Minggu, 22 Juni 2008

Indonesia ke Arah Bangsa yang Gagal


Kompas
Minggu, 22 Juni 2008 | 15:21 WIB

BANDUNG - Seratus Tahun pasca- Kebangkitan Nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia kian menunjukkan kegagalan di berbagai aspek. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia tidak lagi memiliki semangat dan nilai-nilai kejuangan yang sama seperti 100 tahun lalu.

Hal ini mengemuka pada diskusi dan orasi kebangsaan bertema ”Revitalisasi Nilai-nilai Kejuangan untuk Membangun Indonesia yang Maju, Sejahtera, dan Berkarakter” di Bandung, Sabtu (21/6).

Guru besar geofisika Institut Teknologi Bandung, MT Zen, mengatakan, 100 tahun pascakebangkitan, Indonesia semakin terpuruk dalam berbagai bidang, terutama peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dengan tingginya angka kemiskinan di tengah negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Kekayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari sumber daya alam dan manusia yang begitu beragam saat ini justru dijadikan alat pemecah bangsa. ”Bila perbedaan ini dulu dijadikan semangat untuk bersatu, tetapi sekarang sebaliknya. Semangat dan nilai juang saat dulu sudah beralih menjadi kepentingan individu,” kata Zen.

Ia mengatakan, pudarnya semangat dan nilai juang ini disebabkan pembentukan karakter bangsa yang buruk. Tidak hanya menyebabkan hilangnya persatuan bangsa, tetapi menyebabkan berbagai masalah sosial muncul akibat tata kelola negara yang tidak baik.

Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia perlu melakukan transformasi budaya dalam mengejar ketertinggalan dari negara berkembang lainnya. ”Transformasi ini harus dilakukan dari pembentukan karakter melalui pemberian pendidikan yang baik kepada generasi berikutnya,” kata Zen.

Hal senada disampaikan guru besar ITB, Gede Raka, yang berpendapat, bangsa Indonesia kini memiliki enam karakteristik budaya utama. Ini meliputi budaya korupsi, kultur kekerasan, kemunafikan, peminta-minta (kurang berusaha), individualistis, hingga menurunnya kebanggaan atas bangsa sendiri.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pembentukan karakter yang mengedepankan persatuan, penghargaan pada keberagaman, solidaritas, dan optimistis melalui perbaikan pendidikan dan budaya.

Demokrasi tak optimal

Pada aspek politik, pengamat politik, Zukri Saad, mengatakan, kegagalan Indonesia tecermin pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang hanya bergerak pada tataran normatif. ”Esensi dari pilkada jarang tersentuh, bahkan pada pilkada masih disetir oleh kekuatan yang memiliki modal (uang/kapital),” kata Zukri.

Menurut dia, Indonesia membutuhkan penyusunan agenda publik 100 tahun ke depan, dengan menekankan pada aspek pelaksanaan demokrasi yang optimal. Dengan demikian, terpilih pemimpin yang tegas, berwibawa, dan mampu memberikan perubahan terhadap bangsa Indonesia.

Sedangkan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Erry Riyana Hardjapamekas, berpendapat, kegagalan bangsa Indonesia berakar pada buruknya budaya birokrat sebagai pemegang core bernegara. Oleh karena itu, transformasi bangsa tidak hanya dilakukan dari segi pendidikan, tetapi juga menyentuh pula aspek tata kembali birokrasi bangsa.

Pengamat hukum, Achmad Ali, berpendapat, tata laksana berbangsa dan bernegara hendaknya diikuti keberadaan tata aturan atau norma yang menunjang aspek berbangsa dan bernegara. ”Ubahlah paradigma (mindset) atau pola pikir bangsa dari manusia untuk (menaati) hukum menjadi mencari hukum yang tepat untuk manusia,” kata Achmad.

Ia menilai, setelah 100 tahun mengikuti sistem hukum yang mengacu pada tata hukum Belanda, sudah saatnya Indonesia memiliki tata hukum yang sesuai kebutuhan bangsa. (A15/A01/A04)

Ada Pembesaran Hati dan Limpa Milik Maftuh Fauzi

Sabtu, 21 Juni 2008 | 18:25 WIB

KEBUMEN, SABTU - Maftuh Fauzi (27), mahasiswa Universitas Nasional korban pemukulan aparat kepolisian saat terjadi aksi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di Kampus Unnas pada 24 Mei silam dan akhirnya meninggal, dimakamkan di kampung halaman ibunya di Desa Adikarto, Kecamatan Adimulyo, Kabupaten Kebumen, Sabtu (21/6), sekitar pukul 11.00.

Namun sebelum dimakamkan, korban diotopsi oleh tim dokter forensik Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan Universitas Diponegoro Semarang, dengan menempati kamar jenazah Rumah Sakit Umum Daerah Kebumen, sekitar pukul 06.30.

Permintaan otopsi itu diajukan oleh Kepolisian Resor Kebumen dan disetujui oleh orang tua korban, Muhamad Sahdi (55) dan Mumfatimah (54). Proses otopsi berlangsung selama tiga jam, dan berakhir pada pu kul 09.30.

Usai melakukan otopsi, ketua tim dokter forensik Fakultas Kedokteran Unsoed, M Zaenuri Samsul Hidayat dengan didampingi Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Syahroni dan Kepala Polres Kebumen Ajun Komisaris Besar Triwarno Atmojo , memberikan keterangan pers kepada wartawan di RSUD Kebum en.

Zaenuri mengatakan, pada bagian belakang kepala korban memang ditemukan memar akibat pukulan benda tumpul, tapi memar itu telah sembuh. Setelah rongga kepala korban dibuka, tak ditemukan pendarahan maupun kerusakan pada rongga kepala.

Selain membuka rongga kepala, Zaenuri mengatakan, timnya juga memeriksa bekas luka pada dada kiri korban yang dijahit. Setelah dibuka, timnya menemukan tanda-tanda infeksi akut pada kedua bagian paru-parunya.

"Pada rongga bagian dalam, lanjutnya, juga dapat dilihat dengan mata telanjang terdapat pembesaran hati dan limpa yang akut dan sudah menahun. Pembesaran organ ini tampak dengan mata telanjang," ujarnya.

Namun, Zaenuri mengatakan, pihaknya masih belum bisa menetapkan penyebab kematian korban. Karena itu pula, pihaknya mengambil sambel dari sejumlah organ dalam korban, yaitu otak, hati, dan darah. "Sampel ini akan diperiksa di laboratorium FK Undip, dan hasilnya baru bisa diketahui seminggu mendatang, " katanya.

Saat dimintai keterangan, orang tua korban mengaku ikhlas menerima kematian anak pertama mereka. Namun mereka enggan memberikan keterangan penyebab kematian anaknya itu, karena merasa tak paham ilmu medis. "Tapi kami ikhlas menerima nasib yang menimpa anak kami, " ucap Muhammad Sahdi.

Anggota Komisi III DPR RI Ganjar Pranowo yang ikut hadir dalam pemakaman korban, mengatakan, meskipun tim dokter tetap berusaha mengalihkan isu korban terjangkit HIV, tapi kenyataannya korban tewas setelah mengalami cidera kepala akibat terkena pu kul polisi pada insiden Unnas.

"Polisi harus tetap bertanggung jawab atas insiden ini. Aksi kekerasan yang dilakukan polisi seperti ini pun sudah sering kali terjadi. Sekarang malah membawa korban dan hal ini menyedihkan," ujarnya.



Madina Nusrat
Sumber : KOMPAS

!


Ketika cahaya mu datang Memang hanya sebentar, tapi perasaan cinta abadi terkenang dalam hati ini.
Harus kucari dimanakah engkau. Saat getaran hebat cinta telah membekas dalam hati ini.
Apabila kamu merupakan tipuan nafas dan keharuman tuhan.
Kuingin rasakan harum dan nafasmu, seperti seorang sufi yang mencari dekapan kesucinan tuhan.
Aku bingung harus dimanalagi mencarimu.
Ingin kuciptakan seribu jalan mencari keberadaanmu.
Walau dalam tiap buih ombak yang telah menghapus tiap jejak langkah kakimu.
saat kau berjalan dipingir pantai berpasir. Hanya itulah petunjuk yang diberikan alam padaku.
Maka...
Kutelusuri keindahanmu dalam tujuh warna pelangi.
biru... kegembiraan itu telah lama hilam
putih .... saat aku tanpa pengharapan
merah.... karena kupendanm perasaan cinta ini
........ hanya kaulah yang abdi dalam hatiku 
Kudapatkan kehangatanmu dalam tiap kilauan cahaya matahari pagi.
hangat ..kehangatan yang telah lama aku tunggu
Kudambahkan kecantikan wajahmu saat pantulan sinar rembulan beradu dalam deburan ombak
karena pantulan wajahmu yang mampu aku miliki
kegembiraan pantai yang saling berayun dengan pasir pantai.
kutemukan keagunganmu dalam tiap khusuk sujudku. Menyatu dalam sanubariku
kuterbangun dalam ilusi cinta semuku. Untuk meningalakan perasaanku yang terdalam
Kutahan desakan jiwa ini.untuk mendatangimu dan bahwa aku ada untuk memberikan rasa cintaku kepadamu.kau venus maukah mencintai raga tanpa jiwa ini.

Sastra Secara Umum

Sastra populer dan sastra serius dua genre yang selalu saja dipertentangkan oleh kalayak umum. Apakah sastra jika dilihat dari gaya penulianya atau ceritanya langsung disebut dengan sesuatu karya sastra populer atau serius. Kembali bentuk asal dari karya sastra sendiri harus memberikan manfaat bagi pembacanya dan juga menghibur orang lain. Saya kira semua penulis bukan penulis tentang cerita perkelaminan yang umumnya kita temukan di pedangang kaki lima adalah baru kita katakan bukan merupakan karya sastra karena karya itu dibuat dengan memenuhi permintaan pasarnya yang menginginkan materi tersebut. Karena karya tersebut dapat menghibur tapi tidak memberikan manfaat bagi pembacanya karena sifatnya yang kita dapatkan setelah membaca karya tersebut hanyalah nafsu yang terpenuhi. Bukan penegtahuan yang kita dapatkan.
A.Wujud
Unsur-unsur pembangun wujud :
1.Bentuk
Sesuai dengan fungsinya, bentuk karya sastra dapat berupa tulisan, lisan, atau bentuk nyata, sastra lisan dapat berupa puisi akan lebih hidup jika dibacakan. Apabila berupa tulisan nilai puisi tersebut terletak pada keindahan pemilihan kata penulis, tapi apabila karya tersebut dibacakan yang kita tangkap adalah audio dan visual yang terbentuk. Oleh puisi tersebut mampu dikeluarkan oleh pembaca puisi atau tidak. Dalam hal ini, ekspresi,gaya bahasa, rima, atau gerak olah tubuh atau ekspesi.
Karya sastra tulis yaitu novel dan cerpen, disini yang sering diperdebatkan oleh para kritikus sastra. Mana karya sastra yang populer (cerpen atau novel) dan yang serius. Apakah dengan mengunakan slogan bahwa seni juga merupakan untuk seni. Atau yang lebih tepat seni sastra adalah untuk masyarakat yang menikmatinya. Bukan hanya untuk kritikus sastra yang membedah suatu novel atau cerpen dengan berbagai teori.
2.Struktur
Unity (keutuhan)
Apabila rajutan benang dan ukiran yang terdapat pada pada pilihan kaya yang ingin diungkapakan oleh penulis melaui tulisanya merupakan unsur-unsur yang dapat kita bagi dalam suatu teori tertentu untuk memahami apa yang sebenarnya ingin diungkapakan oleh penulis. memang benar sauatu karya apabila telah diterbitkan oleh media massa merupakan atau telah menjadi karya masyarakat bukan miliknya lagi. Karena karya tersebut telah dibeli haknya pada penulis untuk diterbitkan atau diplubikasikan. Maka karya tersebut dapat saya katakan bahwa karya tersebut telah mati. Tidak dapat diubah lagi oleh penulis. Suatu karya sastra secara untuh mengandung emosi penulis yang ia jadikan bentuk kata-kata. Emosi tersebut maerupakan unsur yang terdapat pada karya sastra yang saling melengkapi. Seperti pada novel dapat kita ketahui emosi penulis secara jelas dari perasan marah, suka, benci, hingga dendam atau perasaan lainya.
Balance (keseimbangan)
Keseimbangan pada Karya sastra ini dapat dilihat antara nilai cerita dan panjang atau pendek suatu Karya sastra tersebut dapat mengangkat ide pokok yang ingin disampaikan oleh penulis, karena kesesuaian antara panjang dan berat isi Karya sastra ini sudah memenuhi standar bagi pembacanya sehingga pemakai merasa mendapatkan sesuatu yang layak atau mereka sukai untuk dibaca. Hal ini dapat kita lihat pandangan umum orang tentang suatu karya baik atau tidak yang lebih baik adalah suatu karya yang panjang tapi hal ini seharusnya tidak berlaku pada cerpen atau puisi karena ukuran ini akan sangat tidak relevan digunakan untuk menilai suatu karya sastra. Apabila suatu karya sastra sangup mengangkat ide cerita tidak perlu untuk dipanjangkan atau ditambahi lagi. Karena dapat mengurangi nilai karya tersebut.
Dominance (penonjolan)
Karya sastra identik dengan penonjolan segi negative dalam pemakaian, misalnya Karya sastra dikenal dengan alat mempenagaruhi pembacanya. Alur cerita serta konflik yang terdapat dalam cerpen atau novel akan membawa pembacanya merasakan apa yang sebenarnya yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Namun tidak semua karya sastra memiliki kesan seperti itu. Sebab pada karya sastra yang menjadi objek kadang disini “dominance”nya pada segi keindahannya bukan dari segi fungsinya. Keindahan karya sastra ini terletak nilai cerita yang dilapisi rangkaian kata penulis.
Hal ini yang seing digunakan oleh para kritikus untuk menilai bahwa karya sastra seperti larung merupakan karya sastra yang mengedepankan seks belaka, karena kita tahu bahwa Ayu Utami adalah seorang feminis. Tetapi apakah ada larangan bahwa dalah karya sastra ada unsur seks. Bukankah kita sendiri pada umumnya setelah dewasa mengalami peristiwa tersebut bahkan banyak mungkin melebihi apa yang dialami tokoh Larung.
Perbedaan status sosial perempuan dengan laki-laki diangkat dalam karya sastra. Perlawanan perempuan terhadap laki-laki tersebut merupakan perlawanan kaum perempuan yang menginginkan kedudukan setara antara perempuan dan laki-laki dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hal itu disebabkan bahwa sampai saat ini pemikiran mengenai perempuan sebagai inferior dan laki-laki sebagai makhluk superior masih mendominasi pemikiran masyarakat.
Seringnya laki-laki menjadi subyek yang melakukan sedangkan wanita hanyalah sesuatu yang pasif yang hanya dapat menerima saja sehingga menjadi korban. Dapat dipatahkan oleh seorang tokoh yang ingin diperkosa oleh saman karena ia telah menikah sedangkan ia sebenarnya lebih mencintai saman dibandingkan suaminya. Tetapi yang lebih diperhatikan oleh pembaca adalah cerita seks tokoh dalam novel karya Ayu utami.
Teapi memang masyarakat kita masih belum siap diberikan novel yang seperti in yang kisah akhirnya adalah semuanya tokohnya cenderung seks bebas. Dan tokoh laila yang menjaga kesucinaya pada akhirnya menjadi lesbian karena kecewa dengan pria yang dicintainya.
B.Substance / isi
Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Ia merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Kehidupan mencakup hubungan antar manusia, hubungan antar masyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin manusia (Damono, 1984 : 1).
Paparan tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak berangkat dari ketiadaan budaya. Kode budaya dalam sastra memberi pengertian bahwa karya sastra merupakan wujud hasil budaya yang di dalamnya jelas terepresentasikan nilai-nilai budaya masyarakat.
Keindahan cerpen atau novel adalah pengabaran secara nyata konflik yang terjadi berbeda dengan puisi yang keindahan sendiri terletak pada pemadatan kata. Penuls senang sekali bila tulisanya dimuat oleh Kompas, tetapi akhir-akhir ini ada penurunan kwaliatas pada cerpen yang dimuat oleh kompas. Karena umumnya takut untuk mengarap penampakan secara nyata tokoh antagonis.
C.Presentation (penampilan)
Dimanakah kita mengetahui penampilan sebuah karya sastra, hal tersebut dapat kita ketahui dari gaya bahasa yang digunakan oleh penulis. Tiap penulis memiliki gaya bahasa tersendiri. Dari gaya bahasa tersebut dapat kita ketahui bagaimana penampilan karya sastra apakah karya sastra itu adalah penulis klasik yang mengunakan bahasa Indonesia yang baik. Atau seorang penulis muda yang mengunakan bahasa sehari-harinya.