Oleh: Heru/Ganes/Nur Chalimah
Peran media massa sangat berpengaruh kuat dalam perkembangan bahasa. Secara tidak langsung, bahasa mengalami perkembangan yang pesat karena media massa setiap hari menyuguhkan berbagai informasi yang berbeda. Berbedanya suatu informasi berpengaruh pula pada bahasa yang mengemasnya. Oleh sebab itu, pemakaian bahasa untuk menginformasikan suatu peristiwa pun membutuhkan fleksibelitas bahasa yang sesuai dengan peristiwa yang diberitakan.
Media massa merupakan ”guru” yang tidak hanya memberikan suatu informasi semata, namun juga menjadi teladan dalam menyampaikan informasi. Dalam hal ini, media massa sangat berpengaruh dalam penggunaan bahasa untuk menyampaikan suatu informasi. Bila bahasa yang digunakan media massa tidak teratur, hal itu sama dengan memberikan contoh kepada masyarakat untuk berbahasa yang tidak teratur pula. Oleh sebab itu, pihak yang terlibat dalam media massa sudah seharusnya menyadari dengan saksama bahwa peran yang digelutinya tidak sekadar memberikan informasi, tetapi juga bagaimana menyampaikan informasi, secara jelasnya mengajarkan berbahasa yang tepat kepada masyarakat. Namun, bagaimana jika justru media massa menyampaikan informasi dengan bahasa yang tidak teratur?
Salah satu ketidakteraturan dalam penggunaan bahasa tidak hanya terjadi dalam tubuh berita. Namun, ironisnya ketidakteraturan bahasa justru terjadi dalam penyusunan judul berita. Judul berita pada dasarnya merupakan bagian pertama dalam struktur berita. Karena merupakan bagian pertama, judul berita memiliki peran sentral dalam membuka suatu berita. Judul berita tidak jarang dikonstruksi semenarik mungkin. Hal itu berdasarkan asumsi ketika judul berita menarik, pembaca juga ikut tertarik untuk membaca isi berita. Dalam hal ini, judul berita merupakan sentral penarik minat para pembaca. Oleh sebab itu, dalam pengkonstruksian judul berita, pengeksplorasian kata pun sering terjadi. Namun, bagaimana jika pengeksplorasian kata dalam judul berita justru menyebabkan ketidaklogisan dan kerancuan berbahasa? Inilah kasus yang menarik untuk dikaji dalam tulisan ini. Kasus ini khususnya terdapat dalam Harian Surya.
No. Judul Berita Terbit
1 Balita Disiksa Setrika Rabu, 5 Maret 2008
2 Ibu dan 2 Bayi Bunuh Diri Senin, 24 Maret 2008
3 Belajar Berdesak-desakan Jumat, 28 Maret 2008
4 Buruh Mengadu Dewan Jumat, 28 Maret 2008
5 Tak Bisa Larang Bekerja ODHA Sabtu, 29 Maret 2008
Apa jadinya ketika pembaca mulai tertarik dengan judul berita yang dianggap ”luar biasa” dalam suatu berita? Namun, apa jadinya bila pembaca tidak menemukan suatu peristiwa yang ”luar biasa” itu dalam isi berita? Tidak diragukan lagi, pembaca pasti kecewa dan asumsi yang sangat logis, media massa dianggap ”bohong” belaka. Inilah peristiwa yang terjadi ketika judul menghadirkan suatu peristiwa yang ”luar biasa” tetapi setelah membaca isi berita malah tidak sesuai dengan judul berita. Bukankah Balita Disiksa Setrika dan Ibu dan 2 Bayi Bunuh Diri merupakan judul berita ”luar biasa”?
Dalam penyusunan judul berita, memang ada beberapa aturan khusus untuk menjadikan berita lebih ”hidup”, seperti penghilangan awalan me-, kalimat harus berbentuk aktif, dan bahasa judul mesti padat dan dinamis. Namun, setidaknya ”menghidupkan” berita bukan berarti ”menghancurkan” kelogisan bahasa. Surya, Rabu, 5 Maret 2008, memuat berita di halaman pertama dengan judul Balita Disiksa Setrika yang dicetak dengan ukuran besar dan ditebalkan. Mungkinkah setrika dapat menyiksa balita? Judul yang menarik, tetapi tidak logis. Maksud yang ingin disampaikan dalam judul itu sebenarnya balita yang disiksa dengan setrika, bukan setrika yang menyiksa balita. Dalam isi berita, pelaku yang menyetrika balita tersebut adalah ibunya. Ketidaklogisan judul berita disebabkan karena menghilangkan pelaku penyiksaan dan bentuk judul tidak aktif melainkan pasif yang melesapkan kata keterangan dengan pada Balita Disiksa (dengan) Setrika.
Senin, 24 Maret 2008, di halaman pertama, terdapat judul berita Ibu dan 2 Bayi Bunuh Diri yang dicetak dengan huruf ukuran besar dan ditebalkan. Berita tersebut tampaknya merupakan berita utama. Sekilas, judul berita tersebut tidak bermasalah. Bila dicermati, judul berita itu bermasalah karena berita tersebut sebenarnya mengandung makna yang tidak sesuai dengan isi berita. Permasalahan yang terjadi adalah pengkonstruksian judul tidak memperhatikan kelogisan bahasa.
Judul tersebut menarik, tetapi tidak logis. Ada dua peristiwa yang berbeda yang terkandung dalam judul itu, yaitu ibu bunuh diri dan dua bayi bunuh diri. Peristiwa ibu bunuh diri memang dapat berterima, tetapi benarkah dua bayi dapat bunuh diri? Bukankah ini berita yang ”luar biasa”? Dua bayi yang memiliki sifat seperti orang dewasa dan memiliki kesadaran serta kemampuan untuk bunuh diri? Bila dicermati dalam isi berita, peristiwa yang terjadi sebenarnya bukan dua bayi yang bunuh diri, tetapi seorang ibu yang membunuh dua bayinya kemudian ibu tersebut bunuh diri. Ketidaklogisan berbahasa dalam pengkonstruksian judul disebabkan pemaksaan dua peristiwa yang berbeda dalam suatu peristiwa yang sama. Peristiwa bunuh diri seorang ibu dipukulratakan terhadap pembunuhan kedua bayi, sehingga yang terbentuk adalah ibu dan kedua bayi sama-sama bunuh diri.
Pada judul Belajar Berdesak-desakan, makna yang terkandung dalam judul tersebut adalah belajar tentang berdesak-desakan. Yang terdapat dalam isi berita sebenarnya bukan belajar tentang berdesak-desakan, tetapi karena tempat belajar yang sempit, siswa yang sedang belajar berdesak-desakan dengan siswa yang lainnya. Permasalahan pada judul itu muncul karena adanya pelesapan pada kata keterangan yang menengahi kata belajar dan berdesak-desakan. Kata keterangan yang seharusnya muncul seharusnya sambil atau dengan. Bila kata yang dilesapkan tersebut muncul, judul berita tersebut menjadi Belajar sambil Berdesak-desakan sehingga ketidaklogisan bahasa dapat dihindari.
Tidak sesuainya judul dengan isi berita dapat pula terjadi karena kerancuan yang dimunculkan penyusunan judul. Judul berita Buruh Mengadu Dewan, Jumat, 28 Maret 2008 jelas tidak sesuai dengan isi berita. Ada kerancuan yang disebabkan oleh judul berita. Makna yang terdapat dalam judul berita tersebut seakan-akan buruh mengadu dewan dengan dewan yang lain, atau buruh mengadu dewan dengan pihak lain. Seakan-akan ada nuansa ”adu domba” dalam judul tersebut. Anehnya buruh mengadu domba para anggota dewan. Namun, sebenarnya yang terjadi dalam isi berita adalah buruh mengadu ke anggota dewan karena pihak buruh merasa mendapat perlakuan tidak adil dari manajemen perusahaan, bukan buruh mengadu domba dewan. Judul berita yang benar seharusnya menyertakan preposisi ke sebelum kata dewan sehingga judul tersebut menjadi Buruh Mengadu ke Dewan. Adanya pelesapan preposisi ke menyebabkan kerancuan pada judul berita. Penghilangan preposisi ke dimaksudkan untuk memadatkan judul agar judul lebih hidup, tetapi yang terjadi justru menghadirkan kerancuan makna dalam judul berita.
Pada judul Tak Bisa Larang Bekerja ODHA, Sabtu, 29 Maret 2008, struktur bahasa yang menyusun judul tersebut menjadikan makna rancu. Bila dicermati, judul tersebut bermakna tidak dapat melarang bekerja sebagai ODHA. ODHA merupakan seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS. Mungkinkah ada pekerjaan ODHA? Sebenarnya, yang ingin disampaikan penulis berita adalah tidak dapat melarang orang yang terjangkit HIV/AIDS (ODHA) bekerja sebagai penjaja seks komersial (PSK). Ada beberapa alternatif untuk menghindari kerancuan tersebut, yaitu dengan manggunakan tanda baca koma sebelum kata ODHA atau menempatkan kata ODHA sebelum kata Bekerja, sehingga menjadi Tak Bisa Larang Bekerja, ODHA atau Tak Bisa Larang ODHA Bekerja.
Ketidakteraturan penggunaan bahasa dalam judul berita akan menyebabkan tidak sama pula antara makna pada judul dengan maksud isi berita. Seperti judul Ibu dan 2 Bayi Bunuh Diri, hal itu jelas berbeda dengan isi berita karena yang ada hanya pembunuhan kedua bayi oleh ibunya sendiri setelah itu ibunya bunuh diri. Kedua bayi tidak pernah bunuh diri. Maksud penulisan judul berita tersebut sebenarnya memang tidak menebar ”kebohongan”. Namun, ketidaksesuaian judul dengan isi berita semata-mata disebabkan kesalahan penggunaan bahasa. Seharusnya, para pekerja media juga memperhatikan struktur gramatikal dalam penyusunan berita.
Dari beberapa judul tersebut, ada indikasi bahwa penggunaan bahasa dalam media massa, khususnya Surya masih belum memperhatikan dampak penggunaan bahasa terhadapat kelogisan serta kerancuan makna. Walaupun judul berita membutuhkan kepadatan serta keindahan agar berita lebih menarik, makna yang dihasilkan dari konstruksi pemakaian bahasa judul perlu diperhatikan. Alangkah baiknya jika kepadatan dan keindahan judul berita sejalan dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Ketidakteraturan penggunaan bahasa seperti itu memang terkesan sepele. Akan tetapi, ketika apa yang dituliskan tidak sesuai dengan maksud yang diinginkan, hal itu menunjukkan kurang mampunya menjaga keteraturan pemikiran dengan pengucapan. Bukankah keteraturan berbahasa juga mencerminkan keteraturan pola pikir manusia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar