Selasa, 21 Oktober 2008

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA
( Suatu Tinjauan Deskriptif ) *

oleh Inta Sahrudin**
  Pendahuluan
Bahasa sebagai alat komonikasi tidak diragukan lagi keampuhannya. Dibandingkan dengan media komunikasi lainnya seperti isyarat, lambang, dan sebagainya, betapa pun canggihnya, tetap bahasa itu memIliki peran yang sangat penting dalam berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Manusia sebagai mahluk pencerita (homo fabulans) senantiasa ingin menyampaikan segala sesuatu yang ada dalam benak atau perasaannya kepada orang lain melalui bahasa. Dalam proses transformasi pesan dari individu pihak komunikator kepada individu atau pihak lainnya sebagai komunikan inilah sering terjadi kesalahan; terutama dalam bahasa tulis yang merupakan rekaman dari bahasa lisan itu.
Ditinjau dari segi sampainya pesan, kesalahan berbahasa lisan kurang terasa salahnya karena dalam komunikasi ini dapat dibantu dengan mimik ( gerak air muka ) serta panto mimik, gestur ( gerak anggota tubuh ), atau isyarat lainnya, atau karena Si Pemesan itu memiliki sikap bahasa yang penting asal orang mengerti. Lain halnya dengan komunikasi tulisan, kesalahan ini akan terasa sekali, karena bahasa tulis memerlukan kelengkapan fungtuasi atau tanda baca, keakuratan diksi atau pilihan kata, ketepatan struktur baik kata ( morfologi ) maupun kalimat atau sintaksis. Kesalahan berbahasa ini akan berakibat pada gagalnya penyampaian pesan karena salah tafsir, tidak mengerti apa yang disampaikan, hamburnya ( mubazirnya ) kata atau kalimat, bahasa tidak efesien dan efektif lagi sebagai alat komunikasi dan berpikir. Tidak menutup kemungkinan kesalahan berbahasa akan menimbulkan kesalahan fatal dari pendengar atau pembaca terhadap pemaknaan pesan dari penutur atau penulis sehingga terjadi konflik dan sebagainya. 
Terjadinya Kesalahan Berbahasa
Kesalahan terjadi akibat kebiasaan berbahasa ( language habit ) yang salah sehingga terjadi kesalahan berbahasa ( language error ). Kebiasaan berbahasa ini terjadi secara spontan dan biasanya sukar dihilangkan kecuali lingkungan bahasanya diubah misalnya dengan menghilangkan stimulus yang membangkitkan kebiasaan itu. Sebagai contoh ada seseorang yang sudah terbiasa menggunakan kata /daripada/ bukan sebagai kata pembanding tetapi sebagai pengganti kata /dari/, misalnya dalam tuturan : “ Tujuan daripada organisasi kita adalah untuk mencapai…..” Contoh lain ada seseorang sudah terbiasa menggunakan frasa / yang mana / bukan dalam fungsinya sebagai penanya, dalam tuturan “ Tidak lupa kepada pembawa acara yang mana telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan sambutan….” 
Dari sekian kebiasaan ( bisa jadi sifatnya perseorangan ) ada juga kebiasaan yang sudah menggejala umum yaitu para penutur menggunakan kata ganti / kita / sebagai pengganti / kami / yang berarti sebagai orang pertama banyak; bahkan menggantikan kata / saya / sebagai orang pertama tunggal. Coba simak beberapa orang yang diwawancarai di televisi seperti kalangan artis, pengusaha atau siapa saja dapat dipastikan dia akan menggunakan kata / kita /. Pak Bendot (alm) dulu dalam iklan layanan masyarakat waktu menyikapi kenaikan TDL menyebutkan, : “ Agar kita-kita mendapat angin toh….” Mungkin menurut rasa bahasanya kata itu masih kurang jamak sehingga dibuat kata ulang.
  Kesalahan kedua karena perbedaan struktur bahasa ibu dengan bahasa yang digunakannya dalam pergaulan atau komunikasi resmi. Misalnya dengan adanya perbedaan antara bahasa ibu Sunda atau Jawa dengan bahasa Indonesia, maka akan terjadi interferensi dari bahasa kesatu ke bahasa kedua. Kesalahan karena kasus dwibahasawan ini misalnya kata / gaji/ oleh orang Sunda diucapkan /gajih/ , kata / akan / oleh orang dari suku Jawa diucapkan jadi / aken / dan sebagainya yang menyangkut kesalahan pada tingkat fonologi. Kesalahan pada tataran frasa contohnya nasi tok kalau dalam bahasa Indonesia harus menjadi hanya nasi. Kesalahan dalam bidang klausa misalnya ” …rumahnya Pak Basuki yang besar sendiri “ dari “ omahe Pak Basuki sing gede dewe “ seharusnya “ rumah Pak Rahmat yang paling besar ” Kesalahan bidang sintaksis misalnya, “ Sebulan sekali pada hari Minggu, di kampung saya selalu mengadakan kerja bakti “ Seharusnya bentukan ( morf dalam morfologi ) yang dipakai adalah diadakan karena memakai kata depan / di /. Kalau dihilangkan kata depannya baru kalimat itu jalan. Seterusnya kesalahan pada bidang makna kata ( semantik ) serta kesalahan bidang wacara ( discourse ) senantiasa dijumpai karena perbedaan bahasa kesatu dengan bahasa kedua atau bahkan ketiga seperti bahasa asing. 
Beberapa Kesalahan Berbahasa Serta Analisisnya
1. “ Para sodara jamaah pengajian sekalian yang kita hormati,….. Kita bersyukur kepada para pelantara agama yang mana pada beliau-beliau itu begitu gigih memperjuangkan agama….” 
Kita lihat kesalahan yang sering kita jumpai ini adalah kerancuan atau gejala pleonasme dalam penjamakan. Kata / para / yang sudah menunjukkan lebih dari satu kerap digabungkan dengan kata / sekalian / atau diulang misalnya / para pengurus-pengurus, para bapak-bapak, dan sebagainya yang sudah sama-sama bermakna banyak. Demikian pula akhiran asing /-in / pada kata hadirin, ini juga sudah menandakan banyak. Kesalahan serupa sering kita simak misalnya pada saat ada pertunjukkan hiburan di lapangan, pembawa acara menyambut penampilan penyanyi idola mereka dengan ucapan “ Baiklah para hadirin sekalian, kita sambut penyanyi kesayangan kita…..” Bentukan yang benar adalah para hadir ( tetapi kurang baik, kurang lazim ), sehingga bentukan yang baik dan benar adalah cukup hadirin atau ditambah dengan kata sifat yang berbahagia. Dalam pengajian bisa menggunakan sapaan Hadirin yang berbahagia, Bapak/ Ibu sekalian, Bapak/ Ibu/ Saudara sekalian yang saya hormati, Saudara-saudara yang berbahagia, Para Saudara jamaah pengajian yang berbahagia atau yang mengharap rida Allah, yang dimulyakan Allah, dan sebagainya. Bentuk sapaan sodara dalam pengucapan memang alih-alih menjadi binyi / o /, padahal dalam penulisan dan juga pelafalan yang tepat adalah saudara ( secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yakni / sa / yang berarti satu dan / udara / yang berarti perut, jadi artinya adalah satu perut atau berasal dari satu perut ibu seperti kakak, adik. Lama-kelamaan kata itu meluas penggunaanya. Demikian pula kata / ibu /, / bapak / yang dialamatkan hanya pada lingkungan keluarga saja. Bahkan karena kesepakatan tertentu misalnya di suatu pondok pesantren kepada sesama santri putri yang ditunjuk ketuanya mereka memanggil / ibu /, dan sebagainya.)
Kata / kita / yang tepat biasanya digunakan dalam bentuk ajakan yang berarti orang kesatu ( pembicara ) dengan orang kedua ( orang yang diajak berbicara ) terlibat di dalamnya, misalnya “ Marilah kita wujudkan rukun kompak serta kerja sama yang baik ! “ Kesalahan pengucapan ( tataran fologi ) pada kata pelantara bisa jadi merupakan kasus perseorangan yang terseleo lidah ( slif of tangue ) atau kerena memang kebiasaan. Kita maklumi kata dasarnya adalah / antara / mendapat awalan ( prefiks ) per- sehingga bentukan kata yang benar adalah perantara. Frasa yang mana merupakan serapan dari bahasa Ingris / wich I sering dingunakan dengan tidak tepat. Demikian pula frasa yang mana sebagai bentuk serapan dari where is seperti “ Pondok di mana tempat saya berguru sekarang sudah direhab…” ( di mana dihilangkan saja, ini mubazir ). Penggunaan frasa yang tepat dalam bahasa Indonesia adalah dalam bentuk tanya yaitu “ Yang mana bulpen kamu ? “ “ Di mana sekarang kamu ditugaskan ? “ Bentukan beliau-beliau dalam hal ini mungkin pengguna bahasa tidak tahu kata ganti ( pronomia ) personal ketiga jamak yakni mereka ( they ) dalam bahasa Ingris. Bisa jadi karena ingin mengagungkan ( yuadhim ) dan memang dia tahu bahwa orangnya banyak.
Pengalimatan yang tepat adalah “ Para Saudara jamaah pengajian yang saya hormati, Kita bersyukur kepada para peratara agama yang telah memperjuangkan agama Allah dengan gigih……Pada kesempatan ini marilah kita bersyukur kepada para perantara hidayah yang telah memperjuangkan agama Allah…… Kita harus bersyukur kepada para perantara agama, sebab mereka telah memperjuangkan agama Allah dengan begitu gigih….”
2. Di kamar mandi atau jeding ( dari bahasa Jawa, KBBI : 464 artinya bak/ tempat air ) ada tulisan “ di larang menyimpan barang didalam jeding “ ada lagi peringatan “ Air jangan isrof ! “ “ Matikan air dan lampu ! “ 
Penulisan / di / pada kata / larang/ seharusnya diserangkaikan karena / di / sebagai awalan atau prefiks yang merupakan morfem terikat ( harus diikatkan, belum memiliki makna tersendiri ), membentuk kata kerja pasif, serta berada dalam tataran morfologi. Sedangkan / di / pada / dalam / seharusnya dipisahkan karena sebagai kata depan ( Preposisi ), membentuk kata keterangan tempat, serta berada dalam konteks sintaksis. Kesalahan serupa sering ditemui misalnya “ Disini akan di bangun toko baru”, atau kadang-kadang ditulis kedua-duanya disatukan ada juga yang sama-sama dipisahkan. Padahal jenis kata itu mempunyai wilayah serta distribusi masing-masing.  
Peringatan kedua ini adalah struktur yang terbalik karena isrof dalam bahasa Arab artinya adalah berlebihan. Jadi peringatannya adalah “ Jangan isrof air “ atau lengkapnya “ Menggunakan air jangan isrof !” Kalau “ Air jangan isrof !” seolah-olah air itu benda hidup seperti manusia yang bisa diberi peringatan agar tidak berlebihan. Padahal yang diperingati itu adalah manusia yang menggunakan air itu. Coba bandingkan dengan “ Kamu jangan isrof yah !” 
Peringatan ketiga adalah penghematan predikat yang berakibat pada salah sasaran sehingga bahasa tidak efektif, meskipun efesien. Predikat atau dalam hal ini kata kerja untuk listrik, memang matikan tapi untuk air adalah tutup ( krannya). Sehingga peringatan itu akan lebih baik bila ditulis “ Listrik matikan, dan air tutup kembali ! “ atau lebih lengkapnya, “ Setelah dipakai, listrik matikan, dan air tutup kembali !” Kalau peringatan “ Jagalah kebersihan dan kesucian !” itu memang sudah tepat karena ada dua kata benda yakni kebersihan, menurut standar higienis, dan standar suci dalam kaitan untuk sahnya ibadah ( salat ). 
3. Pada spanduk setiap bulan Agustus dan Idul Fitri sering kita lihat “Dirgahayu HUT RI ke-61”, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H. Mohon Maaf Lahir Bathin.” Penulis spanduk jelas tidak tahu akan arti kata / dirgahayu / . Menurut KBBI (edisi ketiga : 267) dan juga Kamus Besar Bahasa Indonesia sebelumnya, dirgahayu itu berarti berumur panjang. Jadi mendoakan semoga berumur panjang hari ulang tahun yang hanya sehari itu yakni tanggal 17 Agustus, padahal sehari itu dari dulu hanya 24 jam umurnya. Terus RI ke-61, pantas saja negara akan dicabik-cabik jadi negara-negara kecil (federal) sehingga sampai tahun 2006 ini sudah ada RI kesatu, kedua, terus sampai ke-61, padahal komitmen kita akan NKRI sudah begitu bulat. Sering terjadinya kerusuhan di mana-mana, bahkan beberapa provinsi ingin merdeka, memisahkan diri, bisa jadi salah satunya adalah dampak dari tulisan itu. Untuk memperbaiki tulisan spanduk itu kita harus jeli menempatkan kata sehingga membentuk frasa yang tepat. Jadi kata dirgahayu digandengkan dengan RI, singkatan HUT dilekatkan dengan ke-61 dan seterusnya. Sehingga tulisan yang benar adalah Dirgahayu RI HUT ke-61.
Tulisan pada spanduk Idul Fitri ini seperti di atas juga begitu merebak setiap selesai bulan puasa, juga pada koran dan majalah. Kerancuan ini sering terjadi karena asimilasi atau tepatnya penggabungan kata yang berasal dari bahasa Arab ( sebutlah bahasa ketiga) yang digandengakan dengan bahasa Indonesia. Bandingkan dengan ucapan ( maksudnya menghormat ) “Mampir dulu guru Ustadz” yang masih didengar di beberapa kampung. Kita tahu bahwa ustadzun itu berarti guru, Yauma ied berarti hari raya, fitri berarti lebaran, suci. Sehingga tulisan dan ucapan yang benar adalah Selamat Idul Fitri 1427 H. Mohon Maaf Lahir Batin. ( bukan bathin ) atau Selamat Hari Raya Lebaran….( Berseri ) * Pernah dimuat pada Majalah Cakrawala Lebak bulan Mei 2007
**Inta Sahrudin (Guru Bidang Studi Bahasa Indonesia SMPN 4 Rangaksbitung )
BAHAN BACAAN
Badudu, J. S. 1993. Membina Bahasa Indonesia Baku I. Bandung : Pustaka Prima.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 1975-a. Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan. Jakarta : Depdikbud.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Soedjito. 1986. Kalimat Efektif. Bandung : Remaja Karya 
Tarigan, Djago. 1998. Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Proyek Penyetaraan D III Jurusan Bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar: