Selasa, 21 Oktober 2008

Puisi Lama

 Puisi Indonesia biasanya dibagi dua masa yaitu: puisi lama dan puisi baru, perbedaanya sebenarnya tidak begitu tepat. Karena yang disebut puisi lama masih dipakai sampai sekarang, misalnya pantun meskipun jarang para sastrawan membuat puisi ini. Karena itu, karena itu penyebutan lebih baik sebagai puisi tradisional dan puisi modern.
 Puisi tradisional adalah puisi yang belum mendapatkan pengaruh kesusutraan Barat, Gurindam yang ditulis oleh Raja Ali Haji juga dianggap sebagai puisi tradisional, meskipun gurindam yang kita ketahui sekarang hanya gurindam yang ditulis Raja Ali, yang digubah sesudah pembaharuan yang dilakukan Abdullah Kadir Munshi. Puisi tradisional sekarang tidak diangap sastra yang tinggi, atau diangap sastra rahyat atau daerah saja. Walaupun bentuknya dan pemakainaya serupa dengan pantun sebelum abad dua puluh. Penyair yang mula-mula mengunakan puisi Modern adalah orang yang melihat kesusasteraan sebagai lambang kebebasan dari masa lampau dan masa waktu itu yang penuh Feodalisme. Mereka adalah orang yang terdidik dengan pendidikan barat, untuk menyatakan kebebasan mereka diciptakan puisi modern yang mendapatkan pengaruh sastra Barat.
 Kenyataan sejarah menunjukan bahwa orang yang mempunyai perasaan Nasionalisme yang kuat. Seperti Muhamad Yamin adalah seorang pejuang kemerdekaan, dan Rustam Effendi di buang kenegeri belanda karena kegiatan politiknya yang mengiginkan kemerdekaan. Sedangkan Sanusi Pane juga memiliki Nasionalisme yang tingggi walau tak mengalami peristiwa seperti mereka bedua.
  Bukan beta bijak berperi
  Pandai mengubah madahan syair
  Bukan beta budak Negeri
  Mesti menurut undangan mair  
 Disini terlihat pandangan Rustam Efendi. Terikat dengan yang lama tidak ada kebebasan, dan yang lama bagi dia tidak baik. Perhatikan, ia memberikan gelar pada golongan tua dalam dramanya yang bertujuk Bebasari. Salah seorang tokoh diberinya nama Maharaja Takutar menunjukan orang yang penakut dan sabar sehingga mau saja dihinakan orang.
 Puisi tradisional melayu yang dikenal adalah puisi yang tertutup. Karena pengunaanya terbatas padahal yang tertentu dan bentuk yang terikat kepada ikatan yan telah ditentukan. Dan hal ini dapat kita temukan pada pantun dan syair.
 Pantun adalah sebuah bentuk puisi yang terutama digunakan sebagai alat dalam persoalan tanya-jawap antar dua orang, misalnya antara pemuda dengan pemudi, ataupun bagian ratapan yang diyanyikan seperti pada nyayian. Kerena sifatnya itu, maka puisi ini tak mungkin digunakan untuk kepentingan yang lain.
 Di samping itu, pantun juga terikat kepada atura persajakan yang kaku. Sebait pantun, diambil arti dalam arti yang agak luas, mesti terdiri dari jumlah baris yang genap, dua, empat, enam, atau delapan. 
  Dari mana datangnya lintah,
  Dari sawah turun ke kali.
  Dari mana datangnya cinta,
  Dari mata turun ke hati. 
Pantun tidak mungkin terdiri dari jumlah baris yang ganjil, karena akan ada satu baris yang tidak punya hubungan dengan baris yang lainya. Dalam hal ini hendaklah diingat bahwa sebait pantun mempunyai dua bagian utama, yaitu bagian isi (maksud), jumlah baris sampiran harus sama dengan jumlah baris isi. Tanpa sampiran, maka serangkum puisi atau pantun tak mungkin dikatakan pantun. Selain itu ada dua hal yang penting dalam pantun, yaitu unsur pelompatan peristiwa dengan sampiran berupa lukisan alam dan isi yang berhubungan dengan manusia (bukan alam). Dan kedua hal yang terpisah ini dihubungkan dengan persamaan bunyi.
 Di sampin itu ada pembatasan lain dalam hubungan panjang pendek sebuah baris dalam pantun. Baris dalam pantun biasanya mempunyai kira-kira 4 hingga 6 kata, bergantung kepada panjang pendeknya sebuah kata. Atau bisa dikatkan sebuah baris pantun mempunyai jumlah suku kata sebanyak 8 hingga 12. dan ditengah-tengah sebuah baris dapat diperkirakan adanya semacam perhentian yang seakan-akan membagi baris itu dalam dua kesatuan pengucapan, sebagai yang terlihat dalam pengucapan yang berikut ini:
  Pulau pandan/jauh di tengah
  Di balik pulau/si Angsa dua
  Hancur badan/dikandung tanah
  Budi baik/dikenang jua.
Dari data di atas terdapat pemengalan puisi yang tidak mengikuti kaedah tata bahasa, karena itu hal tersebut dinamakan Pemengalan Puisi. Yang terpenting bagi bait pantun adalah rima pada akhir setiap baris yang beruba abab, yaitu baris pertama bersajak degan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat.
 Syair juga memiliki pembatasan yang tak kurang dari pantun. Syair dalam tradisi sastra kita biasanya digunakan untuk menceritakan sesuatu atau untuk berkisah. Karena itu tidak biasa ada syair terdiri dari beberapa bait saja. Dalam puisi modern biasanya untuk menceritakan perasaan tentang sesuatu, bukan menceritakan sesuatu. Di samping itu, mereka tidak berusaha untuk mengatakan hal itu dalam jumlah rangkap atau bait yang banyak sekali. Biasanya jumlah bait puisi modern beberapa bait saja tetapi yang pasti adalah jumlah bait tidak dibatasi dalam jumlahnya.
 Bait sebuah syair selalu terdiri dalam empat baris. Jumlah perkataanya atau suku kata dalam sebuah baris juga terbatas sebagai yang ada dalam sebuah bait pantun. Yaitu antara 4 hingga 6 kata atau antara 8 hingga 12 suku kata. Di tengah-tengah suatu baris juga ada pemenggalan yang seolah membagi kedua baris tersebut dalam pembagian yang sama. Perbedaan yang tampak antara Pantun dan Syair, yaitu tidak ada pembagian sampiran dan isi pada sebuah bait syair. Dan rima bait syair adalah aaaa, bukan abab. Semua baris dalam bait syair akan berakhir dengan bunyi yang sama. 
  Berhentilah kisah/raja Hindustan,
  Tersebutlah pula/suatu perkataan,
  Abdul Hamid Shah/paduka sultan,
  Duduklah baginda/bersuka-sukan,
 Gurindam dalam beberapa hal lebih bebas dari pantun dan syair, sebagaimana yang terlihat pada gurindam yang dikarang Raja Ali Haji, yang juga mempunyai pembatasan yang tak bisa dihilangkan. Meskipun jumlah baris dan pola persajakan gurindam yaitu dua baris dalam satu rangkap atau bait yang bersajak aa, namun jumlah kata dan baris bebas. Yang harus dijaga adalah keseimbangan jumlah kata antara satu baris dengan baris yang lainya. Disini kebebasan yang ada dalam gurindam. Dan bagian yang lain lebih dekati syair. Sesuai dengan hal itu gurindam lebih kelihatan sebuah puisi untuk berkisah daripada puisi untuk menyatakan perasaan. Dan contohnya adalah gurindam 12:

  Cari olehmu akan kawan,
  Pilih segala orang yang setiawan.

  Barang siapa khianat akan dirinya,
  Apalagi kepada lainnya.

  Hendak marah,
  Dulukan hajat.
 Abdullah telah mengadakan perubahan, tapi perubahan yang dilakukanya adalah perubahan isi. Abdullah telah mengubah dari isi yang berpusat di dalam kehidupan istana kepada kehidupan sehari-hari yang dialaminya sendiri. Tapi tidak ada perubahan bentuk sastra yang utama.
   

Tidak ada komentar: