Kamis, 19 Februari 2009

Mahalnya "Ongkos" ke Senayan..


KOMPAS

Kamis, 19 Februari 2009 | 09:46 WIB

Laporan wartawan Inggried Dwi Wedhaswary


TAK ada yang gratis di dunia ini. Politik pun punya tarif, mahal. Siapa yang bisa menyangkalnya? "Ongkos" menjadi politisi Senayan pun terbilang lumayan. Sejumlah calon legislator DPR yang ditemui di sela-sela Pertemuan Nasional Caleg Golkar, Rabu (18/2), tak menyangkalnya. Hingga 50 hari menjelang eksekusi pemberian suara, uang ratusan juta sudah keluar dari kantong mereka.

Pasti tahu siapa Tantowi Yahya. Entertainer kawakan yang kini menjadi caleg DPR Golkar di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 2 ini tak bisa hanya mengandalkan popularitasnya. Secara jujur ia mengatakan, paling tidak budget sebesar Rp 1 miliar harus disiapkan untuk kepentingan kampanye. "Paling enggak, ada 1 M-lah. Semakin susah dapilnya, semakin mahal, yang punya duit aja belum tentu menang, apalagi yang enggak punya duit," kata Tantowi.

Ia mengatakan, selain untuk pengadaan atribut kampanye, biaya perjalanan Jakarta-Palembang termasuk menguras jumlah yang besar. Insentif dari DPP Golkar sebesar Rp 500 per suara bagi caleg yang tidak terpilih pun disambut baik kakak Helmy Yahya ini. "Walaupun pasti enggak akan menutupi pengeluaran," ujarnya.

Aktor sinetron Jeremy Thomas juga mengakui hal yang sama. Ia mengaku sudah habis Rp 450 juta untuk kampanye di dapilnya, Riau. 

Caleg DPR Golkar dari Dapil Maluku, Marleen Petta, menekankan, kampanyenya pada sosialisasi pemberian suara dan penggalangan dukungan. Cara ini pun cukup mahal. Meski awalnya enggan menyebut angka, Marleen mengaku sudah mengeluarkan Rp 500 juta untuk berkampanye. Seperti apa model kampanyenya?

"Kampanye saya variatif, untuk sosialisasi dan penggalangan. Untuk diri sendiri lebih ke pemasangan baliho, kemudian spot iklan di tv lokal," kata Marleen yang seorang advokat. Ia merinci menyiapkan 500 baliho, 100.000 stiker, dan tak kurang dari 200.000 kartu nama. "Ini pengalaman pertama saya jadi caleg. Tapi politik tidak baru untuk saya karena saya juga aktif di DPP Golkar," katanya. 

Lain halnya dengan putra politisi senior Theo Sambuaga, Jerry Sambuaga. Ia tak mau menyebut angka yang sudah dikeluarkannya untuk kampanye. Jerry hanya mengatakan, jumlah yang dihabiskannya tak sebanyak rekan-rekannya. "Saya kan bukan artis, jauh enggak sampe sebesar itu. Budget-nya enggak banyak kok," ujar caleg dari Dapil DKI Jakarta ini. 

Ia mengutarakan, strategi kampenye yang diterapkannya melalui pendekatan dialog dan memanfaatkan teknologi. "Lewat website dan facebook," katanya. 

Biaya mahal tentunya berbekal harapan mendatangkan hasil yang sebanding. Bagi rakyat, paling hanya berharap, kursi empuk Senayan tak membuat wakil-wakilnya lupa dengan apa yang mereka dijanjikan untuk diperjuangkan....

RUU Komponen Cadangan Masih Dipersoalkan

Kompas,Kamis, 19 Februari 2009 | 22:00 WIB

JAKARTA, KAMIS — Rencana pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan, untuk terus menyusun dan mengegolkan Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan masih mengundang pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat sipil.

Kondisi itu terungkap dalam diskusi publik bertema ”Komponen Cadangan Perlukah?”, Kamis (19/2), yang digelar lembaga monitoring hak asasi manusia (HAM) Imparsial, dengan pembicara Makmur Keliat (Universitas Indonesia), Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Dephan Budi Soesilo Supandji, dan Rusdi Marpaung (Imparsial).

Mereka yang mendukung yakin, aturan soal keinginan masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas bela negara harus bisa difasilitasi oleh pemerintah dan negara serta diatur dalam produk undang-undang (UU) tertentu sesuai ketentuan konstitusi terkait pertahanan negara.

”Rancangan UU ini nantinya sekaligus juga merupakan embrio bentuk pendidikan kerja sama militer-sipil (military-civilian cooperation), yang dirasakan sangat kurang sekarang. Kerja sama itu dilakukan untuk keperluan tertentu seperti penanganan dan penanggulangan bencana,” ujar Budi dalam diskusi.

Pendidikan macam itu dinilai Budi sangat diperlukan, apalagi mengingat Indonesia berada di kawasan rawan bencana alam gunung berapi dan gempa bumi atau dikenal dengan istilah kawasan ”cincin api” (ring of fire).

Melihat dari sejumlah kejadian bencana alam sebelumnya, macam gempa bumi dan tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta, Budi menilai elemen masyarakat sipil masih belum bisa mengimbangi kesigapan dan kemampuan kerja militer yang pada saat pertama langsung tanggap dan menerjunkan personel ke lokasi.

Lebih lanjut Budi membantah adanya anggapan keberadaan Komponen Cadangan nantinya bakal disalahgunakan, misalnya untuk menggantikan peran komponen utama (TNI) dalam menangani persoalan tertentu, seperti penanganan terorisme atau mengatasi gerakan separatisme atau masalah ancaman dari dalam negeri.

”Komponen cadangan hanya untuk menghadapi ancaman militer (perang). Mereka tidak akan dikerahkan untuk menangani terorisme, separatisme, atau kerusuhan. Namun memang, soal penggunaan (komponen cadangan) di masa damai lebih lanjut akan diatur dalam RUU lain, yaitu soal mobilisasi dan demobilisasi,” ujar Budi.

Sementara itu, Makmur Keliat dalam diskusi Makmur Keliat menyoroti sejumlah persoalan yang seharusnya terlebih dahulu diperhatikan oleh pemerintah. Misalnya terkait alokasi anggaran yang nanti diperlukan, yang dia nilai jauh lebih baik jika dana itu diprioritaskan alokasinya untuk memenuhi kebutuhan komponen utama (TNI).

”Jangan sampai keberadaan Komponen Cadangan justru memberatkan anggaran Dephan, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk TNI. Selain itu juga harus dipastikan penetapan sumber daya tertentu, baik alam maupun benda, untuk dijadikan komponen cadangan atau pendukung oleh pemerintah, tidak melanggar hak masyarakat,” ujar Makmur.

Sementara itu, mereka yang keberatan dengan keberadaan RUU Komponen Cadangan tersebut, seperti diwakili Imparsial, menilai keberadaan rancangan peraturan itu seharusnya ditunda sampai pemerintah mampu memperjelas sejumlah hal terlebih dahulu.

”Kami keberatan lantaran aturan yang ada dalam RUU Komponen Cadangan tersebut berpotensi menciptakan, salah satunya, konflik horizontal di masyarakat jika keberadaannya diatur untuk menangani masalah, seperti separatisme atau terkait operasi militer selain perang (OMSP)-nya TNI,” ujar Rusdi.

Selain itu dalam bukunya disebutkan, keberatan Imparsial terkait kekhawatiran aturan tentang Komponen Cadangan dapat disalahgunakan dan melanggar prinsip sentralisme pengelolaan anggaran pertahanan. Tidak hanya itu, RUU juga tidak mengatur mekanisme pengaduan.

Sejumlah keberatan Imparsial tercantum dalam bukunya Reformasi di Persimpangan, Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Namun, buku itu dikritik tidak up-to-date karena masih mengacu pada naskah RUU per September 2008, sementara Dephan telah merevisinya.

CINTA DAN FILOSOFI KEHIDUPAN: MENELUSURI SERPIHAN CINTA DALAM FIKSI DAN FAKTA

Selasa, 2008 Desember 09
CINTA DAN FILOSOFI KEHIDUPAN: MENELUSURI SERPIHAN CINTA DALAM FIKSI DAN FAKTA 

Oleh: Heru Susanto*

“C= Ceria bila dijalani berdua, I= Indah bila diingat, N= Nikmat bila dirasakan, 
T= Takut bila kehilangan, A= Abadi bila saling mengerti”
~SMS dari Henny Hermawati, 01/09/08, 21:42~

Selesai yudisium dan memeroleh gelar sarjana, saya pulang ke kampung halaman yang anginnya buat rambut jadi acak-acakan (Nganjuk, Kota Angin). Saat itulah saya mulai mengalami kejenuhan yang sangat berat. Kegelisahan tiba-tiba bercokol dalam pikiran. Apa yang saya alami itu merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan saya. Di kampung, kegiatan yang saya lakukan jelas jauh berbeda dengan saat-saat menjadi mahasiswa (saya tidak ingin rambut saya acak-acakan). Tidak ada teman ngobrol tentang yang jelimet-jelimet merupakan salah satu pemicunya. Saya terbiasa terlibat “adu mulut” dengan beberapa mahasiswa maupun dosen saat berada di kampus mengenai masalah yang sepele sampai pada masalah yang membuat kepala ini adem-panas. 

Saat-saat berada dalam titik kejenuhan itu, saya mulai memegang ponsel, berpikir sejenak, dan kemudian saya membuka layanan SMS. Jari saya memang tidak terlalu lincah memainkan tombol ponsel. Saat itulah saya mulai sadar bahwa saya menghendaki untuk berdiskusi melalui SMS. Topik yang saya ajukan mengenai cinta. Ketika tulisan sudah selesai, ibu jari telah menekan kirim dan pesan pun melesat ke ponsel teman saya, Henny Hermawati. 

Kenapa saya harus mengirim kepada teman saya itu? Ah, sebenarnya ini bukan suatu kebetulan atau alam bawah sadar (unconsciousness) yang menghendakinya. Namun, tujuan itu merupakan kesadaran dan kesengajaan. Teman saya itu dapat dikatakan perempuan yang berpengalaman dalam hal cinta. Sayangnya, semenjak menjadi teman kuliah, saya baru sadar ketika menginjak akhir perkuliahan, dia merupakan perempuan yang diidolakan mahasiswa lawan jenisnya. Mengenai alasan itu, saya kurang paham. Yang pasti, dia lebih berpengalaman daripada saya (atau mungkin sebaliknya?). 

Beberapa menit setelah pesan terkirim, balasan pun diterima. Salah satu pesan dapat ditemukan di awal tulisan ini berupa akronim CINTA. Gaya seperti itu bukanlah hal baru. Justru itu, saya jadi teringat masa-masa di bangku sekolah saat cinta baru meresap dalam kehidupan remaja dan saya pun mulai terhisap olehnya. 

Tulisan ini dapat dikatakan menjadi diskusi lebih lanjut mengenai cinta yang saya benturkan dengan obsesi seseorang dalam menjalani kehidupan. Apakah cinta benar-benar seromantis akronim yang penuh ritmis? Ataukah sebaliknya ketika cinta berbenturan dengan obsesi kehidupan yang penuh filosofis? Yang pasti saya akan berusaha melampaui pemahaman terhadap cinta. 

Simbol Penyeimbang Kosmos

Ketika agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) memberikan wacana tentang manusia pertama, saat itulah kisah Adam dan Hawa merupakan simbol historis awal wacana cinta yang dijadikan rujukan utama. Kisah dua sejoli itu sangat eksotis. Tidak hanya kisah kasih-sayang (cinta) Adam kepada Hawa yang menyebabkan keduanya dilempar ke dunia fana. Tetapi, kisah penciptaan Hawa yang mewakili perempuan juga menjadi daya eksotis tersendiri yang juga kontroversif. 

Risalah cinta sebenarnya dapat dilacak dari kisah penciptaan Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam melalui penafsiran–walaupun penafsiran itu tidak pernah tunggal. Penafsiran terhadap kisah penciptaan tersebut memang mengundang perdebatan. Ada yang menafsirkan bahwa penciptaan Hawa yang mewakili kaum perempuan merupakan suatu kisah yang menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki (inferior). Hal itu dengan dasar argumentasi, perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tubuh laki-laki (Adam), sedangkan laki-laki tidak diciptakan dari bagian tubuh perempuan, melainkan dari tanah. Secara tidak langsung, terciptanya perempuan karena adanya laki-laki, namun tidak sebaliknya. 

Untuk mengimbangi penafsiran yang bernada pesimis itu, sebagian orang menafsirkan dengan berbeda. Dengan suatu pembelaan yang bernada optimis, penafsiran itu justru mempertanyakan kembali tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Mengapa perempuan (Hawa) tercipta dari tulang rusuk? Mengapa tidak dari tulang ekor, tulang tangan, atau tulang kaki? 

Penafsiran yang dihadirkan di sini bukan untuk mencampuri urusan Tuhan dalam hal penciptaan makhluknya karena bila itu terjadi berarti saya telah menggugat otoritas Tuhan. Akan tetapi, penafsiran ini lebih ditujukan untuk menelusuri keberadaan cinta yang terdapat dalam tanda. Oleh sebab itu, penafsiran ini tidak mutlak kebenarannya, namun hal ini sebagai jembatan rasional untuk mengkaji risalah cinta yang masih dapat diragukan kebenarannya. 

Keduanya memang tidak dapat dijadikan dasar sebagai alasan Tuhan menciptakan perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, dalam hal ini, saya lebih memilih penafsiran yang kedua yang mempertanyakan kenapa perempuan tercipta dari tulang rusuk, bukan tulang ekor, tulang tangan, atau tulang kaki (dalam hal ini Anda bebas memilih). Hal itu didasarkan dengan argumen, tulang rusuk lebih berdekatan dengan jantung, yang bila sang pemilik jantung mengalami sesuatu peritiwa, baik indah maupun buruk, selalu berdebar. Dalam hal ini, rusuk melindungi organ-organ vital manusia–bukan berarti yang lain tidak vital. Bila dilihat dari posisi vertikal tubuh manusia pun, rusuk menduduki posisi tidak di atas juga tidak di bawah. Posisi rusuk tersebut dapat ditafsirkan sebagai kedudukan perempuan yang berada pada posisi tengah, tidak menguasai laki-laki, namun juga tidak dikuasai laki-laki. 

Argumen-argumen itu mengisyaratkan suatu penafsiran tentang penciptaan perempuan yang bertujuan demi mendamaikan hati laki-laki. Karena sebagai pendamai hati, secara tidak langsung, perempuan merupakan penyeimbang kehidupan laki-laki yang berangkat dari perbedaan karakteristik esensial yang dimiliki keduanya. Keduanya layaknya sisi mata uang yang tidak dapat bercerai demi mengabadikan nilai tukar. Bila satu sisi uang lenyap, yang pasti, Anda tidak dapat membeli gorengan beserta sambal petis yang menggiurkan. Bila itu terjadi, Anda hanya dapat gigit jari dan air liur akan merembes di sela-sela gigi dan gusi. 

Kisah cinta yang bermula dari Adam dan Hawa pada dasarnya merupakan titik muara suatu keseimbangan. Keduanya diturunkan ke dunia dengan alasan cinta. Walau menjalani hukuman, hukuman yang diterima keduanya lebih bersifat menjalankan perintah. Perintah tersebut salah satunya adalah “mengabadikan” cinta. Dengan cinta, mereka melestarikan keturunan, yang di perjalanan kehidupan mampu memberikan warna dunia yang berbeda di setiap masa dengan peradaban-peradaban yang dikembangkan. Secara tidak langsung, cintalah yang menggerakkan progresivitas peradaban. Melalui laki-laki dan perempuan terciptalah suatu penghuni yang melestarikan kehidupan dunia. 

Percintaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki andil dalam peran suatu peradaban. Kekuatan cinta yang bersemayam dalam keduanya layaknya unsur Yin dan Yang yang diakui dalam filsafat Cina. Yin mewakili sifat betina, diam, beku, padat, gelap, dingin, menyerap, dan lembut, sedangkan Yang mewakili sifat jantan, gerak, cair, terang, panas, menentang, dan keras. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan yang berlawanan. Akan tetapi, keduanya merupakan suatu keharusan untuk berjalan dengan harmonis. 

Saya bukan ahli filsafat Cina. Oleh sebab itu, saya tidak bermaksud memberikan persamaan mutlak laki-laki dan perempuan dengan unsur Yin dan Yang. Akan tetapi, keduanya saya pakai sebagai analogi semata untuk menjembatani penjelasan kekuatan cinta dari kedua makhluk tersebut. Yang saya ketahui, seperti yang dinyatakan Bagus Takwin, dalam Filsafat Tumur (2003), manusia menduduki fungsi sebagai agen penyusun fondasi kebudayaan galaksi (galactic culture). Kebudayaan galaksi yang diciptakan manusia akan menyatukan kembali alam semesta dalam keindahan dan keharmonisan. Semua itu dapat dicapai dengan adanya cinta, cinta yang mengalir meresap dalam alam semesta. 

Ah, mungkin tulisan ini terlalu jauh ngalor-ngidul. Menurut saya, ya seperti itulah ketika kita bicara tentang cinta. Sulit untuk mencari batasan-batasan yang ketat tentangnya. Yang pasti, laki-laki dan perempuan memang dibekali kutub yang berbeda sehingga memiliki potensi untuk tarik-menarik dan dari situlah menciptakan keharmonisan kehidupan. Seperti dikatakan teman saya yang jatuh pada huruf A=Abadi bila saling mengerti. Apa yang harus saling dimengerti dan apa yang akan abadi? 

Yang harus dimengerti adalah segala suatu perbedaan yang dimiliki dan yang berpotensi menimbulkan sesuatu dari keduanya. Semua perbedaan harus diinsafi karena itulah fondasi penyeimbang untuk membentuk keindahan dan keharmonisan. Oleh sebab itu, saya dengan tegas mengatakan bahwa cinta pada dasarnya merupakan serpihan-serpihan perbedaan, yang satu dengan yang lain saling mengisi yang belum pernah termiliki.

Kegelisahan: Suatu Tarik-Ulur

Meskipun perempuan dalam percintaan dikatakan sebagai penyejuk hati laki-laki, tidak semua laki-laki menerima begitu saja seorang perempuan dengan cinta dan memilikinya. Permasalahan ini akan semakin rumit karena cinta disandingkan dengan kepentingan seseorang memandang kehidupan yang berbeda. Kerumitan tersebut memang tidak dapat dihindari begitu saja karena cinta hakikatnya bersandingan dengan masalah-masalah kehidupan yang lain. 

Ketika teman saya menguraikan akronim T=Takut bila kehilangan, saya pun juga akan yakin menguraikan T justru berbeda. T dalam akronim CINTA dapat pula sebagai Takut bila hidup bersama. Cinta tidak hanya takut bila kehilangan, namun cinta pun kadang juga takut bila bersatu menjalin asmara. Bagaimana mungkin? Bukankah hakikat cinta adalah ambisi untuk saling memiliki?

Ya, cinta pada dasarnya merupakan suatu percikan ambisi untuk memiliki yang dicintai–terlepas berhasil atau tidak. Dalam hal ini perlu disadari, ketika memikirkan perihal cinta, tidak ada hukum yang pasti. Cara berpikir rasional pun akan terkesan irasional dalam mengkaji cinta, begitu juga sebaliknya. Tidak salah bila Agnes Monica mengatakan cinta tak ada logika dalam lagunya. 

Salah satu yang menjadikan cinta takut untuk hidup bersama adalah obsesi manusia. Setiap manusia memiliki obsesi. Obsesi inilah yang mengganggu pikiran manusia. Namun, obsesi di sini tidak perlu ditanggapi sebagai suatu yang negatif semata atau distorsif. Obsesi jugalah sebenarnya yang menggerakkan manusia untuk berusaha mewujudkan keinginannya. 

Keberadaan obsesi dalam diri manusia sering menjadi rival bagi cinta. Tidak jarang obsesi akan selalu berbenturan dengan cinta sehingga menimbulkan kegelisahan yang akut pada seseorang. Nah, izinkan saya bercerita sejenak mengenai kisah cinta.

Dalam hal ini, Musashi, tokoh utama dalam novel legendaris Musashi karangan Eiji Yoshikawa dari Jepang, merupakan sosok yang gelisah karena berada dalam pilihan yang menyulitkan. Di satu sisi, dia telah memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan jalan pedang. Di sisi lain, dia juga merupakan laki-laki sejati yang memiliki hasrat untuk bercinta. 

Untuk menjadi samurai sejati yang mengikuti jalan pedang, berdisiplin diri adalah kunci utamanya. Untuk menempuh itu, dia harus melepaskan diri dari keinginan untuk bercinta. Dalam hal ini, Musashi memang orang yang tekun menjalani jalan pedang. Akan tetapi, dia tidak dapat mengelak terhadap hasrat yang bercokol di hatinya mengenai seseorang yang dicintai serta mencintainya, Otsu, gadis desa yang tulus mencintainya dan rela menderita demi cinta. 

Seperti yang telah dibahas tadi, perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, yang ditafsirkan sebagai pelindung dan pemberi kenyamanan, ketenteraman, dan kedamaian bagi laki-laki. Oleh sebab itu, Musashi tampaknya justru menghindari hal itu. Untuk belajar, seseorang harus keluar dari zona nyaman. Apa yang dilakukan Musashi adalah untuk berdisiplin diri dan menjauhi zona nyaman, sedangkan perempuan adalah simbol kenyamanan. Segala pertempuran dilaluinya untuk mengasah kemampuan permainan pedang. Tentang perempuan, dia menganggap itulah zona nyaman yang perlu dihindari, walaupun kadang-kadang dia merindukan untuk bersama Otsu dan menjalani hidup sebagai sepasang kekasih. 

Obsesi yang dialami Musashi untuk menjadi samurai sejati menyebabkan dia dalam posisi gelisah antara cinta dan jalan pedang. Perjalanan cinta dalam hal ini berbenturan dengan filosofi jalan pedang. Cinta dalam hal ini dipandang sebagai suatu titik kenyaman yang dapat melarutkan manusia dalam keindahan fana. Oleh sebab itu, tidak diragukan bila seseorang gelisah karenanya.

Keadaan seperti itu sebenarnya tidak hanya dialami oleh Musashi dalam fiksi semata. Dalam kehidupan nyata, hal itu juga sering terjadi. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pemikir atau mengejar karier, tidak jarang pula kisah cinta akan “diistirahatkan” sejenak, bahkan disingkirkan atau ditolak walaupun sebenarnya sangat dicintai demi suatu obsesi. 

Dalam dunia nyata, saya terpaksa menghadirkan kisah cinta seorang filsuf Denmark penggagas aliran eksistensialisme yang saya kagumi, Soren Aabye Kierkegaard (SK) (1813-1855). SK merupakan sosok pemikir melankoli yang saya kenal. Kehidupannya diwarnai dengan kemurungan-kemurungan. Orang-orang yang disayanginya telah meninggalkannya. Serentetan keluarganya, kedua kakak laki-laki dan perempuan meninggal ketika dia masih kecil, kemudian kakak-kakaknya yang lain serta ibunya juga meninggal. Kesedihan lebih lanjut menderanya ketika kakak perempuan yang disayangi juga direnggut maut. Dalam dua tahun berturut-turut, dia menatap sanak keluarga memasuki liang kubur. 

Selepas kepergian serentetan keluarganya, SK terpukul dengan pengakuan ayahnya yang pada masa remaja pernah mengutuk Tuhan dan pernah melakukan hubungan seks mendahului pernikahannya dengan ibunya. Kiranya itulah keluarganya mengalami kutukan. Dia juga beranggapan bahwa kecerdasan yang dimilikinya juga merupakan akibat dari kutukan Tuhan yang mengantarkannya pada kesengsaraan. Orang yang menjadi pujaan, ayahnya sendiri, pada akhirnya juga direnggut maut. Dalam kondisi seperti itu, Tuhan pun juga terkubur bersama ayahnya yang terenggut maut. SK pun mengutuk Tuhan. Dalam kondisi itu, Tuhan baginya adalah penghancur dan perampas kebahagiaan. Saat itulah dia menjalani kehidupan dengan tidak teratur. Dia meninggalkan rumah dan hidup dengan berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Utang pun telah membelitnya karena biaya penginapan, minum-minuman, cerutu, dan buku. 

Tidak hanya itu, SK juga terperosok pada kesedihan ketika Paul Martin Moller, guru besarnya, meninggal dunia. Hanya sedikit orang yang menghargai kecerdasannya, salah satunya adalah guru besar itu. Tidak ada suatu yang tetap kecuali perubahan (demikian petuah dari Heroclitus) dan itu pun terjadi pada diri SK. Tidak lama setelah kematian guru besarnya, dia mencoba kembali dan menjadi pengikut Tuhan yang taat dan menyelesaikan studi teologinya dengan predikat cum laude (pujian). Itulah sederetan alur peristiwa yang menyebabkan SK menjadi melankoli yang akut.

Di mana kisah cintanya? Nah, inilah keunikan kisah cinta SK. Alur cintanya memang eksotis sekaligus fiktif sehingga harus melewati tahapan peristiwa itu. Ada tiga figur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan SK, yaitu sang ayah, sang guru besar, dan nah…ini dia pujaan hatinya, Regina Olsen, perempuan cantik nan terhormat. 

Di bulan Mei 1837, pertemuan pertama menghadirkan buah cinta yang menggelora. SK pun akhirnya merasakan cinta dua sejoli yang sebenarnya. Cintanya terhadap Regina tidak perlu diragukan sedikit pun, layaknya cinta Romeo dan Juliet dalam drama gubahan Shakespeare. Tetapi ingat! Cinta SK dengan Regina tidak seromantis Romeo dan Juliet. 

Kegelisan menyerang SK. Dia ragu apakah mampu memberikan kebahagian kepada Regina. Keduanya jelas berbeda. SK merupakan orang yang murung dan sangat melankolis, sedangkan Regina perempuan cantik yang periang–kiranya seperti teman saya itu. Dia merasa, dirinya penuh dengan dosa dan kemurungan-kemurungan akibat peristiwa yang menyakitkan dan telah mengakar dalam pemikiran untuk memandang kehidupan. Dia ragu bila menikahi Regina hal itu justru menimbulkan penderitaan bagi dirinya, terlebih bagi Regina yang dicintainya. 

Di musim panas 1840, SK mengajukan niatnya kepada Regina untuk menjadi pendamping hidupnya. Niatnya itu diterima oleh Regina beserta orang tua dengan bahagia. Ah, di luar dugaan, tanggal 11 September, SK terperosok pada kegelisahan hingga berujung pada simpulan bahwa keputusan mengawini Regina adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. SK beranggapan dengan mengawini Regina, sama saja dengan menarik perempuan yang dicintainya dalam kemurungan hidupnya sehingga menjadikan Regina tenggelam pula dalam penderitaan yang seharusnya hanya pantas diterimanya. 

Tokoh melankolis ini memang mengalami kesulitan. Dia tidak memiliki keluasan untuk menjelaskan tentang kegelisan-kegelisan itu. Kesulitan terpuncak adalah dia harus menceritakan pengalamannya dengan pelacur. Nah…, apa jadinya bila menceritakan pengalaman dengan pelacur kepada sang cinta tanpa hiraukan hati yang kemungkinan bisa terluka? Yang pasti, tidak berarti dia takut terhadap nama baik, tetapi dia tidak bisa melihat perempuan yang dicintai menderita. 

Karena SK tidak menginginkan melibatkan Regina dalam dosa-dosanya, tanggal 14 Agustus 1841, dia mengembalikan cincin pertunangan kepada Regina. Dia harus merelakan cinta sejatinya demi tidak melibatkan perempuan suci pada dosa-dosa. Karena memutuskan pertunangan itu, SK mendapat kecaman dan cemoohan yang keras dari masyarakat Kopenhagen. SK dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab yang melakukan perbuatan tidak senonoh pada perempuan cantik nan terhormat. 

Terhadap cemoohan keras masyarakat, SK tidak mengadakan pembelaan. Dia justru mengiyakan pendapat masyarakat. Saat memutuskan pergi ke Berlin melanjutkan studi filsafat, dia menemui seorang sahabat karib, Emil Boesen, dan meninggalkan pesan agar sahabatnya itu selalu mengabarkan keadaan Regina, sang cinta sejati, kepadanya. Kebijaksanaan SK terlihat ketika dia melarang Emil Boesen untuk menyangkal atau memberikan pembelaan mengenai cemoohan dan perkataan-perkataan buruk oleh masyarakat. Dia menghendaki bahwa cemoohan itu perlu diamini. Tentang Regina, sang cinta, dia tetap memperhatikan dengan penuh cinta dari kejauhan.

Kisah Musashi dalam fiksi dan kisah SK dalam dunia nyata menunjukkan bahwa cinta memang suatu yang tidak pasti. Kegelisahan merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dari cinta. Keberadaannya memberikan suatu tarik-ulur antara memiliki dan menjauhi atas nama cinta. Menjauh tidak berarti meninggalkan secara mutlak. Tetapi, menjauh demi memberikan tempat tersendiri kepada cinta. Bila Musashi gelisah karena adanya obsesi jalan pedang, SK gelisah karena suatu perasaan inferior atas pengalaman hidup yang seakan-akan penuh dengan dosa. Akan tetapi, keduanya memberikan jalan tersendiri kepada cinta. 

Ending keduanya memang benar-benar eksotis. Musashi dan SK pada akhirnya menyerah kepada cinta. Musashi sebelum menghadapi pertempuran dengan lawannya yang paling tangguh, tidak kuasa dengan perasaan cintanya. Dalam hitungan detik, dia pada akhirnya menikahi Otsu secara simbolik, hanya melalui lisan, bukan resepsi pernikahan besar-besaran. Setelah pertempuran selesai dan dialah pemenang, tidak ada kabar tentangnya, begitu juga dengan kisah cinta keduanya. Mungkin bisa jadi, dia tetap menempuh jalan pedang, atau mungkin mempersatukan asmara dengan sang cinta. 

Akhir cinta SK mungkin akan terkesan fiktif. Regina pada akhirnya menikah dengan laki-laki lain, sedangkan SK tetap pada pendirian menjalani hidup seorang diri dengan tetap mencintai Regina walaupun tidak bersama. Pada 2 Oktober 1855, saat pulang ke rumah, SK terjatuh dalam perjalanan. Dia pun dirawat di rumah sakit. Kepada sahabatnya, Emil Boesen, SK menyempatkan untuk menyatakan cintanya kepada Regina Olsen bahwa cintanya tidak perlu diragukan. Mengenai penyakitnya, dia juga menyampaikan adalah suatu pelunasan akan kegelisahan. Banyak penderitaan yang telah dilalui. Namun, semuanya telah memberikan kehidupan intensif dan berusaha tetap mengabadikan cinta. Saat 11 November 1855, SK berserah dihadapan sang maut dengan tetap teguh mempertahankan cinta, walaupun Regina Olsen tidak sempat tahu perasaan cinta SK yang sangat dalam. 

Anda boleh berkomentar seperti, “Seharusnya Musashi tidak boleh egois tentang jalan pedang dan menelantarkan Otsu lah! Ih…, dasar manusia egois!” atau “Dasar SK manusia pesimis! Ngomong donk sama Regina! Jangan takut! Tuh…akibat terlalu melankolis! Apa nggak kasihan sama Regina?! Jangan menyiksa diri sendiri ya…!” Tetapi tunggu dulu! Kita di sini berbicara tentang cinta. Rasional bisa menjadi irasional, bahkan sebaliknya. Cinta tidak harus seromantis akronim teman saya itu (Henny Hermawati) yang penuh ritmis. Kendala yang besar mungkin akan dihadapi cinta bila bertemu dengan filosofi kehidupan yang lain. Kiranya cinta sama dengan manusia, yang selalu bersitegang dengan manusia yang lainnya. Tidak ada suatu alur mulus, yang pasti ada padang tandus.

Saya ingin memberikan usul kepada teman saya yang mengakronimkan cinta. Usul saya, T tidak harus kependekan dari Takut bila kehilangan, namun juga Takut bila hidup bersama. Keduanya memang tidak dapat disimpulkan secara mutlak. Bisa jadi, keduanya telah menjadi satu-kesatuan, di satu sisi tidak ingin kehilangan, di sisi lain takut bila menjadi satu-kesatuan. Hal itu disebabkan kebutuhan akan eros (cinta seksual) berbenturan dengan obsesi kehidupan yang penuh filosofis. Kasus Musashi dan SK adalah suatu bukti. Cinta tidak selamanya takut kehilangan, namun juga takut memiliki. Bisa jadi hal itu dikarenakan obsesi seperti Musashi, juga bisa jadi karena terjangkit inferior diri yang cukup tinggi seperti SK. Saya tidak bermaksud menolak secara mutlak akronim CINTA. Namun, saya hanya memberikan usulan terhadap ketidakpastian mengenai cinta. Saya memang sangaja menggunakan kisah cinta dari dunia yang berbeda (fiksi dan fakta) untuk membuktikan bahwa dalam hal cinta keduanya bisa jadi sama. Hal itu sama seperti tidak ada rasional ataupun irasional, begitu juga fiksi dan fakta dalam cinta. 

Saya akan memproklamasikan bahwa semua orang bisa berbicara apa saja tentang cinta karena cinta juga bisa menjelma dalam rupa yang berbeda bagi setiap manusia! Bagaimana menurut Anda tentang cinta? 

Surabaya, 9-10 September 2008