa besarsnya sperma seperti ukuran jeruk garut, sedangkan kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran titik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegagalan kondom untuk program Keluarga Berencana saja mencapai dua puluh persen, apalagi untuk program HIV/AIDS, maka akan lebih besar lagi tingkat kegagalannya. (Majalah Eramuslim Digest, Edisi Koleksi 5)

Intinya, jika ingin mencegah penyebaran HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya adalah dengan menjauhi zina. Tampaknya, kondom hanya alat yang dibuat supaya seseorang aman dan nyaman berbuat zina. Kalaupun pada suatu saat nanti ditemukan kondom yang benar-benar aman dari virus HIV/AIDS, lalu apakah para pezina itu aman dan nyaman dari murka Allah? Silahkan nilai sendiri..

Korupsi di AS, Puluhan Tokoh dan Rabi Ditangkap


Jumat, 24 Juli 2009 | 07:06 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.com — Tiga wali kota di negara bagian New Jersey, Amerika Serikat, bersama sejumlah rabi ditahan dengan tuduhan korupsi dan pencucian uang.

Dua anggota dewan legislatif negara bagian New Jersey juga termasuk di antara lebih dari 40 orang yang ditahan.

Sekitar 300 agen FBI menyerbu puluhan lokasi di segenap New Jersey dan New York sebagai bagian dari penyelidikan selama 10 tahun.

Wali Kota Hoboken Peter Cammorano, Wali Kota Secaucus Dennis Elwell, Wakil Wali Kota Kota Jersey Leona Beldini, dan Wali Kota Ridgefield Anthony Suarez termasuk yang ikut ditangkap. Dua anggota dewan legislatif negara bagian, Harvey Smith dan Daniel Van Pelt, juga ditahan.

Para penuntut federal mengatakan beberapa rabi (pemuka agama Yahudi) ditangkap di negara bagian New York dan New Jersey. Walikota Newark Cory Booker, yang dikenal sebagai aktivis antikorupsi di kota itu, mengatakan yang terjadi pagi itu sungguh luar biasa.

Kantor berita Associated Press mewawancarai seorang anggota jemaat sebuah sinagoga di Deal, New Jersey, yang dilaporkan diserbu oleh para agen dari FBI, Internal Revenue Services (IRS), dan kejaksaan setempat. "Semua orang saling pandang, bertanya, "Apa yang terjadi di sini?" kata Mike Winnick.

Winnick mengatakan, empat agen FBI mengawal seorang rabi dari sinagoga ke kantornya dan kemudian memblokir pintunya. Para agen juga membawa pergi beberapa kotak dari sekolah terdekat, yaitu sekolah yang mengajarkan anak-anak tentang leluhur orang Yahudi.

Janggal, Temuan Bom di Halaman Rumah Bahrudin


Kamis, 23 Juli 2009 | 03:04 WIB

CILACAP, KOMPAS - Penemuan bom di halaman rumah Bahrudin Latif, salah seorang target pencarian Densus 88 Antiteror, di Desa Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, dipertanyakan oleh warga setempat. Apalagi pencarian bom itu dilakukan oleh tim Densus 88 tanpa ada kesulitan apa pun, dan tanpa menggunakan anjing pelacak.

Kejanggalan itu, menurut Kepala Desa Pasuruhan, Watim Suseno, sudah dipertanyakan oleh banyak warga setempat. "Kami pun heran, kenapa tim Densus dengan mudah menemukan lokasi penimbunan bom rakitan itu, seperti sudah tahu tempatnya," katanya , Rabu (22/7) malam.

Watim mengatakan, sejauh ini pihaknya tetap setia mendukung upaya pemerintah memberantas terorisme. Oleh karena itu, dia pun tidak menghalang-halangi maupun menutup-nutupi upaya Kepolisian menangkap Bahrudin yang diduga bagian dari jaringan terorisme.

Namun untuk penemuan bom itu, Watim mengatakan, masih sulit untuk menerimanya. Apalagi Astuti, istri Bahrudin, sangat dikenal tak pernah berbohong. "Semua orang di desa ini tahu, keluarga Bahrudin itu tak pernah berbohong. Mereka sangat jujur, meski sifatnya tertutup," katanya.

Menurut Watim, saat pulang dari Yogyakarta menghadiri hajatan keluarganya, Astuti mengaku, tong plastik tempat menyimpan bom yang ditemukan Tim Densus 88, itu selalu digunakan untuk menyimpan ikan lele. Bahkan saat dia berangkat ke Yogyakarta bersama keluarganya, dua hari sebelum Tim Densus melaksanakan penggeledahan di rumahnya, tong plastik itu masih berada di belakang rumahnya.

"Loh sampai saya berangkat ke Yogya, tong itu masih ada di belakang. Mana mungkin sudah dibenam begitu," kata Watim menirukan ucapan Astuti.

Warga juga menyangsikan kecakapan para intelejen dalam mengintai kegiatan terorisme yang kini dituduhkan kepada keluarga Bahrudin. Hal itu karena Tim Densus 88 malah menggrebek rumah Bahrudin di saat kosong, pada 23 Juni kemarin.

"Kalau mereka itu intel, tentu tahu kapan keluarga itu berada di rumah. Tapi kenapa rumah lagi kosong, malah digrebek. Ini kan jadi aneh," tutur salah seorang warga.