titik-titik dalam kehidupan akan aku ingat dan coba aku maknai kembali dalam sebuah tulisan
Rabu, 18 Juni 2008
Lepas dari Jerat Kebosanan
lepas dari Jerat Kebosanan!
kompas
Senin, 16 Juni 2008 | 17:10 WIB
PERNAHKAH Anda merasa bosan? Anda merasa kehidupan sehari-hari Anda bersifat rutin, biasa-biasa saja dan tak ada sesuatu yang menggairahkan yang membuat Anda merasa perlu meloncat kegirangan. Kemudian Anda menginginkan sesuatu yang tak biasa, sesuatu yang luar biasa terjadi pada Anda. Anda menginginkan sebuah kehidupan yang lain dari kehidupan Anda saat ini. Anda menjadi sering melamun, atau mengantuk jika Anda terpaksa harus menghadapi kenyataan sehari-hari.
Kebosanan merupakan gejala sehari-hari yang menghinggapi banyak orang, terutama orang-orang yang hidup di alam modern. Perhatikan anak-anak sekolah, atau mahasiswa ketika berada di ruang kelas. Mereka menguap, mengantuk, mencorat-coret sesuatu di kertasnya bahkan di mejanya.
Hal yang sama juga terjadi pada banyak pekerja industri. Dalam situasi seperti itu, yang diinginkan adalah hiburan dan sensasi. Tidak mengherankan jika dunia entertainment menjadi laku keras. Orang menginginkan hiburan, barang-barang bergemerlapan untuk melupakan kebosanan, untuk lari darinya. Para pembosan adalah budak yang baik untuk industri hiburan, makanan kecil dan barang-barang mewah.
Lebih ekstrem lagi, untuk lari dari kebosanan orang melakukan petualangan-petualangan liar (kalau tidak secara nyata sekurang-kurangnya berimajinasi melakukannya), biasanya berkaitan dengan hal-hal yang dapat dengan mudah membangkitkan gairah, yakni hal-hal yang primitif seperti bahaya (menonton film horor, mengunyah dengan rakus berita-berita pembunuhan atau melakukan hal-hal yang membahayakan seperti ngebut di jalan atau yang lebih aman naik rollcoaster), seks (berganti-ganti pacar, berselingkuh, nonton film porno, membaca novel-novel romantis mendayu-dayu) atau makanan (melakukan petualangan kuliner, ingin makan apa saja atau menanti-nantikan pak Bondan bilang maknyus). Ketiga tombol itu lebih mudah menimbulkan gairah ketimbang hal-hal lainnya karena proses evolusi manusia tergantung pada kapasitas memperhatikan ketiga hal tersebut (Brodie, 2005).
Konsekuensi lain dari kebosanan adalah depresi dan kecanduan obat. Orang yang mengalami kebosanan terus-menerus merasa menjadi tak berdaya. Merasa hidupnya tak berarti. Selain itu, orang-orang yang sering merasa bosan juga cenderung tidak dapat memaksimalkan kemampuannya dalam pekerjaan maupun prestasi akademik (Gosline, 2007). Bersiap-siaplah menjadi seorang medioker, pemurung atau pecandu narkoba.
Mengapa Bosan?
Salah satu sudut pandang yang dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan di atas adalah psikoanalisis. Orang menjadi bosan karena merasa dirinya tidak tertampung di dalam realitas yang dihadapi (aktivitas yang dikerjakannya). Ia seperti menghadapi sesuatu yang bukan dirinya yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Di dalam perspektif ini kebosanan menjadi dekat artinya dengan alienasi (rasa terasing dengan diri sendiri). Para pekerja industri, misalnya mengerjakan suatu barang yang tidak diinginkannya, tetapi yang diinginkan oleh majikannya.
Pekerja juga tak dapat membubuhkan ciri keunikan pribadi di dalam benda yang dikerjakannya, karena yang diinginkan majikan adalah produk yang standar. Rasa bosan itu diperkuat oleh sifat monoton pekerjaan. Berbeda sekali dengan bagaimana seorang seniman bekerja. Ia menjadi perancang karyanya, memberikan idiom-idiom diri (meminjam istilah yang dipakai oleh Bollas seorang psikoanalis Inggris) di dalam karya yang dikerjakannya.
Kedua contoh ini merupakan prototipe ideal, bagaimana seseorang berhubungan dengan aktivitasnya. Hubungan kita dengan realitas berada di antara kedua kutub tersebut. Pertanyaannya bagaimana Anda memperlakukan hidup? Apakah Anda bersikap sebagai orang suruhan ataukah Anda bersikap sebagai seniman terhadap kehidupan Anda.
Proses menjadi budak sudah berlangsung semenjak kita kanak-kanak, ketika kita mendefinisikan realitas seturut kemauan orang dewasa dan bukan kemauan kita. Kita merepresi keinginan kita dan sekaligus cara pandang kita terhadap realitas, karena menjadi berbeda dengan orang-orang dewasa yang lebih berkuasa memiliki konsekuensi negatif, kita takut tidak dicintai, takut ditinggalkan.
Idiom-idiom yang kita pakai untuk menamai realitas adalah idiom yang terbatas, sejauh hal itu diterima oleh orang kebanyakan, sejauh itu sesuai dengan opini orang dewasa kebanyakan. Di samping itu mengikuti idiom dan kemauan orang lain membebaskan kita dari keharusan untuk membuat keputusan, untuk memikirkan sendiri apa yang sedang kita hadapi. Mengikuti apa kata orang dewasa, meminjam idiom-idiom mereka dan bergantung pada definisi realitas mereka adalah hal yang wajar dilakukan oleh anak-anak, tetapi menjadi tak wajar jika dibawa ke dalam kehidupan orang dewasa.
Bagaimana membebaskan diri dari kebosanan?
Saya tidak bermaksud untuk menyarankan Anda menjadi liar, menjadi orang gila yang menciptakan idiom-idiomnya secara autistik hingga tak dipahami oleh orang lain. Saya hanya ingin Anda mempertimbangkan apakah represi-represi habitual yang Anda gunakan untuk menata realitas Anda membuat Anda tidak dapat menjumpai realitas secara langsung sedalam-dalamnya. Realitas yang kita hadapi jauh lebih kaya ketimbang opini-opini yang kita buat terhadapnya.
Menjadi bosan adalah memasuki sebuah lingkaran setan. Kita bosan karena perspektif kita terhadap realitas terbatas, dan rasa bosan menjauhkan kita pada pertemuan yang sesungguhnya dengan realitas. Di dalam kebosanan terdapat rasa penolakan terhadap apa yang kita hadapi. Bagaimana kita dapat memperoleh perspektif baru terhadap realitas yang kita hadapi jika kita merasa enggan untuk menjumpainya?
Satu-satunya cara untuk keluar adalah menghadapinya dan bukan lari kepada banyak hal di luarnya yang menjanjikan sensasi atau melarikan diri ke dalam rasa kantuk dan tertidur. Kebosanan tak perlu dihindari, malahan ia dapat menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan diri.
Salah satu caranya adalah membebaskan diri dari virus-virus opini, sebuah program yang siap mendefinisikan realitas tanpa kita perlu merasakan dan memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Prototype idealnya adalah meditasi Zen. Di dalam meditasi itu orang hanya di minta untuk bersikap hening, menatap realitas apa adanya, dan mengamati pikiran-pikiran yang muncul tanpa menghakiminya.
Jika Anda bisa duduk diam barang 10 hingga 20 menit setiap hari secara teratur, Anda akan menjadi lebih peka pada kekayaan realitas.Pada saat Anda merasa bosan Anda dapat menerapkan meditasi tersebut, amatilah saja realitas yang Anda hadapi, dan tidak perlu memperturutkan perasaan untuk lepas dari realitas itu.
V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar