titik-titik dalam kehidupan akan aku ingat dan coba aku maknai kembali dalam sebuah tulisan
Rabu, 09 Juli 2008
Bicara Jatim, Bicara Kesenjangan
KOMPAS/ RADITYA HELABUMI
Ratusan orang antre hingga ke jalan dan menunggu berjam-jam untuk mengambil bantuan langsung tunai (BLT) tahap ketiga di Kantor Pos Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
Rabu, 9 Juli 2008 | 07:31 WIB
Dewi Indriastuti dan Kris Razianto Mada
Bicara soal Jawa Timur, yang muncul adalah kesenjangan. Saat deretan angka Indeks Pembangunan Manusia atau IPM (human development index/HDI) dipaparkan, kesenjangan itu jelas terlihat.
Indeks Pembangunan Manusia sebagai indikator modal manusia dalam mencapai kualitas hidup yang lebih baik tergambar melalui komponen pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Modal manusia di suatu daerah untuk bersaing dengan daerah lain ini tak hanya bersumber dari jumlah penduduk, melainkan juga dari keterampilan yang dimiliki penduduk dan kesehatan penduduknya.
Mengutip data pakar statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Kresnayana Yahya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur pada tahun 2007 sebesar Rp 530 triliun. Dengan jumlah PDRB sedemikian besar, mestinya Jatim—melalui pemerintahnya— dapat membawa masyarakatnya ke tingkat yang lebih sejahtera.
Kenyataan bicara lain. Untuk IPM tahun 2005, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jatim menduduki peringkat terbawah dibandingkan dengan semua provinsi di Pulau Jawa. Peringkat IPM Jatim yakni 22 (dari 33 provinsi di Indonesia), berada di antara Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jatim, yang hendak dicitrakan glamor melalui pembangunan pusat perbelanjaan yang sangat pesat, memiliki IPM 74,6 pada tahun 2005. Surabaya berada di peringkat ke-34 pada data IPM semua daerah di Indonesia. Jauh di bawah Kota Palangkaraya yang angka IPM-nya di posisi ke-6 atau Kota Makassar di posisi ke-7.
Di dalam Provinsi Jatim sendiri, kesenjangan IPM antarkabupaten dan antarkota sangat jelas. Menggunakan acuan data BPS, nilai IPM pada tahun 2005 di Jatim cukup tinggi di wilayah perkotaan. IPM tertinggi di Kota Surabaya, kemudian menyusul Kota Madiun dan Kota Mojokerto.
IPM terendah tahun 2005 terdapat di Kabupaten Sampang. Menyusul kemudian, wilayah di sekitar tapal kuda, yakni Kabupaten Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Ironisnya, sejak pemerintahan Gubernur Imam Utomo memasuki periode lima tahun kedua, pada tahun 2003 hingga 2005, posisi IPM keempat kabupaten itu tak beranjak. Tetap pada posisi terendah di Jatim, tak dapat mengejar ketertinggalan. Tetap timpang.
Kontrasnya kondisi antardaerah di Jatim pernah disebutkan dalam buku Balanced Development, East Java in The New Order yang diedit Howard Dick, James J Fox, dan Jamie Mackie. Dituliskan, ”pada tahun 1990 kecepatan pertumbuhan dan dinamisme provinsi ini secara keseluruhan sangat menonjol, dan kemakmuran relatif di daerah-daerah yang lebih kaya, khususnya di delta Brantas. Meskipun demikian, beberapa daerah di Jatim masih menderita kemiskinan endemik, terutama di Pulau Madura yang sering diserang kekeringan dan daerah-daerah pegunungan kapur yang memanjang di utara dan selatan Jatim”.
Hingga kini, satu dekade kemudian, kesenjangan itu tetap nyata!
Kresnayana Yahya mencontohkan, ketimpangan juga terlihat pada angka upah minimum regional (UMR). Di kawasan utara Jatim, angka UMR berkisar Rp 800.000-an, sedangkan di kawasan selatan Jatim berkisar Rp 300.000-an. Rendahnya UMR di kawasan selatan Jatim tak hanya berarti segalanya di wilayah itu sangat murah. ”Tetapi, tak ada fasilitas apa-apa di wilayah selatan,” kata Kresnayana.
Menurut dia, satu-satunya langkah yang mungkin dilakukan untuk mendongkrak kemajuan di wilayah selatan adalah membangun jalur lintas selatan. Jalan yang menghubungkan daerah di sebelah selatan Jatim itu memang sempat dibangun, tetapi baru 30 persen. Selanjutnya tak jelas.
Pakar pendidikan Anita Lie berpendapat, sebenarnya kesenjangan pendidikan di Indonesia bukan spesifik masalah Jatim. Namun, menilik potensi Jatim yang sebenarnya mampu bangkit dan menuju sejahtera, mestinya kesenjangan pendidikan tak perlu terjadi. Menurut dia, akar masalah munculnya kesenjangan pendidikan di Jatim akibat kurangnya komitmen pemimpin daerah.
Solusinya, butuh komitmen dari pimpinan daerah untuk meningkatkan pendidikan di Jatim. Eratnya korelasi antara indeks pendidikan dan IPM mengharuskan pemimpin Jatim yang akan dipilih melalui pemilihan kepala daerah mendatang punya visi pendidikan.
”Sebagai provinsi, memang tidak bisa lepas dari kebijakan nasional. Tetapi, seharusnya bisa memiliki warna sendiri, mengembangkan keunggulan lokal Jatim,” ujar Anita yang juga pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Widya Mandala, Surabaya, ini.
Kondisi kesejahteraan masyarakat Jatim makin parah, ditinjau dari jumlah penganggur dan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data yang dihimpun Litbang Kompas, jumlah penduduk miskin di Jatim mencapai 7 juta jiwa atau sekitar 18 persen dari jumlah penduduk Jatim. Jumlah penganggur mencapai 1,5 juta jiwa atau 8 persen dari jumlah angkatan kerja di Jatim.
Dari tinjauan politik, Airlangga Pribadi Kusman, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, berpendapat, selama ini aspek dasar hidup manusia, seperti pendidikan dan kesehatan, minim dikedepankan elite politik di Jatim. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang sebagian besar masih digelontorkan untuk kalangan birokrasi dan sebagian kecilnya untuk masyarakat menjadi bukti, kesejahteraan manusia di Jatim masih dipandang sebelah mata.
Airlangga menduga, kondisi kesenjangan yang tak kunjung terelakkan di Jatim akibat adanya transaksi dari elite politik. Eratnya korelasi antara peran pimpinan daerah dan kondisi daerah tersebut menguatkan dugaan itu. ”Misalnya, Kota Surabaya yang pendapatan daerahnya besar, ternyata upah minimum buruhnya sangat rendah. Upah minimum ini kan dibentuk dengan konsesi politik,” ujarnya.
Oleh karena itu, gubernur dan wakil gubernur Jatim mendatang haruslah yang dapat menyejahterakan semua penduduk Jatim. Tak hanya berkonsentrasi pada usaha menciptakan kesan glamor ibu kota provinsi, tetapi juga mengentaskan daerah dengan IPM terendah hingga setara dengan daerah lain. Tentu dibutuhkan komitmen pemimpin daerah untuk mengatasi masalah utama Jatim, yakni pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar