Kamis, 26 Februari 2009

Situs Perahu Kuno Telantar, Lokasi Malah Jadi Tambak Bandeng


Situs Perahu Kuno Telantar, Lokasi Malah Jadi Tambak Bandeng 
 
 
KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI
Dua pegawai Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Pariwisata dan Kebudayaan mempersiapkan skala pendokumentasian melalui foto mozaik perahu kuno di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (20/9) siang. Saat ini kondisi perahu kuno memprihatinkan lantaran kayu perahu mulai lapuk dan hancur. 
/
 
Rabu, 11 Februari 2009 | 18:36 WIB

REMBANG, RABU — Perahu kuno yang ditemukan pada akhir Agustus 2008 di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, telantar. Lokasi perahu terendam air setinggi 1,5 meter dan warga memanfaatkan genangan air itu untuk memelihara 150.000 ekor bandeng.

Warga Desa Punjulharjo Taryono (42), Rabu (11/2) di Rembang, mengatakan, hujan deras yang terjadi akhir-akhir ini mengakibatkan lokasi temuan terendam air. Kondisi itu lumrah lantaran permukaan lokasi itu lebih rendah dan bekas galian pembuatan tambak.

"Atas seizin pemilik lahan, lokasi itu kami sebari 150.000 bandeng. Modalnya berasal dari uang bagi hasil retribusi para pengunjung," kata dia.

Kepala Desa Punjulharjo Nursalim mengatakan, pemanfaatan lokasi menjadi tambak bandeng tidak akan merusak perahu kuno. Pasalnya, Direktorat Peninggalan Bawah Air meminta pemerintah setempat untuk merendam perahu itu supaya lebih awet ketimbang dibiarkan saja menunggu kepastian dana penelitian.

Pada April 2009, Balai Arkeologi Yogyakarta Direktorat Peninggalan Bawah Air, dan Balai Konservasi Borobudur, akan mengadakan penelitian tepadu. Sebelum penelitian itu dilakukan, Direktorat Peninggalan Bawah Air meminta pemerintah daerah dan setempat membebaskan lahan lokasi perahu kuno itu.

"Saat ini kami sedang bernegosiasi dengan pemilik lahan. Pemerintah daerah menawarkan harga lahan itu Rp 10.000 per meter persegi, sedangkan pemilik meminta lebih dari itu," kata dia.

Perahu kuno itu ditemukan sejumlah warga Desa Punjulharjo akhir Agustus 2008. Perahu kuno yang kurang lebih masih utuh sekitar 70 persen itu memiliki panjang sekitar 17 meter dan lebar lima meter. Di dalam perahu itu ditemukan kepala arca wanita berparas etnis Tionghoa yang terbuat dari batu, patahan tongkat kayu sepanjang sekitar 40 sentimeter, tulang manusia, dan sejumlah peralatan dapur. Saat ini, benda-benda itu diamankan Pemkab Rembang.

Secara terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Rembang Hamzah Fatoni mengatakan, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng (B P3J) menetapkan perahu kuno sebagai benda cagar budaya melalui Surat Kepala BP3J Nomor 1480/101-SP/BP3/P-VIII/2008. Pemkab juga telah menghasilkan dua opsi sebagai bentuk tindak lanjut temuan itu.

Lokasi penemuan perahu kuno dijadikan kawasan konservasi atau merelokasi perahu itu ke museum rumah dinas bupati. Kedua opsi itu mengarah pada gagasan tempat pembelajaran peninggalan budaya dan sejarah maritim. "Hanya saja, kami sedang terganjal pendanaan," kata dia.

FILOSOFI CINTA PLATO: APA INI EROS ATAU PHILIA SEMATA?

FILOSOFI CINTA PLATO: 

APA INI EROS ATAU PHILIA SEMATA?



Oleh: Heru Susanto*



Plato menyatakan ada kekuatan yang luar biasa dalam kodrat manusia. Kodrat manusia dahulu berbentuk bulat, memiliki empat tangan, empat kaki, dua muka, dua alat kelamin, dan satu leher. Makhluk ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan kekuatan yang luar biasa tersebut, para dewa dan dewi khawatir dengan keberadaan makhluk itu karena merupakan ancaman bagi keberadaan mereka sebagai pemangku kekuasaan. Kekhawatiran ini tampaknya menimbulkan rasa iri mereka. Untuk menghadapi makhluk itu, Zeus memiliki cara licik untuk mengurangi kekuatan makhluk itu dengan cara tidak membunuhnya. Zeus membelah makhluk itu menjadi dua bagian dan meminta Apollo untuk menyembuhkan luka belahan tersebut. Saat itulah, kedua bagian tubuh itu berpisah satu sama lain dan memiliki kerinduan yang kuat untuk bersatu kembali. Kerinduan itu termanifestasi dalam hasrat laki-laki dan perempuan yang ingin bersatu dalam ikatan percintaan. Inilah kisah jalinan cinta yang dikisahkan dalam risalah yang ditulis oleh Plato dalam Symposium yang kemudian menjadi teori cinta yang mempengaruhi pendekar psikonalisis, Sigmund Freud, dalam memandang cinta.



Pertanyaan tentang cinta tidak hanya berada dalam roman-roman asmara atau lagu-lagu sahdu tentang cinta. Bahasan mengenai cinta juga merupakan bidang yang tidak terlepaskan dari tangan filosof. Seperti yang dikisahkan Plato, laki-laki dan perempuan hingga saat ini pun memiliki kerinduan yang mendalam untuk saling bersatu. Ada kekuatan besar yang saling menarik mereka untuk mencari satu sama lain. Namun, kerinduan untuk bersatu tidak selamanya berjalan dengan lancar. Ada laki-laki dan perempuan yang bersatu hingga pada altar suci pernikahan hanya karena saling pandang di mal ketika sedang makan siang. Ada pula laki-laki dan perempuan hingga bertahun-tahun mengalami rasa sakit karena gagal menyatukan dirinya untuk kembali seperti semula (wujud terdahulu mereka). 



Dalam tulisan singkat ini, kita akan mengkaji cinta dari sudut pandang folosof Yunani Klasik, yakni Plato dan sedikit mengupas mengenai derita cinta tak berbalas.



Teori Cinta Plato: Philia dan Eros



Kata cinta dalam bahasa Indonesia tampaknya tidak ada batasan dalam penggunaan. Cinta digunakan untuk menunjuk hubungan yang luas, baik cinta keluarga, cinta sahabat, cinta alam, dan cinta lawan jenis, begitu juga dengan kata love dalam bahasa Inggris. Hal itu jelas berbeda dalam masa Yunani Klasik. Plato memiliki istilah yang berbeda untuk membedakan penggunakan istilah cinta. Istilah yang digunakan Plato pada dasarnya bertujuan untuk membedakan jenis cinta, yakni philia dan eros. 



Philia merupakan jenis cinta yang menunjukkan hubungan kasih sayang yang bersifat kekeluargaan, cinta antara anak dengan orang tua dan cinta terhadap sahabat. Cinta ini tidak memiliki hasrat “seksual”. Hubungan ini melibatkan perasaan kasih sayang yang mendalam, tetapi tidak bernuansa luapan libido. Cinta ini memiliki komponen untuk saling melindungi antarsesama, saling memberi, saling memiliki, dan mengasihi. Tidak ada yang membedakan jenis kelamin, suku bangsa, agama, ataupun kasta dalam struktur cinta ini.



Eros merupakan cinta yang digunakan untuk menjelaskan cinta seksual, yakni cinta antara laki-laki dan perempuan ataupun sesama jenis. Ada hasrat “seksual” yang tersimpan dalam komponen eros. Cinta seperti ini memiliki potensi sangat kuat untuk saling memiliki dengan muatan libido. Hasrat berpacaran merupakan salah satu contoh cinta eros. Ketika laki-laki menginginkan salah seorang perempuan untuk dimilikinya dan bermaksud untuk menikahinya, begitu juga sebaliknya, kondisi seperti inilah yang dimaksud dengan cinta eros. Bagaimana dengan incest? Incest atau perilaku seksual yang menyimpang yang masih ada hubungan darah dan memiliki hasrat untuk menjalin asmara, termasuk dalam kategori eros walaupun dalam incest terdapat hubungan kekeluargaan. Jadi, eros merupakan hasrat kasih sayang baik laki-laki perempuan, maupun sesama jenis yang menjurus pada spirit hubungan seksual. Kunci utama cinta eros adalah adanya hasrat seksual.



Philia dan eros merupakan pemetaan sederhana untuk mendekati garis besar pemikiran Plato mengenai cinta. Akan tetapi, kedua cinta ini tidak jarang mengundang masalah bagi hubungan harmonis manusia. Permasalahan itu dapat kita lihat dalam fenomena derita cinta tak berbalas berikut ini. 


Fenomena Cinta Tak Berbalas



Berbicara tentang cinta memang gampang, namun memaknainya luar biasa peliknya. Hal itu disebabkan pengalaman cinta antara orang satu dengan lainnya berbeda sehingga pengalaman tersebut kadang tidak dapat diterapkan oleh orang satu kepada yang lainnya pula. Generalisasi cenderung tidak berlaku dalam hal ini. Stephanie Iriana dalam Derita Cinta Tak Terbalas berusaha memformulasikan penderitaan manusia akibat cintanya yang tak berbalas. Dalam buku tersebut, ia menegaskan dalam kondisi manusia yang menderita akibat cinta tak berbalas terdapat titik balik dari kehidupan yang tak bermakna menjadi lebih bermakna. Ketika seseorang menderita karena cintanya tak berbalas, ada peluang membuka diri untuk lebih memaknai kehidupan. 



Buku itu juga membahas mengenai hasil wawancara dengan seseorang yang jatuh cinta tetapi tidak berbalas. Namun, buku tersebut tampaknya menitikberatkan bahasan pada bagaimana menemukan makna hidup dalam derita cinta. Ada sedikit yang terlewatkan mengenai pengkajian lebih mendalam “mengapa hal itu terjadi”. Hal yang terlewatkan inilah yang kadang justru menjadikan hakikat cinta semakin unik. 



Derita cinta tak berbalas sering terjadi ketika lelaki atau perempuan jatuh cinta ternyata orang yang dicintai tidak mencintainya karena tidak sesuai dengan kriteria atau sudah punya kekasih. Namun, tidak jarang pula masalah cinta mengenai laki-laki mencintai perempuan yang sudah lama bersama, ke mana-mana selalu berdua pada akhirya mengalami derita cinta. Hubungan keduanya semula sangat harmonis layaknya Adam dan Hawa. Keduanya tidak ingin terpisahkan. Karena begitu harmonis dan mesranya hubungan tersebut, si laki-laki jatuh cinta walaupun ia tahu bahwa si perempuan sudah memiliki kekasih. Laki-laki itu sangat yakin bahwa si perempuan pasti juga mencintainya karena keberadaannya sangat berarti bagi perempuan itu. Ketika si laki-laki menyatakan cinta kepada perempuan, jawaban yang didapat justru sebaliknya. Perempuan tersebut tidak dapat menerima cintanya karena mencintai laki-laki lain. Namun, perempuan itu menginginkan si laki-laki tetap berada di sisinya. Setiap saat perempuan itu selalu menghubungi laki-laki itu. Ia tidak ingin berpisah dengannya. Bagi si laki-laki, penolakan cintanya merupakan pukulan berat dan menyakitkan. 



Karena si perempuan tetap ingin bersama, laki-laki itu merasa bahwa ia dipermainkan. Ia semakin sakit ketika cinta sudah ditolak namun perempuan itu tetap mengejar-ngejar dan selalu menghubunginya. Dengan tegas, perempuan itu menyatakan bahwa ia tidak dapat berpisah dengan si laki-laki, tetapi ia tidak dapat menerima cintanya dan ia tetap mencintai kekasihnya. Inilah yang tidak dapat diterima oleh laki-laki itu hingga ia mengalami derita cinta yang paling dalam.



Fenomena seperti ini merupakan fenomena cinta yang unik dan sering terjadi. Akan tetapi, permasalahan seperti ini sering kali ditanggapi dalam perspektif sepihak. Oleh sebab itu, yang terjadi justru menempatkan pihak satu pada posisi benar dan pihak lain bersalah. Yang seharusnya terjadi justru tenggelam dalam keegoisan, yakni memahami dengan bijaksana penempatan cinta dari kedua belah pihak. 


Apa Ini Eros atau Philia Semata?



Eros dan philia tidak jarang memunculkan permasalahan. Manusia pada dasarnya memiliki keduanya. Hal itulah yang sebenarnya cikal-bakal munculnya permasalahan. Fenomena derita cinta di atas disebabkan karena tumpang-tindih menangkap cinta eros dan philia. Cinta yang dinyatakan si laki-laki kepada perempuan merupakan cinta eros, sedangkan kasih-sayang perempuan kepada laki-laki itu merupakan cinta philia. Secara tidak langsung, munculnya eros tersebut disebabkan karena philia perempuan itu begitu kuat. Ketika philia begitu kuat, persahabatan tidak ingin dipisahkan. Ia merasa yang dicintai merupakan bagian dari dirinya pula dan ia pun merasa ingin dilindungi. Akan tetapi, spirit yang ditangkap laki-laki berbeda. Ia menganggap perasaan itu merupakan eros dari perempuan untuknya.



Jadi, cinta yang dihadapi laki-laki dan perempuan tersebut berbeda. Kurang pekanya menangkap spirit eros dan philia inilah penyebab derita cinta tak berbalas yang cukup unik. Keduanya punya hasrat untuk memiliki. Yang satu hasrat-memiliki yang bermuatan seksual, sedangkan yang satunya tidak bermuatan seksual. Dalam fenomena ini, perempuan memiliki cinta yang ganda. Cinta philia perempuan ditujukan kepada si laki-laki yang menderita, sedangkan cinta eros tetap diberikan kepada sang kekasih semata.



Permasalahan kurang pekanya memahami spirit eros dan philia sering terjadi. Bila salah satunya tidak mampu memahami dengan bijaksana, yang ada hanya kebencian hingga menimbulkan retaknya persahabatan. Kunci permasalahan cinta ada pada kebijaksanaan. Ketika manusia menangkap sebuah fenomena dengan bijaksana, pada dasarnya ia telah membuka diri terhadap cinta. 



Untuk saat ini, permasalahan terletak bukan sekadar berhenti bagaimana kita mengartikan apa itu cinta. Bila yang dipermasalahkan sekadar apa itu cinta, yang muncul adalah cinta itu buta, cinta itu menyakitkan, cinta itu menyenangkan, cinta menjenuhkan yang semuanya merupakan lapisan luar belaka. Namun, pertanyaan lebih lanjut dan mendalam sebenarnya justru terlewatkan, yakni bagaimana kita memaknai kehidupan ini dengan cinta dan memahami dengan bijaksana penempatannya. “Bila ego diperkuat dengan cinta/Tenaganya menguasai dunia semesta/Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang/Tangannya menjadi tangan Tuhan/Bulan pecah oleh jari-jemarinya/Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia”, tegas Mohammad Iqbal.

FAKTA DAN REKAYASA SEJARAH: KAJIAN BUDAYA KRITIS

FAKTA DAN REKAYASA SEJARAH: KAJIAN BUDAYA KRITIS 


Oleh: Heru Susanto

Arthur Marwick, sejarawan, mengatakan “seperti apakah kiranya hidup sehari-hari dalam masyarakat jika tidak ada seorang pun yang tahu tentang sejarah? Imajinasi macet, sebab hanya melalui pengetahuan tentang sejarah-dirinyalah suatu masyarakat dapat memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri. Manusia tanpa memori dan pengetahuan-diri adalah manusia yang mengambang, demikian pula suatu masyarakat tanpa memori (atau lebih tepatnya, tanpa kemampuan mengingat) dan pengetahuan-diri akan menjadi masyarakat yang mengambang.” Sejarah bagi perkembangan masyarakat sangat penting. Melalui sejarah, masyarakat mampu mengetahui seluk-beluk perjalanan panjang yang menyebabkan sekelompok masyarakat menjadi berkembang. 



Sejarah mampu menjadikan sekelompok masyarakat mengetahui jati diri yang sesungguhnya, tentang nenek moyang, kasta, agama, dan kebudayaan yang selama ini dianutnya. Tidak ada yang dapat memungkiri, sejarah merupakan tolok ukur eksistensi manusia. Tanpa sejarah, kehidupan tidak akan berkembang. 



Melalui masa lalu, manusia akan lebih dapat memahami keberadaannya. Gadamer menegaskan masa lalu sebagai arus bagi manusia untuk bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Pemahaman tersebut dapat diartikan pemahaman dalam arti luas, seperi pemahaman sebagai makhluk berbudaya yang memiliki cara berpikir dalam menangkap segala peristiwa. 



Bila manusia kehilangan sejarahnya, manusia tidak memiliki pemahaman mengenai dirinya. Oleh sebab itu, Marwick mengatakan kelompok masyarakat tersebut akan mengambang tanpa memiliki pengetahuan-diri. Secara tegas, Marxim Gorki menegaskan “the people must know their history”. Mengapa kita berbicara tentang sejarah? Jawabannya ialah karena sejarah menentukan pemahaman mengenai keberadaan dan perkembangan kita. Bagaimana dengan keberadaan sejarah kita (Indonesia)?



Antara Fakta dan Rekayasa



Keberadaan sejarah saat ini tampaknya memberikan pandangan kepada masyarakat yang dapat dikatakan membingungkan. Berbagai pandangan sejarah bermunculan dengan berbagai versi kontroversi. Kondisi seperti ini signifikan sejak lengsernya kekuasaan Orde Baru dan digantikan dengan masa yang disebut sebagai Zaman Reformasi. Saat ini, sejarah yang selama ini diakui kebenarannya sedikit demi sedikit mulai dijungkirbalikkan. Kepincangan kebijakan-kebijakan politik yang berpengaruh dalam sejarah pada masa lalu sering diekspos di berbagai media. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menyugesti paradigma masyarakat yang menimbulkan pandangan skeptis (ragu) terhadap kebenaran yang selama ini dijadikan sebagai doktrin. Oleh sebab itu, antara fakta dan rekayasa sejarah menjadi bahan perdebatan yang sampai saat ini masih membutuhkan jawaban kebenaran. 



Rekronstruksi sejarah saat ini lebih menekankan tentang kebenaran peristiwa-peristiwa masa lalu yang dipengaruhi pemegang kekuasaan. Salah satu peristiwa tersebut ialah peristiwa berdarah yang selama ini dikenal sebagai peristiwa G 30 S/PKI. Konstruksi sejarah saat ini mempertanyakan kembali kebenaran mengenai terlibatnya PKI sebagai dalang kerusuhan tersebut. Dalam pandangan sejarah saat ini, kerusuhan tersebut masih perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai keterlibatan PKI sebagai satu-satunya sentral peristiwa kerusuhan. Dengan paradigma berpikir tersebut, pandangan sejarah saat ini cenderung tidak mencantumkan inisial PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September. 



Pandangan sejarah tersebut akhirnya berdampak pada ranah pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, menginginkan penarikan buku-buku sejarah SMP dan SMA yang diduga menimbulkan pemutarbalikan fakta (Kompas, 20 Mei 2007). Penarikan buku-buku sejarah tersebut disebabkan tidak mencantumkan identitas PKI dan hal itu dinyatakan tidak mencatat fakta kebenaran sejarah. 



Kedua pandangan tersebut menimbulkan kebingungan pada masyarakat, khususnya pada ranah pendidikan. Seiring kebijakan penarikan buku sejarah SMP dan SMA, munculnya buku-buku umum yang membahas sisi gelap sejarah oleh berbagai penerbit juga berjalan dengan genjar. Salah satunya ialah Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI karya Eros Djarot dkk. Munculnya berbagai buku tentang sejarah yang bersifat kontroversial memberikan pandangan baru terhadap masyarakat dalam memandang sejarah. Kenyataan seperti ini sangat berpengaruh terhadap ranah pendidikan yang berpredikat sebagai pencetak dunia intelektual dengan sikap kritis. Di satu sisi, mereka harus mengejar kebenaran mengenai fakta yang tertunda, di sisi lain mereka harus mengikuti sistem yang berlaku. Pertanyaan yang muncul ialah sejarah mana yang harus diakui kebenarannya?



Membahas mengenai sejarah kontroversial tersebut harus menggunakan pandangan yang kritis serta bijaksana. Penarikan buku sejarah SMP dan SMA memiliki gambaran yang bersifat antisipasi mengenai pembenaran pandangan ajaran komunisme. Pandangan seperti ini dapat dibenarkan karena ajaran penolakan adanya tuhan tidak sesuai dengan fitrah manusia yang membutuhkan suatu kekuatan transenden. Sebagai negara yang beragama, ajaran komunis jelas ditentang keras oleh berbagai agama. 



Akan tetapi, kebenaran sejarah harus tetap dipertanggungjawabkan. Pandangan sejarah saat ini yang tampaknya mempertanyakan kembali kebenaran sejarah silam merupakan pandangan kritis yang berusaha menghadirkan kebenaran yang tertunda. Dalam paradigma postrukturalisme, kenyataan dalam sejarah adalah kenyataan yang dibangun, kenyataan yang memperoleh kekuatan melalui wacana. Wacana tidak pernah terlepas dari ideologi, khususnya ideologi kelompok dominan. Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan kebenaran sejarah dikonstruksi oleh kekuasaan dominan. 



Bila pandangan sejarah ditarik pada kebenaran tunggal, hal itu sama dengan menolak kebenaran yang tertunda atau kebenaran yang dimunculkan dalam paradigma kritis. Sejarah bukanlah suatu objek yang dapat dipindahkan ke media yang lain tanpa dipengaruhi pemikiran. Rekonstruksi sejarah membutuhkan memori manusia yang di dalamnya telah bercampur dengan pandangan-pandangan tertentu. Sebagai analogi, sebuah kamera untuk membidik sebuah objek dipengaruhi pemegang kamera. Objek akan tampak berbeda bila dibidik dari sisi yang berbeda, belum lagi kemampuan photoshop pemegang kamera sudah canggih untuk mempercantik hasil bidikannya. 



Mempertanyakan kembali kebenaran sejarah tidak sekadar menjadi permasalahan dalam disiplin ilmu sejarah. Hal yang sama juga menjadi objek kajian dalam sastra. Sastra juga mengalami kegelisahan mengenai konstruksi sejarah yang telah ada. Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha menggambarkan seorang tokoh yang kehilangan orang-orang terdekatnya. Orang-orang tersebut hilang karena diduga terlibat dalam gerakan komunisme. Peristiwa-peristiwa kerusuhan pun dideskripsikan berdasarkan pembantaian tanpa peradilan. Tampaknya Kalatidha ingin mempertanyakan kembali mengenai kebenaran orang-orang yang hilang yang diduga sebagai komunis.



Hutcheon menyatakan konsep sastra dan sejarah sebagai cabang ilmu yang masing-masing menginterpretasikan pengalaman sudah dikenal pada abad ke-19. Konsep seperti ini dapat digunakan sebagai landasan pandangan kritis mengenai relativitas kebenaran. 



Pandangan Pencerahan

Kebenaran sejarah merupakan kebenaran yang dibangun berdasarkan pengalaman. Jika muncul sebuah perbedaan dalam menangkap kebenaran, hal itu merupakan suatu konsekuensi logis. Akan tetapi, bila kebenaran tersebut digiring ke arah kebenaran tunggal, hal tersebut justru dapat dikatakan sebagai penolakan berpikir secara kritis. 



Kebijakan penarikan buku sejarah yang tidak mencantumkam nama PKI juga perlu ditanggapi secara positif dan kritis. Antisipasi adanya muatan politis di balik penghapusan identitas tersebut merupakan pandangan logis. Adakah nuansa komunis akan berkembang? Bila hal itu benar, pemikiran tajam berdasarkan ketuhanan harus dipegang. Tegak dan lawan dengan berpegang pada kebenaran merupakan fitrah manusia yang berketuhanan.



Menyikapi dua pandangan mengenai sejarah yang berbeda tidak berlebihan bila tulisan ini ditutup dengan pernyataan Bachofen. Bachofen menyatakan “bukan paradoks, melainkan realitas…..bahwa kebudayaan manusia hanya berkembang setelah melalui pertentangan dan perselisihan”.

POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS: KRITIK TERHADAP YASRAF AMIR PILIANG

POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS 

POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS: KRITIK TERHADAP YASRAF AMIR PILIANG



Oleh: Heru Susanto



Dalam kajian budaya pop, nama Yasraf Amir Piliang tidak dapat dilepaskan dalam pengkajian budaya tersebut. Beberapa buku telah diterbitkan dengan kajian yang menekankan pada pengaruh budaya kapitalis, seperti Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Posrealitas: Realita Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, dan Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Budaya kapitalis diuraikan dengan runtut beserta pengaruhnya dalam kultur masa sekarang, dan juga ditekankan pada kultur nasional. Yang menarik dari pemikiran tersebut terletak pada pembahasan mengenai politik tubuh yang dipengaruhi oleh budaya kapitalis. 



Yasraf menguraikan bahwa budaya kapitalis saat ini membidik ranah tubuh sebagai lahan penanaman modal yang menghasilkan banyak keuntungan. Produksi-produksi perawatan tubuh mulai dieksploitasi besar-besaran untuk menarik manusia memperhatikan tubuhnya. Dengan diproduksinya produk perawatan tubuh secara besar-besaran, secara tidak langsung manusia mulai larut terhadap keberadaan produk tersebut dan bersaing untuk mengeksploitasi tubuh mereka pula. Saat itu pula, manusia mulai menjadikan tubuh mereka sebagai produk untuk dipertunjukkan. Kondisi pengeksploitasian tubuh oleh budaya kapitalis tersebut membentuk wacana baru mengenai politik tubuh (body politics).



Ketika menguraikan politik tubuh yang dibentuk budaya kapitalis, Yasraf mengacu pada tiga tingkatan, yakni ekonomi politik tubuh (political-economy of the body), politik ekonomi tanda tubuh (political economy of the body signs), dan ekonomi-politik hasrat (political economy of desire). Ekonomi-politik tubuh merupakan penggunaan tubuh oleh kapitalisme sebagai alat untuk membentuk konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme. Politik ekonomi tanda tubuh merupakan penggunaan tubuh sebagai tanda-tanda sebagai system pertandaan kapitalisme yang bertujuan membentuk citra, makna, dan identitas. Ekonomi-politik hasrat merupakan pemanfaatan tubuh perempuan sebagai ajang eksploitasi ekonomi. 



Ketiga tingkatan politik tubuh yang diajukan oleh Yasraf tersebut tampaknya masih terlalu tergesa-gesa. Ketika menguraikan tiga tingkatan politik tubuh, ia terperangkap pada jaring oposisi biner. Terperangkapnya dalam oposisi biner dapat dicermati ketika memosisikan perempuan sebagai objek (penderita) dan laki-laki sebagai subjek (pelaku) yang diwakili oleh kapitalisme. Ia tampaknya terlalu cepat mengambil putusan untuk memosisikan kapitalisme sebagai patriarki. Ini menunjukkan masih adanya pemikiran yang terpengaruhi wacana global mengenai hegemoni patriarki terhadap kaum perempuan. Pada hal, kapitalisme merupakan sistem yang mengarah pada pengoptimalan modal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kalaupun ada unsur-unsur pengeksploitasian perempuan, hal itu tidak serta merta kapitalisme dapat dipersandingkan dengan budaya patriarki. 



Dalam Dunia yang Dilipat:Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan hal. 341, Yasraf menyebutkan “apa yang berlangsung adalah semacam ‘ideologisasi’ atau ‘mistifikasi tubuh’, yaitu relasi tubuh secara fisik (misalnya hubungan fisikal atara laki-laki dan perempuan) dilihat sebagai sebuah relasi sosial, yang di dalamnya dibentuk posisi sosial yang berbeda, yaitu antara yang kuasa dan tak kuasa, subjek dan objek, dominan dan yang didominasi”. Pernyataan tersebut semoga tidak terjadi untuk saat ini Memang dalam kenyataannya, perempuan merupakan korban dari kapitalis, tetapi ketika perempuan menjadi manusia tak kuasa, bukan berarti laki-laki yang kuasa. Dalam budaya saat ini, yang kuasa tetap kapitalisme. Pemikiran tentang perempuan merupakan komoditi bagi kapitalisme tampaknya tidak serta-merta memosisikan perempuan sebagai objek, sedangkan laki-laki justru menduduki posisi subjek yang berada dalam sistem kapitalisme. Simpulan seperti ini kurang mengena untuk mengkaji kondisi budaya yang dipengaruhi kapitalisme. Kekuatan kapitalisme memang memiliki potensi untuk memosisikan patriarki di atas perempuan. Akan tetapi, wacana tentang pengeksploitasian tubuh perempuan oleh kapitalisme tidak harus mengacu pada masalalah laki-laki mendominasi perempuan. 



Tipisnya Batasan Laki-laki dan Perempuan



Untuk membuktikan kapitalis tidak dapat dipersandingkan dengan patriarki, hal itu perlu dicermati beberapa produk perawatan tubuh yang sering diiklankan di televisi dan berbagai media massa lainya. Jika memang kapitalisme berpihak pada laki-laki, tentunya hanya tubuh perempuanlah yang dieksploitasi sebagai komoditi. Pemikiran Yasraf tampaknya hanya cocok untuk masa lalu yang masih terikat mitos mengenai perempuan harus cantik dengan adanya iklan-iklan yang hanya menyangkut perempuan. 



Perlu dicermati, iklan-iklan dalam media massa untuk saat ini tidak hanya terfokus pada perempuan. Kapitalis pun mulai melebarkan sayapnya dengan membidik tubuh laki-laki juga sebagai lahan komoditi. Hal itu bisa ditangkap dalam iklan perawatan tubuh yang juga diperuntukkan laki-laki. Secara tidak langsung, iklan produk, seperti bedak, pewangi tubuh, minyak rambut, sabun mandi, celana dalam, kondom, alat olah raga merupakan alat perayu yang ditujukan kepada laki-laki untuk lebih memperhatikan tubuhnya. Ketika laki-laki berbondong-bondong mengejar produk tersebut, mereka telah terjerat bujuk rayu kapitalis. Mereka telah tenggelam dalam kenikmatan semu. Yang ada hanya kompetisi untuk memperindah tubuh. 



Dalam hal ini, mitos perempuan harus tampil cantik, sedangkan laki-laki harus bertubuh kekar dan jantan mulai tergeser dalam paradigma budaya kapitalis untuk saat ini. Tidak hanya perempuan yang harus tampil manis, laki-laki pun harus memperhatikan penampilannya dan bergaya semanis mungkin. Pada budaya yang menipisnya batasan antara maskulin dan feminin muncullah sosok laki-laki metroseksual. 



Sebenarnya, tubuh laki-laki pun sekarang juga memiliki tempat untuk dieksploitasi dalam berbagai media massa. Tidak jarang laki-laki juga menjadi bintang kover dalam sebuah majalah dengan memakai celana pendek dan telanjang dada. Iklan di jalan-jalan juga tidak jarang menampilkan tubuh laki-laki yang menunjukkan keseksiannya. Hal itu semuanya merupakan strategi kapitalis untuk memperlancar penjualan produknya hingga meraih keuntungan sebesar-besarnya. Saat itulah manusia mulai terjerat politik tubuh dan menjadi manusia-manusia konsumen. Ketika manusia-manusia konsumen terbentuk, kapitalisme merayakan kemenangannya. 



Kondisi ini dapat menjawab pertanyaan benarkan kapitalis memihak patriarki dan menempatkan perempuan sebagai yang tertindas semata? 





Kapitalis tidak Berpihak pada Oposisi Biner



Kapitalis tidak seperti apa yang dikatakan Yasraf yang seakan-akan memosisikan kapitalis dengan patriarki sama, dengan politik tubunya yang mengeksploitasian tubuh perempuan. Kapitalis mengarah pada sistem pengembangan modal untuk mengantongi sebanyak-banyaknya keuntungan hingga mempengaruhi budaya yang menjadikan manusia-manusia konsumen. Hal itu jelas berbeda dengan patriarki yang pada dasarnya lebih menekankan pada status keberadaan laki-laki di atas perempuan, walaupun cakupannya juga luas. 



Penempatan laki-laki pada posisi menguasai perempuan bila dicermati juga tidak dapat dijadikan pedoman untuk merujuk kapitalisme. Perlu ditegaskan untuk mengkaji politik tubuh dalam budaya kapitalis, tidak harus memosisikan laki-laki sebagai penguasa. Yang menjadi penguasa tetap kapitalis itu sendiri. Hal itu disebabkan kapitalis dapat memosisikan laki-laki sebagai subjek (pelaku), tetapi juga tidak tertutup kemungkinan perempuan juga sebagai subjek (pelaku) untuk menikmati tubuh laki-laki yang dipertontonkan. Hal itu dapat diamati dengan gencarnya produk-produk yang juga ditujukan kepada laki-laki. Yang terpenting bagi kapitalis penguasaan keuntungan sebesar-besarnya. 



Pemkiran ini semoga dapat memperluas kajian mengenai budaya pop untuk saat ini. Dari berbagai kajian mengenai budaya pop, khususnya mengenai tubuh, kajian masih berkutat pada kajian tubuh perempuan. Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah waktunya untuk memperluas kajian politik tubuh yang merujuk eksistensi laki-laki pula sebagai bentukan budaya kapitalis.

EKSTASI BUDAYA MINIMALIS: DARI TIPISNYA MASKULIN-FEMININ SAMPAI MATINYA KEGELISAHAN SANG PENCIPTA*

TENTANG BUDAYA KITA 
EKSTASI BUDAYA MINIMALIS: DARI TIPISNYA MASKULIN-FEMININ SAMPAI MATINYA KEGELISAHAN SANG PENCIPTA*

Oleh: Heru Susanto

”Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlichleben)”
~Nietzsche~

Realita Budaya

Segala kebutuhan manusia seakan-akan sudah terpenuhi dalam kehidupan ini. Hasrat untuk memiliki berbagai kebutuhan yang sering menjadikan manusia larut dalam kenikmatan-kenikmatan dunia dapat diakses secara cepat tanpa membuang waktu dan gerak. Semua serba instan. Manusia tidak harus mengeluarkan keringat untuk membeli ini dan itu. Seakan-akan kebutuhan manusia sudah dikemas dalam beberapa tombol. Untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti makan, manusia tidak harus pergi ke dapur menyalakan kompor. Aktivitas tersebut sudah dijauhi dalam budaya yang sekarang mulai berkembang. Manusia tinggal menekan beberapa tombol untuk menghubungi beberapa rumah makan atau telah membeli masakan siap saji dari mall. Yang dibutuhkan manusia adalah meminimalisasi berbagai kegiatan, waktu, dan untuk menempuh itu semua yang diperlukan adalah kecepatan.
Penampilan manusia juga dapat diakses secara cepat. Beberapa jenis model pakaian terkini, aksesoris tubuh, produk kecantikan, jenis pembalut yang berkualitas, model ponsel, mobil terkini dapat ditemukan dalam layar televisi. Semua produk diiklankan setiap hari yang hampir memenuhi setiap acara yang ditayangkan di televisi. Arus periklanan yang sangat deras memosisikan manusia pada penjara produk-produk yang seakan-akan manusia harus mengonsumsinya dan itu merupakan pilihan yang harus dipilihnya.
Gelombang produk yang ditawarkan dalam layar telivisi tampaknya memiliki nuansa untuk meleburkan kebutuhan oposisi biner antara perempuan dan laki-laki. Salah satu usaha tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya iklan-iklan yang membahas penampilan laki-laki yang tidak hanya diperentukkan pada perempuan. Laki-laki juga harus mementingkan kecantikan tubuh, seperti yang diiklankan beberapa parfum laki-laki dan perawatan kulit laki-laki. Hal itu secara tidak langsung menekankan pandangan tidak hanya perempuan yang harus memperhatikan kecantikan tubuhnya, laki-laki pun harus berpenampilan seseksi mungkin. Konsekuensi pergeseran pandangan ini memunculkan makhluk yang disebut metroseksual.
Untuk berhubungan dengan manusia lain, pertemuan secara langsung, seperti halnya menghadiri pertemuan, silaturohmi, dan bahkan janjian kencan dengan kekasih, tidak harus manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Manusia tinggal duduk dalam ruang dan menghadap layar komputer untuk melakukan hubungan dengan manusia lain. Semua sudah terpenuhi dalam ruang yang tidak memakan banyak waktu, tempat, dan memiliki kecepatan yang seakan-akan menjanjikan.
Hasrat seks dalam budaya semacam ini juga dapat dipenuhi secepat mungkin. Penyaluran seks dapat pula dipenuhi dengan melakukan hubungan intim dalam dunia maya. Layanan internet telah memfasilitasi berbagai situs porno yang dapat diakses secepat mungkin oleh konsumen. Manusia juga dapat pula aktif memenuhi hasrat seks mereka dengan berkencan dengan manusia lain melalui internet, sms, dan komunikasi melalui telepon. Model-model baru untuk memenuhi kebutuhan seks jarak jauh ini disebut sebagai teledildonik, yakni kegiatan seksual lewat jaringan komputer (Piliang, 2006:157). Aktivitas seks seperti ini merupakan aktivitas yang dilakukan dengan bantuan bahasa-bahasa porno. Hasrat seks manusia dalam hal ini dituangkan dalam bahasa-bahasa yang dapat membangkitkan libido. Bahasa dieksploitasi secara ekstrim untuk memunculkan nuansa gairah libido. Kondisi seperti itu menstimulus adanya dorongan nafsu seks mereka.
Kebudayaan seperti ini sangat didukung dengan seperangkat teknologi yang semakin berkembang. Beberapa produk digital sekarang sudah difasilitasi dengan kamera yang mampu merekam segala aktivitas manusia dan mampu memperpendek jarak yang dibutuhkan manusia untuk bertatap muka. Produk digital tersebut mendapat respon yang sangat kuat dari masyarakat. Semuanya memiliki hasrat untuk memiliki. Dalam hal ini, manusia larut pada objek. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri, banyak video porno yang bermunculan dari versi profesional sampai versi amatir. Yang paling disayangkan ialah virus video porno menyerang dunia pelajar.
Dalam wilayah lokal, pengaruh produk digital, khususnya ponsel yang semakin canggih, merupakan alat untuk menyalurkan hasrat seksual manusia. Kasus video porno amatir yang dibintangi beberapa pelajar dan berdurasi singkat merupakan salah satu produk dari teknologi yang berorientasi pada kecepatan dan peleburan batas ruang dan waktu.
Budaya-budaya yang berkembang saat ini merupakan pengaruh dari budaya kapitalis. Seperti yang dikatakan Piliang (2006:141), dunia yang dilingkupi oleh energi libido, yang lalu-lintasnya adalah lalu-lintas kesenangan, yang pertukaran ekonomi dan sosialnya adalah pertukaran hawa nafsu, dan paradigma perkembangannya adalah paradigma kecepatan, merupakan dunia ekonomi dan budaya global. Budaya kapitalis inilah yang menyebabkan segala aspek ruang dan waktu dalam dunia yang dihuni manusia seakan-akan diperkecil, namun memiliki hasrat mengonsumsi yang cukup tinggi.
Banyak manusia yang larut dalam perputaran barang yang diproduksi budaya tersebut. Ketika manusia larut dalam objek-objek hasil produksi, manusia telah kehilangan kesadaran atas dirinya. Semuanya dikendalikan oleh objek, bukan objek yang dikendalikan oleh manusia. Kondisi seperti inilah yang menjadikan tipis jarak antara subjek dan objek. Subjek tidak lagi menjadi pusat yang menggerakkan, namun justru subjek digerakkan oleh objek untuk melakukan setiap kegiatan.
Munculnya figur Tukul Arwana dalam acara hiburan di stasiun televisi swasta merupakan salah satu bentuk produk kapitalis yang meraih keuntungan besar berdasarkan jumlah pengonsumsi tertinggi. Dengan adanya acara tersebut, manusia dijadwal oleh sosok Tukul yang muncul di layar televisi. Setiap hari manusia akan meluangkan waktunya untuk menonton acara tersebut sampai malam hari. Bila acara itu terlewatkan, seakan-akan mereka kehilangan aktivitas keseharian yang berharga. Kondisi seperti ini oleh Piliang (2006:207) disebut sebagai menjelmanya media menjadi pusat gravitasi. Setiap manusia yang menempatkan pandangannya pada titik gravitasi tersebut, mereka akan tersedot oleh kekuatan gravitasi. Dalam kondisi seperti itu, manusia akan larut dalam kenikmatan yang ditimbulkan oleh salah satu produk kapitalis. Saat itu pula, manusia telah melayang dalam dunia kenikmatan-kenikmatan yang seakan-akan tanpa batas.
Kebutuhan penampilan, seks, hiburan, gaya hidup merupakan kebutuhan yang seakan-akan harus dipuaskan dalam waktu secepat mungkin. Oleh sebab itu, manusia akan mengejar berbagai informasi yang mereka anggap layak untuk dikonsumsi tanpa ada pertimbangan dari berbagai sisi mengenai manfaat yang akan dimiliki. Terperosoknya manusia pada paradigma dan gaya hidup seperti itu akan menggeser kebutuhan spiritual yang merupakan aspek kehidupan yang justru harus dipenuhi.
Nuansa perfilman Indonesia yang sering ditayangkan di televisi saat ini justru merupakan legitimasi dari bentuk ekonomi dan budaya kapitalis yang menggeser spiritualitas budaya manusia terhadap agamanya. Film-film remaja yang sering mengambil latar di lingkungan pendidikan justru menjauhkan aspek pendidikan. Beberapa bintang film yang masih remaja merupakan aktor yang paling dibutuhkan dalam produksi film untuk memerankan sebagai pelajar. Aktor remaja tersebut sering memerankan pelajar dengan gaya gaul yang penuh aksesoris tubuh. Dengan ditampilkannya peran tersebut, secara halus film tersebut menyebarkan gaya terkini yang harus diikuti oleh para remaja. Tayangan seperti itu sebenarnya justru menjauhkan manusia dari realita. Pelajar berpenampilan seksi (rok mini dan baju mini), memegang ponsel terkini, dan tidak jarang, pelajar bersekolah dengan mobil mewah merupakan gambaran yang sering ditayangkan dalam perfilman remaja Indonesia.

Ekstasi-Ekstasi dan Tipisnya Batasan Maskulin-Feminin

Dalam pertempuran untuk mengatasi dirinya, sering manusia larut dalam ekstasi-ekstasi yang menyebabkan dirinya tak terkendali. Piliang (2006:106) menegaskan ekstasi merupakan suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncaknya, ketika jiwa secara tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari. Ketika itu, muncul semacam puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa serta trance yang kemudian diiringi oleh pencerahan. Ekstasi yang disebutkan di atas merupakan ekstasi yang mengarah pada dunia mistis ketuhanan. Hal itu disebabkan dalam kondisi yang melampaui kesadaran ada suatu titik pencerahan. Kondisi seperti ini dapat dicapai untuk mendekatkan diri dengan tuhan, seperti yang dilakukan oleh meditasi Bodhidharma, pengikut tasawuf, aliran kejawen, dan meditasi lainnya yang berusaha mendekatkan diri pada sang pencipta.
Akan tetapi, ekstasi yang sekarang dialami manusia justru sebaliknya. Manusia telah lepas kesadarannya dan larut dalam ekstasi-ekstasi yang dibentuk dari luar dirinya. Manusia justru semakin jauh dari sang pencipta. Larutnya manusia dalam ekstasi-ekstasi ini merupakan konsekuensi logis dari adanya budaya kapitalis yang berusaha membentuk manusia menjadi manusia konsumen. Keadaan seperti ini dapat dilihat dari meningkatnya manusia yang lebih mementingkan kecantikan daripada pemikiran. Manusia yang larut dalam dunia kecantikan akan selalu mengejar informasi dunia perawatan tubuh dan rela menghabiskan uang demi keanggunan, keindahan, dan keseksian tubuh.
Kecantikan kini merupakan bisnis berprofit tinggi bagi industri kecantikan dan tubuh dijadikan sebagai lahan komoditi yang bernilai jual tinggi (Adlin dan Kurniasih, 2006:234). Dalam hal ini, lahan yang paling berharga bagi kapitalis adalah tubuh. Tubuh digunakan untuk menjadikan lahan sebagai pemerkaya keuntungan. Segala perawatan tubuh diciptakan demi memperbanyak konsumen yang terjerat oleh slogan-slogan perawatan tubuh. Akibat dari kondisi seperti ini ialah banyak manusia-manusia yang berlomba-lomba ingin mempercantik tubuhnya dengan berbondong-bondong ke salon, ke mall-mall belanja pakaian, pijat kecantikan, dan perawatan tubuh lainnya.
Standar kecantikan yang dikejar-kejar manusia pada dasarnya tidak menentu. Orang mengejar-ngejar berbagai produk kecantikan untuk menjadikan dia cantik dalam standar yang justru bukan orang tersebut yang menentukannya. Semua dikendalikan oleh media massa yang telah dijadikan media kampanye oleh kapitalis. Standar kecantikan yang dikejar-kejar manusia tidak lain adalah strategi pemasaran untuk menciptakan manusia-manusia konsumen. Kulit putih, rambut hitam dan lurus, aroma tubuh wangi, tubuh seksi yang dimodelkan di iklan-iklan media massa dijadikan standar manusia untuk keidealan tubuh.
Budaya saat ini tampaknya tidak hanya membidik dunia perempuan untuk masalah kecantikan dan tidak hanya menjadikan perempuan sebagai konsumen. Dunia laki-laki saat ini juga dijadikan lahan untuk membentuk hasrat mengenai tubuh. Banyak beberapa pemikir ketika membahas mengenai politik tubuh sering merujuk pada tubuh perempuan. Pada hal, budaya sekarang secara tidak langsung mulai mengikis oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya perempuan yang harus cantik, laki-laki pun harus tampil secantik mungkin. Inilah yang sering dilewatkan oleh para pengkaji budaya maupun filsafat yang membahas mengenai hasrat untuk saat ini.
Budaya telah bergeser. Kapitalis telah melebarkan sayapnya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, hingga kepentingan perawatan tubuh menjadi kebutuhan laki-laki yang seakan-akan tidak boleh dilupakan.
Hal itu dapat dicermati dalam media massa yang merupakan alat kampanye kapitalis. Dalam berbagai media massa, khususnya televisi, iklan mengenai perawatan tubuh saat ini juga dikhususkan untuk laki-laki. Gagasan-gagasan yang terdapat dalam iklan menganjurkan bahwa laki-laki harus sadar akan keindahan tubuhnya. Pewangi tubuh, perawat rambut, alat memperindah tubuh, dan bahkan laki-laki pun menjadi bintang iklan pewangi tubuh sebagai cheerleaders. Tim penyemangat dalam perlombaan biasanya dilakukan oleh perempuan, tetapi budaya sekarang tampaknya ingin menggeser kebiasan itu dengan menampilkan laki-laki dalam iklan pewangi tubuh di televisi. Mereka didandani layaknya perempuan yang mampu memberikan semangat pada pemain olah raga. Dengan penampilannya yang dipermanis, gambaran iklan tersebut menggeser pemikiran dari perempuan yang mampu menggairahkan berganti menjadi laki-laki yang menggairahkan. Tubuh laki-laki juga mampu menggairahkan bagi orang lain. Oleh sebab itu, laki-laki dianjurkan untuk memperhatikan kemanisan tubuhnya. Sekali lagi, iklan tersebut pada dasarnya ingin memropaganda kaum laki-laki untuk mempercantik diri. Hanya perempuan yang harus tampil cantik, sedangkan laki-laki harus bertubuh kekar, kuat, dan gagah adalah pemikiran yang akan digeser.
Melebarnya kampanye perawatan tubuh yang dilakukan kapitalis membentuk manusia misterius, yakni laki-laki metroseksual. Istilah laki-laki metroseksual dimunculkan kali pertama oleh Mark Simpson. Karakteristik laki-laki metroseksual ialah masih muda dengan banyak uang untuk dihabiskan, bisa untuk hidup atau dengan mudah mengunjungi kota-kota metropolitan, dan yang tidak ketinggalan bahwa mereka sangat tertarik dengan produk-produk perawatan pria, sehingga mereka selalu berpenampilan manis (Flocker, 2005:xv-xvi).
Michael Flocker pada dasarnya merupakan penulis yang dapat dikategorikan sebagai pengemban tugas untuk memopulerkan jenis manusia misterius ini. Dengan buku The Metrosexual Guide to Style: A Hand Book for the Modern Man yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 2005, Flocker memperkenalkan bagaimana untuk menjadi laki-laki metroseksual. Buku tersebut merupakan buku panduan menjadi laki-laki metroseksual dan merupakan buku yang berpredikat international bestseller.
Pengonsumsi produk kecantikan tidak hanya perempuan, tetapi laki-laki pun juga dibentuk menjadi konsumen. Kampanye ini pada dasarnya ingin menarik laki-laki lebih memperhatikan tubuh. Tidak hanya gay, waria, atau biseksual saja yang memperhatikan perawatan tubuh agar kelihatan manis, tetapi laki-laki normal pun juga harus memperhatikan penampilan. Pengaruh kapitalis secara tidak langsung akan menipiskan kebutuhan oposisi biner, yakni maskulin-feminin. Maskulin tidak lagi berpenampilan gagah yang bertubuh kekar, tetapi sosok manusia yang bertubuh seksi dan manis.
Saat laki-laki sudah terserang penyakit ingin mempercantik diri, laki-laki akan menjadi manusia konsumsi. Mereka akan berpikir tentang tubuhnya dan penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kesadaran akan larut dalam hasrat untuk memperhatikan tubuh. Berbagai perawatan tubuh dan model pakaian terkini akan diikutinya. Berganti-ganti penampilan agar tampak tampil terkini merupakan hasrat yang akan muncul pada laki-laki metroseksual. Secara tidak sadar, dirinya tidak lagi dapat mengontrol kebutuhan, tetapi berbagai perawatan tubuh dan model pakaianlah yang telah mengontrol kebutuhannya.
Adanya kampanye-kampanye seperti itu menarik manusia pada ekstasi-ekstasi yang menyebabkan mereka menjadi manusia-manusia konsumen dan terperosok pada politik tubuh. Yang disebutkan di sini hanya sebagian dari potensi-potensi ekstasi. Mereka dibentuk menjadi manusia yang seakan-akan terkondisi oleh produk-produk kapitalis. Dalam kondisi seperti ini, manusia akan mengalami ketidaksadaran terhadap dirinya sendiri. Semua kebutuhan akan disingkirkan oleh hasrat konsumen. Baik dan buruk bagi dirinya tidak lagi dihiraukan. Mereka telah melayang-layang dalam realita semu. Yang ada hanya nafsu keindahan semu yang menempatkannya pada surga yang seakan-akan tanpa batas. Kondisi inilah yang menurut Piliang (2006:108) disebut sebagai dunia ekstasi yang diatur oleh hukum serba terbalik, yang amoral adalah yang membanggakan, yang ilusif adalah kebenaran, yang rahasia adalah selubung penutup. Manusia telah menemukan dunianya sendiri, yakni dunia kebenaran semu yang telah memfasilitasi segala hasrat yang diinginkan mereka.
Manusia melepaskan diri dari dunia realita. Mereka lebih nyaman dalam dunia baru itu yang menyebabkan dirinya tenang dari kegelisahan-kegelisahan yang selama ini dialaminya. Namun, dunia baru itu secara perlahan-lahan akan menjerumuskan pada kegelisahan selanjutnya yang justru menyebabkan mereka terperosok pada pemalsuan eksistensi dirinya. Mereka telah kehilangan kesadaran diri. Budaya yang di luar dirinya justru berperan dalam menentukan keberadaannya. Secara tidak langsung, manusia tidak lagi menguasai dirinya. Manusia telah terperangkap oleh sesuatu yang di luar dirinya. Hartono (2007:54) menegaskan terperangkapnya individu pada dunia eksterior (luar dirinya) dan diabaikannya dunia interior (dalam dirinya) sebagai penentu kesadaran adalah bukti dehumanisasi, dan alienasi (keterasingan). Hal itu disebabkan pembentukan kesadaran manusia dipercayakan kepada dimensi di luar dirinya, yaitu dunia kultur sosial yang berhukum serba terbalik.


Budaya Minimalis telah Membentuk Manusia

Larutnya manusia terhadap ekstasi-ekstasi budaya di luar dirinya menyebabkan manusia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kesadaran tidak lagi direnungkan. Ketertarikan segala sesuatu yang dilihat membentuknya menjadi manusia konsumen. Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak lagi berpikir secara mendalam. Menguntungkan atau tidak menguntungkan bukan menjadi bahan yang perlu dipikirkan. Kenyataan seperti ini disebut sebagai kondisi minimalisme. Istilah minimalis dan minimalisme oleh Christopher Lasch (Piliang, 2006:13) digunakan untuk merujuk kondisi psikis individu yang memiliki hasrat yang kuat untut tetap survive dan eksis di dalam dunia kehidupan, yaitu mendapatkan kedudukan, status dan pengakuan sosial, meskipun mengetahui kondisi diri dan lingkungan tidak mendukung, sehingga memerangkapnya dalam kondisi minimalitas keterampilan, perspektif, dan pandangan. Istilah yang digunakan Cristopher Lash tersebut lebih mengarah pada fenomena kondisi psikis manusia. Istilah minimalisme dalam hal ini digunakan untuk merujuk kondisi manusia yang masih luas.
Minimalisme digunakan secara khusus oleh posmodernisme untuk menjelaskan kondisi manusia posmodern. Posmodernisme itu sendiri merupakan kritik terhadap modernisme. Posmodernisme menyatakan bahwa modernisme tidak lagi mampu menempatkan kondisi manusia pada kehidupan yang menyejahterakan. Dalam masa moderisme, dunia justru mengalami berbagai kerusakan dan keterbatasan pemikiran. Modernisme berambisi menyeret pemikiran manusia ke arah logosentrisme (kebenaran tunggal). Jadi, bila pemikiran sudah dikatakan benar, kebenaran tersebut harus diakui secara universal. Itulah satu-satunya kebenaran, tidak perlu dihadirkan kebenaran yang lain.
Dari kondisi seperti itulah, posmodernisme mengeluarkan kritik-kritik yang mendalam terhadap konsep modernisme. Pemikiran posmodernisme ini dipengaruhi oleh seorang filosof kelahiran Jerman yang pemikirannya membuat manusia gelisah, yaitu Friedrich Wilhelm Nietzsche. Ciri mendasar posmodernisme ada dua, yakni (1) pembunuhan terhadap logos (kebenaran tunggal) dan perayaan keberjamakan atau pluralitas, dan (2) penolakan terhadap pemujaan rasio yang diagung-agungkan Descartes (lihat Hartono, 2007:57).
Setelah melihat gambaran modernisme dan posmodernisme secara sekilas, bahasan kita fokuskan kembali pada minimalisme dalam pandangan posmodernisme. Minimalisme digunakan secara khusus untuk menjelaskan kondisi manusia posmodern yang berada dalam kondisi minimalis. Manusia seperti ini dibangun oleh fondasi, determinasi, kepastian, keberaturan, dan ketetapan yang minimal. Manusia ini tidak memiliki kepastian pengetahuan tentang benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya (Piliang, 2006:13). Dalam kondisi budaya saat ini, minimalislah yang paling mendominasi. Manusia telah larut dalam perputaran ruang, waktu, dan percepatan. Manusia menginginkan sesuatu yang instan untuk mengatasi ruang dan waktu. Dengan kondisi seperti ini, kecepatanlah yang dijadikan “tuhan” bagi manusia-manusia minimalis. Manusia lebih dikontrol oleh televisi, ponsel, internet, komputer, dan berbagai produk kapitalis yang lain. Manusia tidak lagi mengondisikan berbagai produk di luar dirinya, melainkan manusia telah dikondisikan oleh produk. Ketika manusia mengagung-agungkan kondisi seperti itu, budaya baru telah terbentuk, yakni budaya minimalis. Dalam budaya minimalis, tidak hanya ruang dan waktu yang menjadi sempit, tetapi nurani dan pemikiran mulai dangkal.
Dalam budaya minimalis, manusia memiliki ciri-ciri yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni manusia ironis (homo ironia), manusia skizofrenik, dan manusia fatalis (homo fatalis). Manusia ironi berpendapat baik dan buruk, benar dan salah, semata deskripsi kontingen dari kelompok tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Manusia ironi menempatkan berbagai norma dalam tempat tertentu. Dalam kondisi A, dia menggunakan kebenaran A. Dalam kondisi B, dia menggunakan kebenaran B. Keyakinan tidak lagi dijadikan panutan. Keyakinan yang ada hanya ketidakkonsistenan. Manusia-manusia seperti itu dapat digolongkan menjadi manusia yang suka kepalsuan. Mereka selalu menggunakan ”topeng”. ”Aktor” yang hebat ialah manusia ironi. Manusia ironi mengetahui secara rasional tindakannya akan membawakan pada tragedi. Akan tetapi, demi hasrat untuk tetap survive, ia mencampakkan rasionalitas itu dan menggantinya dengan berbagai kemasan ilusi, pretensi, kebohongan, dan mitos-mitos dirinya (Piliang, 2006:14). Demi menjaga eksistensinya, manusia ironi rela menghabiskan segala yang ia miliki. Semuanya demi memenuhi kebutuhan hasrat kepuasan. Gambaran ironi dapat merujuk pada kondisi seseorang yang larut dalam dunia maya (catting), waktunya dihabiskan di depan layar komputer. Dalam keadaan ini, ia melewatkan segalanya demi kepuasan dan kenikmatan yang sebenarnya juga bersifat maya atau ilusif. Hasrat seks pun juga dilakukan dalam dunia maya. Ketika manusia telah masuk dalam kondisi seperti ini, ia pun telah melewati kesadarannya hingga memasuki kondisi ekstasi.
Manusia skizofrenik ialah manusia yang ingin lepas dari segala sesuatu yang mengungkung dirinya atau yang menyebabkan dirinya tidak bebas dalam segala hal. Menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Piliang, 2006:14-15), skizofrenia merupakan sebuah gerakan pembebasan diri dari berbagai aturan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama, dalam rangka mengakui dan melepaskan segala dorongan purba manusia, dengan melampaui ego. Kebebasan yang absolut merupakan konsep dari manusia skizofrenik. Mereka tidak ingin terikat pada satu aturan yang menyebabkannya tidak bebas. Pemutar-balikan kode dalam suatu masyarakat merupakan ambisinya. Segala jenis aturan diterimanya. Yang paling dipentingkan adalah perpindahan dari aturan satu ke aturan lainnya. Tidak ada kekonsistenan dalam skizofrenik. Semuanya bebas. Tidak ada pemaksaan dalam sebuah pemikiran atau kepercayaan. Piliang (2006:15) menyebutnya manusia tanpa ego. Maksudnya ialah manusia yang tidak menolak, membatasi atau melarang apa pun, sehingga yang ada hanya kebabasan tanpa batas. 
Bila dilihat dalam gambaran yang serba kapitalis, manusia skizofrenik merupakan manusia-manusia yang sering berganti gaya. Produk-produk terbaru akan dikonsumsi untuk menggantikan citra bagi dirinya yang menurutnya sesuai dengan arus zaman. Manusia seperti ini tidak dapat menentukan makna hidupnya dengan bereksistensi pada sesuatu yang pasti. Identitas diri dalam hal ini tidak lagi dibutuhkan. Identitas begitu cepat berganti. Hal itu disebabkan ada sesuatu di luar dirinya yang membangkitkan nafsu mengonsumsi yang sangat liar. Dick Hebdige (Piliang, 2003:151) mengemukakan tentang konsumen ”... konsumen skizofrenik yang terdisintegrasi ke dalam rangkaian kesesatan-kesesatan (instant) yang tak mampu mereka cerna, yang terperangkap ke dalam keberadaan di mana-mana dan seketika citraan dan informasi yang dikomodifikasi, dan hidup selama dan hidup selamanya di dalam chronos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu-), tanpa pernah mampu menemukan jalan menuju tempat suci kairos (kehidupan siklus, mistis, dan bermakna)”.
Manusia fatalis ialah manusia yang terserap ke dalam logika objek (logika TV, fashion, komoditi, gaya hidup), yang tidak dapat melepaskan diri darinya, dan di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam, yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, dan –seperti sebuah busa spons—hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikannya (Piliang, 2006:15). Manusia fatalis hanya bersifat reseptif. Mereka hanya mengonsumsi segala sesuatu yang ia tangkap melalui indra tanpa mempertimbangkan secara mendalam. Kehidupan yang dialami manusia fatalis berada dalam citraan-citraan yang dianggap sebagai dunia realita. Mereka terjebak dalam dunia layar yang setiap saat mereka kunjungi.
Manusia fatalis juga disebut sebagai manusia layar. Menurut Piliang, manusia layar (the screen man) ialah manusia yang sebagian ruang dan waktunya dihabiskan di depan layar (televisi, komputer, video, ponsel, film, ATM) dan terserap dalam logika layar, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara dunia di dalam layar dengan dunia di luar layar (reality). Mereka menikmati petualangan dalam dunia layar, sehingga dunia layar tersebut merupakan kebenaran realita yang telah dipilihnya. Mereka terlalu nyaman dalam dunia tersebut. Dunia realita yang sebenarnya justru diabaikan oleh manusia fatalis.
Kondisi manusia fatalis merupakan kondisi yang serba fatal. Segala bentuk informasi yang diberikan oleh media massa, diserap begitu saja tanpa ada proses pemahaman lebih dalam. Kekritisan dalam berpikir telah larut dalam informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya. Yang terpenting dalam dunia fatalis ialah kepuasan. Kepuasan untuk bergaya, kepuasan makan, kepuasan belanja di mall, kepuasan berias di salon, kepuasan main game, kepuasan seks maya (sciena sexualis) merupakan kepuasan yang dikejar-kejar dan seakan-akan mengejar aksistensi tuhan.
Dunia virtual juga merupakan dunia tempat manusia fatalis bereksistensi. Rheingold (Piliang, 2006:124) mengungkapkan bahwa orang-orang di dalam komunitas virtual menggunakan kata-kata dalam layar untuk saling bersenda gurau dan berdebat, terlibat dalam wacana intelektual, malakukan perdagangan, saling tukar pengetahuan, saling membagi dukungan emosional, membuat perencanaan, saling sumbang gagasan, gosip, rayuan, menciptakan karya seni, percakapan yang tak ada juntrungannya. Akan tetapi, kehidupan manusia fatalis di dalam dunia virtual lebih mengarah pada kegiatan yang tidak ada juntrungannya. Mereka cenderung larut dalam internet. Membincangkan gosip, berbincang dengan bahasa yang dapat menggairahkan libido, merupakan gaya yang lebih dekat dengan eksistensi manusia fatalis. Yang paling nyata dan hal itu semakin menjamur ialah larutnya manusia pada layar ponsel. Dari anak-anak, remaja, sampai orang tua, semuanya cenderung tidak pernah lepas dari layar ponsel. Kondisi seperti itu khususnya dialami oleh remaja. Mereka setiap hari larut dalam layar ponsel. Waktu untuk membaca buku dan menulis telah dialokasikan pada layar ponsel. Mereka terperangkap oleh hegemoni layar ponsel, yang secara tidak langsung terhegemoni oleh sistem kapitalis.
Dalam kondisi seperti ini, masalah finansial pelajar dan juga mahasiswa yang sebenarnya dapat digunakan untuk menunjang wawasan intelektual berubah menjadi energi untuk beraksi dalam dunia layar ponsel. Membaca buku kini beralis membaca sms. Menulis karangan ilmiah, artikel, esai, puisi, cerpen, atau novel telah beralih menjadi menulis sms yang tidak jelas tujuannya. Kondisi seperti ini merupakan kondisi keproduktivitasan yang fatal. Pemanfaatan fasilitas telekomunikasi kini berubah menjadi tempat untuk ”bunuh diri”. Dunia virtual kini tidak dapat mereka kendalikan, justru mereka telah dikendalikan oleh dunia virtual itu sendiri. Gambaran seperti ini merupakan gambaran untuk memperjelas sosok manusia fatalis.
Ketiga jenis manusia (ironis, skizofrenik, fatalis) merupakan bentukan budaya minimalis. Ketika manusia telah terseret dalam kenikmatan-kenikmatan televisi, game, ponsel, internet, shopping, life style dan sebagainya, mereka telah terperangkap dalam ekstasi-ekstasi budaya minimalis, sehingga mereka menganggap bahwa dunia maya tersebut merupakan dunia penuh dengan kenikmatan dan mereka telah menjauhi dunia realita. Saat itu pula, manusia akan sulit mengendalikan diri, ketika mereka telah terseret dalam budaya tersebut. Kesadaran dan rasionalitas telah lepas dari pemikiran manusia. Yang ada hanya pelepasan hawa nafsu secara liar. Semua dikemas secara cepat dan padat.

Matinya Kegelisahan Sang Pencipta

Saat budaya minimalis menyerang berbagai sudut kehidupan manusia, budaya berpikir kritis dan kreatif manusia mulai terancam. Bila manusia telah terseret dan tenggelam dalam budaya minimalis, kegelisahan manusia untuk menjadi sang pencipta telah larut pula dalam ekstasi-ekstasi menyesatkan. Yang ada hanya kegelisahan-kegelisahan yang justru dapat mematikan eksistensi manusia. Tidak ada penderitaan. Yang tersisa hanyalah kegelisahan-kegelisahan terhadap kenikmatan semu. Mereka justru lari dari penderitaan dan mereka justru mengejar kenikmatan yang pada dasarnya akan menjerumuskan pada kehilangan makna hidupnya.
Larinya manusia dari penderitaan dan berusaha mengejar kenikmatan yang semu akan mematikan eksistensi manusia yang menurut Nietzsche sebagai sang pencipta. Nietzsche (Hassan, 2005) mengatakan “kreasi—itulah pelunasan terhadap penderitaan dan cahaya yang kian terang dalam kehidupan. Namun, untuk menjadi pencipta diperlukan penderitaan dan banyak perubahan. Bagitulah kalian harus banyak kali menjalani kematian yang pahit dalam hidup kalian, hai pencipta.” Keinginan Nietzsche untuk menggugah manusia menjadi pencipta akan sia-sia jika manusia itu sendiri telah takut dengan penderitaan-penderitaan dan lari pada kenikmatan-kenikmatan yang pada dasarnya semu. Penderitaan yang dikatakan Nietzsche dapat ditempatkan pada budaya saat ini, sebagai perlawanan dari kondisi yang melarutkan manusia dari kenikmatan-kenikmatan semu. Untuk melawan kondisi seperti itu, manusia harus berani menghadapi kegelisahan terhadap budaya minimalis. Ketika manusia gelisah melihat kondisi yang dapat menenggelamkan manusia sebagai konsumen, saat itulah manusia telah menyadari eksistensinya berada dalam jurang yang mampu mematikan eksistensinya.
Kegelisahan terhadap budaya minimalis inilah yang akan mengantarkan manusia pada kedalaman hidup yang bermakna. Manusia dalam hal ini harus melawan semua serangan-serangan budaya minimalis yang sarat dengan kampenye-kampenye kenikmatan semu. Saat manusia menahan hasratnya untuk larut dalam kondisi minimalis, saat itu pula, manusia mengalami penderitaan. Hal itu disebabkan kondisi di luar diri kita penuh dengan rayuan yang penuh dengan kekuatan. Hanya manusia-manusia yang berani menghadapi penderitaanlah yang mampu ke luar dari medan bujuk rayu tersebut.
Kenapa kita harus gelisah? Hal itu disebabkan kegelisahanlah yang menyebabkan manusia untuk melakukan perpindahan. Dengan kegelisahan, manusia dapat mulai berpikir tentang keberadaannya. Kegelisahan pula yang mengantarkan manusia pada kontemplasi (perenungan) terhadap makna hidup yang dalam. Akan tetapi, bila dalam kegelisahan manusia tidak memiliki keberanian untuk menghadapi segala sesuatu di luar dirinya, manusia akan tenggelam dalam rayuan kenikmatan yang semu. Ketika manusia telah larut, nafsulah yang akan memegang kendali kesadaran. Tidak ada lagi kegelisahan untuk menjadi sang pencipta. Yang ada hanya pelepasan hasrat sebagai konsumen yang justru akan membawanya pada tragedi. Dalam kondisi saat itu, manusia telah mati. Tidak ada lagi pemikiran kritis sertas kreatif dalam diri manusia. Manusia telah menjadi makhluk konsumen semata dan kesadarnnya telah diambil alih oleh benda-benda yang mereka anggap sebagai pemuas kebutuhan. Benda-benda tersebut (televisi, ponsel, game, mall, komputer) merupakan berhala-berhala yang mereka puja.
Untuk melawan produk-produk kapitalis, manusia dapat mengendalikan dirinya dan tetap berada dalam kesadaran. Tidak ada jalan untuk menghindar dari budaya yang dibentuk kapitalis. Jalan yang harus ditempuh adalah menghadapi dengan keberanian. Budaya minimalis adalah budaya yang dapat membahayakan bagi keberlangsungan hidup manusia. Bila manusia tenggelam dalam budaya minimalis, mereka hanya akan memperoleh kenikmatan semu atau ilusif tanpa ada makna kehidupan yang mendalam.
Nietzsche (Sunardi, 2006:74) mengatakan ”percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlich)”. Perkataan Nietzsche di atas mengacu pada keberanian dalam menghadapi kehidupan, tanpa larut akan kenikmatan-kenikmatan yang dapat mempersempit makna hidup. Manusia tidak harus mengambil jalan pintas dalam kehidupan atau lari dari dunia relita, hingga melarutkan diri dari kenikmatan semu. Kehidupan yang berbahaya dapat dilakukan dengan menghadapi budaya minimalis yang sarat dengan derasnya produk-produk kapitalis yang penuh bujuk rayu. Buah yang paling besar dan kenikmatan tertinggi ialah pemerolehan makna kehidupan ini. Itu semua dapat diraih ketika manusia selalu dalam kondisi sadar dan selalu kritis terhadap sesuatu di luar dirinya tanpa larut ke dalamnya. Ketika manusia mampu mengatasi kesadarannya, kegelisahan untuk menjadi sang pencipta akan muncul dalam kesadaran. Sang pencipta itu sendiri adalah manusia-manusia yang kritis dan kreatif. Sang pencipta juga selalu gelisah terhadap semua yang dihadapinya. Dalam kondisi gelisah, sang pencipta akan berpikir kritis terhadap kepincangan-kepincangan kehidupan, hingga menjelmakan bentuk kreativitas. Dari tangan sang pencipta, muncullah teori-teori baru, karya-karya baru, pemimpin-pemimpin baru yang penuh dengan jiwa perubahan ke arah kebenaran.
Akan tetapi, lain ceritanya, bila manusia-manusia, khususnya mahasiswa yang bergerak dalam dunia intelektual, sekarang tidak lagi berani menghadapi kenyataan yang penuh keilusifan. Tidak banyak manusia yang berhasil menghadapi bahaya budaya minimalis yang dibentuk oleh produk-produk kapitalis. Manusia yang tidak berani menghadapi kenyataan dan tenggelam dalam kenikmatan semu akan menjadi salah satu dari tiga manusia minimalis, yakni manusia ironis, manusia skizofrenik, dan manusia fatalis. Dalam kondisi larut terhadap kenikmatan semu, kegelisahan untuk menjadi sang pencipta telah mati. Pemikiran kritis dan kreatif manusia tidak pernah ada. Yang ada hanya manusia-manusia konsumen semata. Sang pencipta telah mati. Produk-produk kapitalis telah menenggelamkan pemikiran kritis dan kreatif manusia. Manusia telah dilanda krisis kesadaran, sehingga mereka melarikan diri dari dunia realita menuju dunia kenikmatan semu.
Tenggelamnya manusia dalam kenikmatan semu inilah yang kiranya mematikan intelektualitas pemikir generasi bangsa, sehingga yang tersisa hanya manusia ironis, skizofrenik, dan fatalis. Tidak ada lagi kegelisahan manusia untuk menjadi sang pencipta. Bila manusia terperosok menjadi manusia minimalis, bagaimana dengan kehidupan manusia selanjutnya? Semoga kita tidak tenggelam dalam kenikmatan semu, sehingga kita tetap dalam kesadaran dan kekritisan dan menjadi sang pencipta. Amin!

*Disampaikan di Mimbar Ilmiah Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa, 2007

Daftar Rujukan


Adlin, Alfathri dan Kurniawan. 2006. Hasrat Tubuh, Kosmetik, Kecantikan: Perempuan sebagai Kosmos dan Konsumen Citraan. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Flocker, Michael. 2005. The Metrosexual Guide to Style: Saatnya Pria Tampil Seksi. Terjemahan Ayu Perwitasari. Bandung: B-first

Hartono, Agustinus. 2007. Skizoanalisis Deleuze & Guattari: Sebuah Pengantar Geneologi Hasrat. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Hassan, Fuad. 2005. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogayakarta dan Bandung: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Posmodernisme. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Sunardi, St. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS

Presiden Tanda Tangani Perpu No 1/2009 /

 
Jumat, 27 Februari 2009 | 04:10 WIB

JAKARTA, KAMIS - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (26/2), menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perpu ditandatangani dengan semangat menyelamatkan suara rakyat dan menyukseskan Pemilu 2009.

”Setelah perpu ditandatangani, pemerintah akan meminta persetujuan DPR. Untuk mendapat persetujuan itu, pemerintah optimistis karena dua semangat dasar, yaitu menyelamatkan suara rakyat dan menyukseskan Pemilu 2009. Semua partai politik pasti mendukung dua semangat itu,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana di Jakarta, Kamis (26/2).

Menurut Denny, perpu itu mengatur perbaikan rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT), seperti yang diminta Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan penandaan surat suara lebih dari satu kali, seperti hasil rapat semua pihak yang terkait dengan pemilu di Istana Negara, awal Januari 2009. Perpu dibuat setelah melihat perkembangan persiapan pelaksanaan Pemilu 2009 dan hasil sejumlah simulasi yang dilakukan.

”Perbaikan rekapitulasi itu tak akan menambah jumlah DPT. Aturan ini memungkinkan pemilih terdaftar yang tak terekapitulasi bisa terekap dan dapat menggunakan hak suaranya. Perpu ini untuk memperbaiki rekapitulasi. Untuk perbaikan itu, KPU membutuhkan dasar hukum agar tidak menjadi masalah di kemudian hari,” ujar Denny.

Menurut dia, perbaikan rekapitulasi diperlukan karena adanya perbedaan data rekapitulasi antara Departemen Dalam Negeri dan KPU.

Sebelum Maret 2009

Dalam diskusi terbatas di harian Kompas, Kamis, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dan mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan berharap perpu tentang penandaan surat suara boleh dua kali dan perbaikan DPT bisa keluar pekan ini. Dengan demikian, perpu itu dapat diserahkan dan dibahas DPR sebelum masa reses yang dimulai 3 Maret 2009.

Ketua KPU menambahkan, sebenarnya, jika sampai akhir Februari Perpu tentang Perubahan UU No 10/2008 belum keluar, KPU tak akan meminta lagi perpu itu dikeluarkan. KPU yakin pemilu akan berlangsung dengan sukses karena persiapan sudah dilakukan sebaik-baiknya.

Namun, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menyayangkan pemerintah tak menerbitkan perpu untuk masalah yang lebih urgen dan dibutuhkan KPU, yakni terkait penetapan calon anggota legislatif terpilih dengan suara terbanyak. KPU bisa segera mengeluarkan peraturan.

”Jadi, KPU tak usah ragu-ragu. KPU termasuk sebagai pembuat regulasi pemilu meski peraturan KPU belum ada dalam hierarki peraturan hukum,” kata Jeirry.

Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, perpu yang dikeluarkan Presiden bukan untuk tujuan curang. ”Kita hendaklah berpikir positif. Kalau kita berpikir negatif, pemilu tidak jalan-jalan karena akan berpikir kotak suaranya dicuri dan sebagainya,” katanya. Perpu itu dibuat berdasarkan hasil simulasi pemilu. (inu/ina/har/tra

Minggu, 22 Februari 2009

Siap-siap, Kunjungan Pertama Komet Lulin

Siap-siap, Kunjungan Pertama Komet Lulin
 
Paolo Candy/Cimini Astronomical Observatory 
Komet Lulin khas dengan ekor ganda dan pancaran cahaya berwarna hijau.
/
 
Senin, 23 Februari 2009 | 08:06 WIB

WASHINGTON, SENIN - Langit malam awal pekan ini akan diramaikan dengan kunjungan Komet Lulin untuk pertama kalinya sepanjang sejarah pengamatan astronomi ke pusat tata surya. Komet tersebut akan berada pada jarak terdekat dengan Bumi dan ada kemungkinan dapat diamati dengan mata telanjang.

Nama Lulin diambil dari nama observatorium yang pertama kali dipakai untuk mengamatinya. Komet Lulin yang juga disebut C/2007 N3 direkam pertama kali oleh astronom Taiwan Lin Chi-Seng pada 11 Juli 2007 dari Observatorium Lulin di Nantou, Taiwan. Awalnya dikira asteroid, namun diidentifikasi sebagai komet baru oleh Ye Quanzhi, mahasiswa Universitas Sun Yat-sen China dari tiga foto yang direkam Lin.

"Tidak seperti komet-komet lainnya yang pernah terlihat dari Bumi, yang satu ini belum pernah berada pada jarak sedekat ini dengan Matahari sebelumnya," ujar Donald Yeomans, manajer program Objek Dekat (NEO) Bumi NASA. Sekali melenting di Matahari, kecepatannya akan bertambah dan segera meninggalkan pusat orbit parabolanya ke tepian tata surya.

Lulin telah mengelilingi Matahari di jarak orbit terdekat pada 10 Januari 2009 lalu dan sejak saat itu terlihat makin terang dari Bumi. Komet tersebut akan berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi sejauh 61 juta kilometer pada Selasa (24/2).

Saat mendekati pusat tata surya, panas Matahari telah memanaskan permukannya yang terdiri dari campuran debu, gas, dan es. Hasil pengamatan NASA menunjukkan, komet tersebut melepaskan uap air ke ruang angkasa yang setara dengan air sebanyak satu kolam renang bersatndar Olimpiade setiap 15 menit.

Hijau dan terbalik

Cahaya hijau yang dipancarkannya merupakan daya tarik komet Lulin. Warna tersebut berasal dari gas yang menyelimuti atmosfernya. Gas yang memancar dari inti komanya mengandung cyanogen (CN), jenis gas beracun yang banyak terkandung dalam komet, dan diatom karbon (C2). Keduanya menyala hijau saat terpapar cahaya Matahari di ruang hampa.

Selain itu, Komet Lulin seolah-seolah memiliki dua ekor. Jika dilihat dari Bumi, selain ekor utama (tail) yang mengarah menjauhi Matahari juga terdapat ekor di depan mengarah ke Matahari yang disebut antitail. Hal tersebut akibat ilusi optik yang terjadi saat Bumi pengamatan sejajar dengan garis orbitnya.

Ia juga akan tampak bergerak cepat dan berpindah dari posisinya terhadap bintang-bintang yang ada di latar belakangnya. Hal ini karena arah gerak komet yang berkebalikan dengan arah gerak Bumi di tata surya.

"Jika planet-planet dan objek lain di tata surya mengelilingi Matahari berlawanan arah jarum jam, Lulin mengelilingi searah jarum jam," ujar astronom NASA Stephen Edberg.

Karena memiliki lintasan orbit parabola yang sangat besar, Komet Lulin mungkin jarang sekali mendekat Matahari. Kandungan gas murni yang terbentuk sejak komet itu lahir di awal pembentukan tata surya diperkirakan masih sangat banyak. Pengamatan terhadap gas yang dipancarkan selama "mengunjungi" Matahari akan membantu para ilmuwan menungkap rahasia kelahiran tata surya.

Keunikan Lulin telah menarik perhatian astronom di seluruh penjuru dunia. Jadi, tertarik menyaksikan momen langka yang mungkin hanya datang sekali seumur hidup?