Selasa, 21 Oktober 2008

EMAHAMI ESTETIKA KARYA SENI LEBIH DEKAT

MEMAHAMI ESTETIKA KARYA SENI LEBIH DEKAT

Oleh: Heru Susanto*


Judul : Estetika Sastra dan Budaya
Penulis : Nyoman Kutha Ratna
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, Februari 2007
Tebal Buku : xii + 497


Karya seni yang sesungguhnya memberikan dua manfaat. Pertama, karya seni membebaskan manusia dari kemauan, hawa nafsu, dan kejahatan. Kedua, karya seni memberikan kita konsep dan gagasan (hal. 74). Kedua manfaat karya seni tersebut sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Kehidupan manusia sampai saat ini lebih mengutamakan ambisi untuk menikmati hidup. Oleh sebab itu, yang terjadi hanyalah pendistorsian yang dilakukan manusia. 
Hilangnya moral serta etika dikarenakan telah jauhnya manusia dari kekuatan transenden (rohani). Kenyataan tersebut berdampak pada munculnya perusakan-perusakan oleh beberapa kelompok manusia. Untuk mengembalikan manusia ke ranah tersebut, harus ada sesuatu yang mampu menggerakkannya. Salah satunya ialah karya seni. Hal tersebut disebabkan karya seni merupakan produk budaya yang kompleks, dari agama, pendidikan, politik, ekonomi, serta konsep-konsep sosial terfregmentasi dalam karya seni. Akan tetapi, tidak semua manusia mampu menikmati atau bahkan memasuki dunia seni. Di mana letak keindahan seni? Pertanyaan tersebut sering kita dengar. 
Konsep keindahan telah digagas oleh filosof Yunani, Plato dan Aristoteles, sejak abad 5/4 SM. Karya seni yang pada hakekatnya ialah keindahan memiliki misteri tersendiri hingga saat ini masih memunculkan konsep baru untuk mendekatinya. Konsep-konsep itu dimaksudkan untuk mengkaji lebih lanjut karya seni, sehingga manusia mampu masuk ke medan seni. Bila manusia sudah mampu memasuki ranah seni, kekuatan estetis akan diperoleh. Dari kekuatan estetis inilah, manfaat karya sani tersembunyi. 
Proses menikmati karya seni sering menjadikan problema bagi seseorang. Untuk menikmati karya seni, seseorang harus memiliki pengalaman estetis. Pengalaman estetis merupakan kemampuan seseorang untuk menangkap keindahan dari karya seni. Oleh sebab itu, penikmat karya seni bukan pasif melainkan aktif. Penikmat dituntut untuk dapat memproyeksikan imajinasi ke dalam objek, karya seni. Dari sana, proses dialogis mulai terbentuk. 
Kemampuan setiap orang untuk menangkap keindahan karya seni berbeda-beda. Hal tersebut dilatarbelakangi daya imajinasi seseorang juga tidak sama. Akan tetapi, setiap manusia dapat menikmati karya seni. Hal itu disebabkan pengalaman estetis bukan didasarkan pada bakat atau daya intelegensi semata. Pengalaman estetis diperoleh melalui proses yang terus-menerus. Penikmat harus membuka diri pada karya seni. Dengan adanya kesadaran membuka diri pada karya seni, penikmat akan mampu dipengaruhi untuk masuk dalam ranah estetis. Bila subjek sudah masuk ke objek, manfaat estetis karya seni dapat diserap secara intensif. Namun, bila subjek sudah menolak dan belum dapat membuka kesadaran diri, wujud estetis tidak akan pernah dinikmati.
Pertanyaan yang muncul lebih lanjut ialah di manakah estetika itu berada? Dari penikmat karya seni atau dalam karya seni itu sendiri? Pertanyaan tersebut memunculkan dua pandangan, yakni a) kelompok objektif, yang berpandangan kualitas estetis terkandung dalam karya seni itu sendiri, b) kelompok subjektif, yang berpandangan kualitas estetis terkandung dari penikmat seni. Menurut Ingarden, estetika karya seni terkandung dalam karya itu sendiri. Sebaliknya, Vodicka menyatakan penikmatlah yang paling menentukan nilai estetis karya seni. Dalam sastra khususnya, pembaca sering ditempatkan pada posisi utama. 
 Kedua pandangan tersebut akhirnya mengerucut pada pandangan Segers yang menyatakan karya seni, khususnya sastra, dibedakan menjadi dua nilai seni, yakni nilai intrinsik dan nilai rasional (hal. 212). Nilai intrinsik mengindikasikan entitas sastra independen, yakni karya sastra memiliki nilai permanen dan abadi. Nilai rasional lebih ditentukan oleh pembaca. Nilai intrinsik dan rasional merupakan satu kesatuan. Nyoman Kutha Ratna menganalogikan nilai intrinsik sebagai harta karun yang tidak memiliki arti ketika belum digali. Hal tersebut mengindikasikan tanpa penikmat (apresiator), karya seni akan tenggelam.
Estetika Sastra dan Budaya karya Nyoman Kutha Ratna memaparkan kajian estetika dalam karya seni secara umum hingga mengerucut pada kosep estetika pada karya sastra. Perkembangan konsep estetika dipaparkan berdasarkan pandangan filosof Yunani kuno hingga perdebatan gagasan para filosof masa modernisme sampai ke postmodernisme. Estetika Sastra dan Budaya dapat dijadikan buku pedoman untuk memberikan pandangan untuk mendekati, menikmati, serta mengakrabi karya seni. Bagi kritik sastra, buku tersebut merupakan pedoman yang dapat dirujuk sebagai landasan penilaian. 


*Penulis ialah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
penikmat buku, menulis pada jurnal sastra dan seni, aktif menulis karya ilmiah serta
pimpinan redaktur buletin Cultural Studies dan redaktur Tabloid Gema UNESA

 

Tidak ada komentar: