Sabtu, 22 November 2008

Risensi Iktisar Sejarah Sastra Ajib Rosidi

PERIOD 1942-1045
1. Saat-saat yang mematangkan.
Penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan pengalaman yang penting dalam sejarah bangsa dan sastra Indonesia. Bahasa Indonesia yang tadinya dengan berbagai akal dan alasan dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda pada jaman penjajahan Jepan berkembang dengan pesat. Menjadikan satu-satunya bahasa yang di gunakan di Indonesia karena bahasa Belanda dilarang.
Dengan makin intesifnya bahasa Indonesia yang digunakan di seluruh Indonesia maka sastra yang mengunakan bahasa Indonesia semakin berkembang. Para pengarang dan seniman lainya dikumpulkan di Kantor Pusat Kebudayaan yang dinamakan Keimin Bunka Shidosho. Pemusatan para seniman itu tidak bisa lepas dari situasi perang. Maksud Jepang adalah mengumpulakan tenaga untuk guna mendukung perjuangan Jepang dalam menyatukan Asia. Jadi masu dtujuan utamanya adalah membangkitkan semangat, menambah kepercayaan orang pada keungulan tentara Dai Nippon. Dan perkumpulan sandiwara disatukan di bawah naungan P.O.S.D. ( Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) dan lainya.
Terhadap perbudakan tersebut kesenian di buat bertujuan untuk propaanda perang. Banyak seniman yang berkebertaan atas hal ini. Meskipun pertama kali Jepang datang disambut dengan uluran tangan karena Jepang membebaskan dari penjajahan Belanda. Usmar Ismail yang mulanya percaya pada slogan yang dikatakan oleh Jepang kemudian merasa curiga. Sedangkan Chairil Anwar, Amal Hamzah tidak suka akan Jepang. Dengan mengejek para seniman yang berkumpul di kantor pusat kebudayaan. Amal Hamzah membuat drama yang berjudul Tuan Amin yang merupakan sindiran terhadap Armijn Pane yang mendukung Jepang dengan menulis sandiwara yang menjadi pesanan Jepang.
Dalam dramanya mengambarkan tokohnya yang membela diri dengan mengatakan bahwa ia tidak merasa dirinya sebagai seorang seniman melainkan dirinya sebagai seorang pegawai yang mendapatkan gaji dan karena ia harus patuh kepada perintah atasan. Dan hal tersebut dilakukanya secara sadar, karena ia suka hidup senang dan tidak sudi berpakaian kumal. Dan bersepatu yang solnya mengaga.
Chairil Anwar mengemukakan prinsipnya tentang penciptaan karya seni , konsepsinya mengenai seni dan seniman dalam sebuah pidato yang diucapkan di muka Angkatan Baru tahun 1943. dengan tegas ia mengatakan bahwa baginya” Keindahan (ialah) persetimbangan perpaduan dari getaran-getaran hidup” dan vitaliteit ialah sesuatu yang tidak bisa di helakan dalam mencaapi keindahan. Serta lebih lanjut: seniman adalah sebuah tanda dari kehidupan yang melepas-bebas”. Teranglah kiranya bahwa bagi seniman yang berpendirian seperti itu, slogan-slogan dan wahyu-wahyu yang timbul dari intruksi atasan tidak berarti.” bisa dibilang bukanlah hasil seorang seniman.
Pada masa penjajahan Jepang ini kita melihat kian banyak jumlah orang yang menulis sajak dan cerpen, demikian juga sandiwara. Sedangkan roman kurang sekali. Mungkin karena keadaan sosial pada waktu itu yang memungkinkan bahwa karya seni yang disulai oleh penguasa adalah karya seni yang hidup di mata masyarakat secara merata, buka karya seni yang hidup hanya disebagian orang Indonesia seperti novel. Balai Pustaka selama masa itu hanya menerbitkan dua buah roman saja. Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar dan Novel Palawija yang ditulis oleh Karim Halim.
Situasi perang dan penderitaan lahir dan batin dijajah Jepang telah mematangkan jiwa bangsa kita. Juga pada masa inilah kita menyasikan bahasa Indonesia mengalami pemantangan. Yaitu seperti ternyata dalam sajak-sajak Chairil Anwar dan Prosa Idrus. Bahasa Indonesia hanyalah sekedar alat untuk berbicara dan bercerita. Atau menyampaikan berita, Chairil Anwar dengan usahanya mengadakan percobaan dengan kata-kata: Prosaku, puisi juga, dindalamnya tiap katanya akan kugali dan ku korek sedalamnya, sehingga kernwoord, ke kernbeeld. Dalam surat yang ditujukan kepada H.B. Jassin pada tahun 1944.
Usahanya itulah yang menyebabkan dalam perkembangan tradisi puisi Indonesia yang mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas. Bahasa sajak Chairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan tetapi bahasa sehari-hari yang dikenal oleh masyarakat. Kata-kata dipilihnya dengan cermat dan teliti sampai pada intinya. Kata-kata pada sajak Chairil dicoba supaya bukan hanya memberikan pengambaran atau tangapan tentang hidup tetapi dapat mewujudakan hidup itu sendiri.
Kehidupan yang corat-marit dalam bidang ekonomi yang mengajarkan para penulis Indonesian supaya dalam penulisanya tiap kata, setiap kalimat, setiap alenia ditimbang dengan matang. Baru kemudian di berikan kepada pembaca. Juga segala superrlativisme dengan perbandingan retorika kata yang menjadi ciri dan kegemaran para pengarang Pujangga Baru telah ditinggalkan.
Seperti yang dapat kita ketahui dari karya Idrus, ekonomisasi kata dan bahasa itu tampak jelas sekali. Bahkan cara penulianya pun diselengarakan dengan sederhana. Gaya yang dipakai oleh Idrus dikenal dengan gaya menyoal yang baru yang serba sederhana.
2. Para Penyair
Meskipun sebagian besar sajak Cahiril Anwar asli yang ditulisnya pada jaman penjajahan Jepang, tetapi karena sebagian besar baru dimunculkan sesudah revolusi dan sajak-sajaknya sesudah revolusi lebih matang. Pada masa penjajahan Jepang kita menyasikan beberapa penyair yang muncul, dan yang terpenting antara lain Usmar Ismail, Amal Hamzah, dan Rosihan Anwar
Usman Ismail, seorang pemuda Minangkabau kelahiran bukittinggi tanggal 20 Maret tahun 1921, tetapi lebih terkenal sebagai seorang dramawan dan pembuat film. Dalam dunia sastra karyanya hanya beberapa saja. Cerpenya hanya dua yang di muat dalam Pancaran Cinta dan Gema Tanah Air yang keduanya di susun oleh H.B. Jassin. Sebagian besar sajaknya kemudian dikumpulkan dalam kumpulan sajak Putung Berasap(1949).
Dalam sajaknya yang pada masa awal penulisanya ia sangat percaya kepada Jepang. Harapan bahwa dengan perantara Jepang bangsa Indonesia akan mendapatkan kemerdekaan.tetapi ia segera menemukan kekecewan. Maka ia menulis sajak yang menunjukan penyerahan dirinya kepada tuhan. Dalam sajaknya’ Kita Berjuang’ ia dengan lantang dengan hasratnya timbul kekawatiran dan ragu kepada kesungguhan janji dan semboyan Jepang.
DISERANG RASA

Apa yang hendak dikata
Jika rasa bersimaharajalela
Di dalam bathin gelisa saja,
Seperti menant sesuatu yang tak hendak tiba
Pelita harapan berkelap-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelasa hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dendam.........rindu,cinta.........
3. Cerita Pendek
Pada jaman penjajahan Jepang cerpen tumbuh dengan baik. Beberapa pengarang baru muncul. Sayembara mengarang cerpen dalam majalah yang terbit seperti Pandji Poestaka, Djawa Baroe. Cerpen banyak mendapatkan tempat.
Cerpen Usmar Ismail dan Rosihan Anwar, dan pada saat itu H.B. Jassin juga menulis cerpen. Sebuah cerpenya yang berjudul ’Anak Laut’ kemudian dengan cerpen pengarang lainditerbitkan bersama dalam kumpulan cerpen Pancaran Cinta(1946). Ini bukanlah cerpenya yang pertama tetapi merupakan cerpenya yang mungkin terakhir karena kemudian ia lebih memperhatikan penulisan kritik dan esai sastra dan juga mengdokementasi sastra Indonesia.
Pengarang cerpen yang lain muncul pada jaman Jepang ialah Bakrie Siregar. Cerpenya yang pertama dimuat berjudul ’di Tepi Kawah’ mendapatkan hadiah pertama sayembara menulis cerpen. Cerpen itu melukiskan kehidupan jauh dari masyarakat umum yang berada di tepi kawah. Dimana sepasang suami istri melarikan diri. Lukisan alam tentang kawa gunung berapi yang sangat indah.
Pada masa sesudah perang Bakrie tetap menulsi cerpen. Tetapi peranya sebagai pinpinan Lembaga Seni Sastra Lekra, lebih banyak dicurahkan kepada kritik dan polemis dan semacamnya.
4. Drama
Penulisan drama pada jaman Jepang dikatakan sangat subur. Hal ini mungki disebabkan perkumpulan rombongan sandiwara yang didirikan oleh Armijn Pane. Memang tidak semua lakon yang dimainkan semuanya sastra. Tetapi kegiatan semacam ini memberikan dorongan kepada pengarang untuk menulis drama.
Beberapa nama pengarang yang sering membuat sandiwara pada jaman Jepang; Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanafah, Idrus, Inu Kertapati. Amal Hamzah menulis beberapa sandiwara ejekan para seniman yang menjadi budak Jepang-yang tentu saja tidak bisa dimainkan pada masa itu.
Angkatan 45
Munculnya Chairil Anwar dalam pangung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak Amir Hamzah yang masih ada unsur Melayu. Meskipun sajaknya memang indah dan bermutu tinggi. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajaknya Chairil juga bermutu tinggi. Karena itulah pendapat sebagian orang bahwa dengan sajak Chairil Anwar sastra Indonesia lahir. Karena ia lebih mengunakan bahasa Indonesia, bahkan sastra karya STA, Amir Hamzah adalah sastra Melayu. Tetapi pendapat ini sagat keras karena Chairil pasti mendapatkan pengaruh dari pendahulunya.
Dengan angapan tersebut maka banyaklah orang yang berangapan bahwa Angkatan baru sastra Indonesia telah lahir. Rosihan Anwar yang pertama mengunakan nama Angkatan 45 yang kemudian populer. Tetapi meskipu namanya sudah diperoleh tetapi landasan ideal angkatan belum dirumuskan. Baru pada tahun 1950 ’Surat Kepercayaan Gelangang’ dibuat dan diumumkan. Pada waktu tersebut Chairil sudah meninggal. Ini merupakan semacam peryataan sikap yang menjadi dasar pegangan dalam perkumpulan yang bernama’ Gelanggang Seniman Merdeka’ dalam perkumpulan ini juga ada pelukis, musikus, dan seniman yang lainya.
Surat Kepercayaan Gelanggang
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudataan ini dan kami teruskan dengan cara kami sendiri. kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, karena rambut kami yang hitam atau karena tulang pelipis kami yang menjorok kedepan, tap lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud peryataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan. Tetapi kami memikirkan suatu pengidupan kebudayaan baru yang sehat.kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai rangangan, suara yang dilontarkan oleh.......
Jakarta, 18 Februari 1950



PERIOD 1961 SAMPAI SEKARANG

1. Sastra dan Politik
Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhanya sastrawan Indonesia menunjukan perhatian yang serius kepada politik. Para pengarang zaman sebelum perang banyak yang aktif dalam pergerakan kebangsaan bangsa pada masa itu. Bahkan banyak diantaranya yang lebih terkenal sebagai politikus. Seperti pengarang Muh. Yamin dan Roestam Efendi. Juga pengarang Pujangga Baru yang ikut terlibat dalam pergerakan revolusi.
Jadi adanya perbedaan pandangan mengenai seni dan sasta yang akhirnya menjadi perbedaan pendapat politik. Pada awal tahun lima puluhan tampak adanya polemik tentang Angkatan 45, bahwa dengan tidak adanya Chairil anwar angkatan 45 sudah tidak ada lagi atau mampus. Dan juga melihat bahwa revolusi 45 sudah diselewengkan dan sebutan Angkatan 45 sudah mati. Maka secara logis bahwa juga dalam sastra tidak ada yang dinamakan Angkatan 45. Pihak yang berpaham realisme-sosialis yang merupakan paham dari komunis. Aktif mengadakan polemik.
Seniman atau sastrawan yang paling keras berbicara adalah A.S. Dharta dan H.B. Jassin yang menjadikan dua kubu antara komunis dan universal. Pokok soal seni yang idak perna terselesaikan adalah paham seni untuk seni yang diusung oleh H.B. Jassin bertentangan dengan seni yang bertendens yang dibawa oleh A.S. Dharta dan kemudian oleh Pramudya Ananta Toer.
Polemik semacam ini senantiasa terjadi antara kedua kubu tersebut sehingga kadar persoalan sastra dengan politik menjadi baur. Yang mengejutkan adalah keluarnya Rivai Apin yang merupakan pendiri dan pengasuh ruang Gelangaang membelot ke kubuh realisme-sosialis. Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarata Lembaga Kebudayaan Rahyat atau yang kemudian di sebut Lekara. Sekertaris jenderal adalah A.S. Dharta yang mulanya Lekra bukanlah bagian organisasi yang dibawahi oleh PKI. Di antaranya yang hadir ketika pembentukan Lekra yang kemudia terdapat orang yang menjadi musuh yang secara tidak perna ampun PSII dan Partindo.
Dengan berbagai akal dan cara, para budayawan seniman dan pengarang Indonesia di paksa masuk salah satu badan yang bernaung dalam ikatan politik. Dan orang yang tidak masuk Lekra akan menjadi musuhnya. Bahkan induk organisasi yang tidak ikut salah satu Nasakom sebagai induk. Di desak supanya di bubarkan atau mengikuti politik tertentu. Organisasi mahasiswa dan pelajar yang hendak berdiri sendiri terus-terus akan di fitna dan diteror. Seperti yang terjadi pada HMI dan PII.
2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia
Dengan bantuan H.B. Jassin dan beberapa orang lainya menyelengarakan majalah Kisah yang telah tidak terbitlagi kemudia berganti menjadi Sastra yang diketuai sendiri oleh H.B. Jassin dengan redaktur D.S. Moeljanto. Sedangkan pada nomer pertama turut M. Balfas sebagai anggota redaksi. Dan tidak mengherankan ini merupakan kelajutan kebijakan majalah Kisah.
Seperti yang terjadi pada majalah Kisah, majalah Sastar juag mengutamakan memuat cerpen. Di samping juga sajak, kritik, dan esai. Berbeda dengan majalah Kisah pengarang yang menulis tentang esai sudah mulai banyak. Beberapa penulis esai yang ada waktu itu adalah; Gunawan Muhamad, Arief Budiman( Soe Hok Djin), D.A. Peransi. Dan lain-lain. Sementara penulis esai yang sudah terkenal seperti Iwan Simatupang dan Wiaratmoko banyak juga menulis dalam majalah Sastra. Para pengarang banyak mendapatkan keluasaan untuk tampil dan berkembang antara lain B. Soelarto, Bur Rasuanto, DLL. Tapi kehupan sekeling dipaksa untuk menerima slogan politik sebagai panglima. Majalah Sastra yang merupakan tempat berkumpulnya orang yang hendak mepertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Maka pada tanggal 17 Agustus diumumkanya Manifes kebudayaan yang di tanda tangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis antara alin: H.B. Jassin, Trino Sumarjo, Wiratno Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasulut, Soe Hok Djin dan lain-lain
Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjoangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodartnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha menciptakan dengan kesunguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Manifes segera mendapatkan sambutan dari seluruh pelosok tanah air. Budayawan, seniman, dan para penagarang yang hidup terpencil di kota lain dan selama itu hidup dalam teror Lekra dan komplotanya, melihat Manifes Kebudayaan ini sebagai juru sekamat. Maka mereka berlomba-lomba menyatakan dukunganya pada Manifes Kebudayaan. Pada pihak yang lain. Yang tidak mensetujuhi Manifes Kebudayaan yaitu Lekra menjadikan ini sebagai cara untuk menjatuhkan pihak yang mendukung Manifes Kebudayaan.
Sementara menangapi hal ini pihak majalah Sasta yang mendukung Manifes Kebudayaan mempersiapkan sebuah konferensi yang dinamakan KKPI. Meskipun namanya adalah seluruh pengarang Indonesia tetapi yang menyetujui adalah pihak yang ada pada Manifes Kebudayaan saja.