POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS
POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS: KRITIK TERHADAP YASRAF AMIR PILIANG
Oleh: Heru Susanto
Dalam kajian budaya pop, nama Yasraf Amir Piliang tidak dapat dilepaskan dalam pengkajian budaya tersebut. Beberapa buku telah diterbitkan dengan kajian yang menekankan pada pengaruh budaya kapitalis, seperti Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Posrealitas: Realita Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, dan Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Budaya kapitalis diuraikan dengan runtut beserta pengaruhnya dalam kultur masa sekarang, dan juga ditekankan pada kultur nasional. Yang menarik dari pemikiran tersebut terletak pada pembahasan mengenai politik tubuh yang dipengaruhi oleh budaya kapitalis.
Yasraf menguraikan bahwa budaya kapitalis saat ini membidik ranah tubuh sebagai lahan penanaman modal yang menghasilkan banyak keuntungan. Produksi-produksi perawatan tubuh mulai dieksploitasi besar-besaran untuk menarik manusia memperhatikan tubuhnya. Dengan diproduksinya produk perawatan tubuh secara besar-besaran, secara tidak langsung manusia mulai larut terhadap keberadaan produk tersebut dan bersaing untuk mengeksploitasi tubuh mereka pula. Saat itu pula, manusia mulai menjadikan tubuh mereka sebagai produk untuk dipertunjukkan. Kondisi pengeksploitasian tubuh oleh budaya kapitalis tersebut membentuk wacana baru mengenai politik tubuh (body politics).
Ketika menguraikan politik tubuh yang dibentuk budaya kapitalis, Yasraf mengacu pada tiga tingkatan, yakni ekonomi politik tubuh (political-economy of the body), politik ekonomi tanda tubuh (political economy of the body signs), dan ekonomi-politik hasrat (political economy of desire). Ekonomi-politik tubuh merupakan penggunaan tubuh oleh kapitalisme sebagai alat untuk membentuk konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme. Politik ekonomi tanda tubuh merupakan penggunaan tubuh sebagai tanda-tanda sebagai system pertandaan kapitalisme yang bertujuan membentuk citra, makna, dan identitas. Ekonomi-politik hasrat merupakan pemanfaatan tubuh perempuan sebagai ajang eksploitasi ekonomi.
Ketiga tingkatan politik tubuh yang diajukan oleh Yasraf tersebut tampaknya masih terlalu tergesa-gesa. Ketika menguraikan tiga tingkatan politik tubuh, ia terperangkap pada jaring oposisi biner. Terperangkapnya dalam oposisi biner dapat dicermati ketika memosisikan perempuan sebagai objek (penderita) dan laki-laki sebagai subjek (pelaku) yang diwakili oleh kapitalisme. Ia tampaknya terlalu cepat mengambil putusan untuk memosisikan kapitalisme sebagai patriarki. Ini menunjukkan masih adanya pemikiran yang terpengaruhi wacana global mengenai hegemoni patriarki terhadap kaum perempuan. Pada hal, kapitalisme merupakan sistem yang mengarah pada pengoptimalan modal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kalaupun ada unsur-unsur pengeksploitasian perempuan, hal itu tidak serta merta kapitalisme dapat dipersandingkan dengan budaya patriarki.
Dalam Dunia yang Dilipat:Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan hal. 341, Yasraf menyebutkan “apa yang berlangsung adalah semacam ‘ideologisasi’ atau ‘mistifikasi tubuh’, yaitu relasi tubuh secara fisik (misalnya hubungan fisikal atara laki-laki dan perempuan) dilihat sebagai sebuah relasi sosial, yang di dalamnya dibentuk posisi sosial yang berbeda, yaitu antara yang kuasa dan tak kuasa, subjek dan objek, dominan dan yang didominasi”. Pernyataan tersebut semoga tidak terjadi untuk saat ini Memang dalam kenyataannya, perempuan merupakan korban dari kapitalis, tetapi ketika perempuan menjadi manusia tak kuasa, bukan berarti laki-laki yang kuasa. Dalam budaya saat ini, yang kuasa tetap kapitalisme. Pemikiran tentang perempuan merupakan komoditi bagi kapitalisme tampaknya tidak serta-merta memosisikan perempuan sebagai objek, sedangkan laki-laki justru menduduki posisi subjek yang berada dalam sistem kapitalisme. Simpulan seperti ini kurang mengena untuk mengkaji kondisi budaya yang dipengaruhi kapitalisme. Kekuatan kapitalisme memang memiliki potensi untuk memosisikan patriarki di atas perempuan. Akan tetapi, wacana tentang pengeksploitasian tubuh perempuan oleh kapitalisme tidak harus mengacu pada masalalah laki-laki mendominasi perempuan.
Tipisnya Batasan Laki-laki dan Perempuan
Untuk membuktikan kapitalis tidak dapat dipersandingkan dengan patriarki, hal itu perlu dicermati beberapa produk perawatan tubuh yang sering diiklankan di televisi dan berbagai media massa lainya. Jika memang kapitalisme berpihak pada laki-laki, tentunya hanya tubuh perempuanlah yang dieksploitasi sebagai komoditi. Pemikiran Yasraf tampaknya hanya cocok untuk masa lalu yang masih terikat mitos mengenai perempuan harus cantik dengan adanya iklan-iklan yang hanya menyangkut perempuan.
Perlu dicermati, iklan-iklan dalam media massa untuk saat ini tidak hanya terfokus pada perempuan. Kapitalis pun mulai melebarkan sayapnya dengan membidik tubuh laki-laki juga sebagai lahan komoditi. Hal itu bisa ditangkap dalam iklan perawatan tubuh yang juga diperuntukkan laki-laki. Secara tidak langsung, iklan produk, seperti bedak, pewangi tubuh, minyak rambut, sabun mandi, celana dalam, kondom, alat olah raga merupakan alat perayu yang ditujukan kepada laki-laki untuk lebih memperhatikan tubuhnya. Ketika laki-laki berbondong-bondong mengejar produk tersebut, mereka telah terjerat bujuk rayu kapitalis. Mereka telah tenggelam dalam kenikmatan semu. Yang ada hanya kompetisi untuk memperindah tubuh.
Dalam hal ini, mitos perempuan harus tampil cantik, sedangkan laki-laki harus bertubuh kekar dan jantan mulai tergeser dalam paradigma budaya kapitalis untuk saat ini. Tidak hanya perempuan yang harus tampil manis, laki-laki pun harus memperhatikan penampilannya dan bergaya semanis mungkin. Pada budaya yang menipisnya batasan antara maskulin dan feminin muncullah sosok laki-laki metroseksual.
Sebenarnya, tubuh laki-laki pun sekarang juga memiliki tempat untuk dieksploitasi dalam berbagai media massa. Tidak jarang laki-laki juga menjadi bintang kover dalam sebuah majalah dengan memakai celana pendek dan telanjang dada. Iklan di jalan-jalan juga tidak jarang menampilkan tubuh laki-laki yang menunjukkan keseksiannya. Hal itu semuanya merupakan strategi kapitalis untuk memperlancar penjualan produknya hingga meraih keuntungan sebesar-besarnya. Saat itulah manusia mulai terjerat politik tubuh dan menjadi manusia-manusia konsumen. Ketika manusia-manusia konsumen terbentuk, kapitalisme merayakan kemenangannya.
Kondisi ini dapat menjawab pertanyaan benarkan kapitalis memihak patriarki dan menempatkan perempuan sebagai yang tertindas semata?
Kapitalis tidak Berpihak pada Oposisi Biner
Kapitalis tidak seperti apa yang dikatakan Yasraf yang seakan-akan memosisikan kapitalis dengan patriarki sama, dengan politik tubunya yang mengeksploitasian tubuh perempuan. Kapitalis mengarah pada sistem pengembangan modal untuk mengantongi sebanyak-banyaknya keuntungan hingga mempengaruhi budaya yang menjadikan manusia-manusia konsumen. Hal itu jelas berbeda dengan patriarki yang pada dasarnya lebih menekankan pada status keberadaan laki-laki di atas perempuan, walaupun cakupannya juga luas.
Penempatan laki-laki pada posisi menguasai perempuan bila dicermati juga tidak dapat dijadikan pedoman untuk merujuk kapitalisme. Perlu ditegaskan untuk mengkaji politik tubuh dalam budaya kapitalis, tidak harus memosisikan laki-laki sebagai penguasa. Yang menjadi penguasa tetap kapitalis itu sendiri. Hal itu disebabkan kapitalis dapat memosisikan laki-laki sebagai subjek (pelaku), tetapi juga tidak tertutup kemungkinan perempuan juga sebagai subjek (pelaku) untuk menikmati tubuh laki-laki yang dipertontonkan. Hal itu dapat diamati dengan gencarnya produk-produk yang juga ditujukan kepada laki-laki. Yang terpenting bagi kapitalis penguasaan keuntungan sebesar-besarnya.
Pemkiran ini semoga dapat memperluas kajian mengenai budaya pop untuk saat ini. Dari berbagai kajian mengenai budaya pop, khususnya mengenai tubuh, kajian masih berkutat pada kajian tubuh perempuan. Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah waktunya untuk memperluas kajian politik tubuh yang merujuk eksistensi laki-laki pula sebagai bentukan budaya kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar