FILOSOFI CINTA PLATO:
APA INI EROS ATAU PHILIA SEMATA?
Oleh: Heru Susanto*
Plato menyatakan ada kekuatan yang luar biasa dalam kodrat manusia. Kodrat manusia dahulu berbentuk bulat, memiliki empat tangan, empat kaki, dua muka, dua alat kelamin, dan satu leher. Makhluk ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan kekuatan yang luar biasa tersebut, para dewa dan dewi khawatir dengan keberadaan makhluk itu karena merupakan ancaman bagi keberadaan mereka sebagai pemangku kekuasaan. Kekhawatiran ini tampaknya menimbulkan rasa iri mereka. Untuk menghadapi makhluk itu, Zeus memiliki cara licik untuk mengurangi kekuatan makhluk itu dengan cara tidak membunuhnya. Zeus membelah makhluk itu menjadi dua bagian dan meminta Apollo untuk menyembuhkan luka belahan tersebut. Saat itulah, kedua bagian tubuh itu berpisah satu sama lain dan memiliki kerinduan yang kuat untuk bersatu kembali. Kerinduan itu termanifestasi dalam hasrat laki-laki dan perempuan yang ingin bersatu dalam ikatan percintaan. Inilah kisah jalinan cinta yang dikisahkan dalam risalah yang ditulis oleh Plato dalam Symposium yang kemudian menjadi teori cinta yang mempengaruhi pendekar psikonalisis, Sigmund Freud, dalam memandang cinta.
Pertanyaan tentang cinta tidak hanya berada dalam roman-roman asmara atau lagu-lagu sahdu tentang cinta. Bahasan mengenai cinta juga merupakan bidang yang tidak terlepaskan dari tangan filosof. Seperti yang dikisahkan Plato, laki-laki dan perempuan hingga saat ini pun memiliki kerinduan yang mendalam untuk saling bersatu. Ada kekuatan besar yang saling menarik mereka untuk mencari satu sama lain. Namun, kerinduan untuk bersatu tidak selamanya berjalan dengan lancar. Ada laki-laki dan perempuan yang bersatu hingga pada altar suci pernikahan hanya karena saling pandang di mal ketika sedang makan siang. Ada pula laki-laki dan perempuan hingga bertahun-tahun mengalami rasa sakit karena gagal menyatukan dirinya untuk kembali seperti semula (wujud terdahulu mereka).
Dalam tulisan singkat ini, kita akan mengkaji cinta dari sudut pandang folosof Yunani Klasik, yakni Plato dan sedikit mengupas mengenai derita cinta tak berbalas.
Teori Cinta Plato: Philia dan Eros
Kata cinta dalam bahasa Indonesia tampaknya tidak ada batasan dalam penggunaan. Cinta digunakan untuk menunjuk hubungan yang luas, baik cinta keluarga, cinta sahabat, cinta alam, dan cinta lawan jenis, begitu juga dengan kata love dalam bahasa Inggris. Hal itu jelas berbeda dalam masa Yunani Klasik. Plato memiliki istilah yang berbeda untuk membedakan penggunakan istilah cinta. Istilah yang digunakan Plato pada dasarnya bertujuan untuk membedakan jenis cinta, yakni philia dan eros.
Philia merupakan jenis cinta yang menunjukkan hubungan kasih sayang yang bersifat kekeluargaan, cinta antara anak dengan orang tua dan cinta terhadap sahabat. Cinta ini tidak memiliki hasrat “seksual”. Hubungan ini melibatkan perasaan kasih sayang yang mendalam, tetapi tidak bernuansa luapan libido. Cinta ini memiliki komponen untuk saling melindungi antarsesama, saling memberi, saling memiliki, dan mengasihi. Tidak ada yang membedakan jenis kelamin, suku bangsa, agama, ataupun kasta dalam struktur cinta ini.
Eros merupakan cinta yang digunakan untuk menjelaskan cinta seksual, yakni cinta antara laki-laki dan perempuan ataupun sesama jenis. Ada hasrat “seksual” yang tersimpan dalam komponen eros. Cinta seperti ini memiliki potensi sangat kuat untuk saling memiliki dengan muatan libido. Hasrat berpacaran merupakan salah satu contoh cinta eros. Ketika laki-laki menginginkan salah seorang perempuan untuk dimilikinya dan bermaksud untuk menikahinya, begitu juga sebaliknya, kondisi seperti inilah yang dimaksud dengan cinta eros. Bagaimana dengan incest? Incest atau perilaku seksual yang menyimpang yang masih ada hubungan darah dan memiliki hasrat untuk menjalin asmara, termasuk dalam kategori eros walaupun dalam incest terdapat hubungan kekeluargaan. Jadi, eros merupakan hasrat kasih sayang baik laki-laki perempuan, maupun sesama jenis yang menjurus pada spirit hubungan seksual. Kunci utama cinta eros adalah adanya hasrat seksual.
Philia dan eros merupakan pemetaan sederhana untuk mendekati garis besar pemikiran Plato mengenai cinta. Akan tetapi, kedua cinta ini tidak jarang mengundang masalah bagi hubungan harmonis manusia. Permasalahan itu dapat kita lihat dalam fenomena derita cinta tak berbalas berikut ini.
Fenomena Cinta Tak Berbalas
Berbicara tentang cinta memang gampang, namun memaknainya luar biasa peliknya. Hal itu disebabkan pengalaman cinta antara orang satu dengan lainnya berbeda sehingga pengalaman tersebut kadang tidak dapat diterapkan oleh orang satu kepada yang lainnya pula. Generalisasi cenderung tidak berlaku dalam hal ini. Stephanie Iriana dalam Derita Cinta Tak Terbalas berusaha memformulasikan penderitaan manusia akibat cintanya yang tak berbalas. Dalam buku tersebut, ia menegaskan dalam kondisi manusia yang menderita akibat cinta tak berbalas terdapat titik balik dari kehidupan yang tak bermakna menjadi lebih bermakna. Ketika seseorang menderita karena cintanya tak berbalas, ada peluang membuka diri untuk lebih memaknai kehidupan.
Buku itu juga membahas mengenai hasil wawancara dengan seseorang yang jatuh cinta tetapi tidak berbalas. Namun, buku tersebut tampaknya menitikberatkan bahasan pada bagaimana menemukan makna hidup dalam derita cinta. Ada sedikit yang terlewatkan mengenai pengkajian lebih mendalam “mengapa hal itu terjadi”. Hal yang terlewatkan inilah yang kadang justru menjadikan hakikat cinta semakin unik.
Derita cinta tak berbalas sering terjadi ketika lelaki atau perempuan jatuh cinta ternyata orang yang dicintai tidak mencintainya karena tidak sesuai dengan kriteria atau sudah punya kekasih. Namun, tidak jarang pula masalah cinta mengenai laki-laki mencintai perempuan yang sudah lama bersama, ke mana-mana selalu berdua pada akhirya mengalami derita cinta. Hubungan keduanya semula sangat harmonis layaknya Adam dan Hawa. Keduanya tidak ingin terpisahkan. Karena begitu harmonis dan mesranya hubungan tersebut, si laki-laki jatuh cinta walaupun ia tahu bahwa si perempuan sudah memiliki kekasih. Laki-laki itu sangat yakin bahwa si perempuan pasti juga mencintainya karena keberadaannya sangat berarti bagi perempuan itu. Ketika si laki-laki menyatakan cinta kepada perempuan, jawaban yang didapat justru sebaliknya. Perempuan tersebut tidak dapat menerima cintanya karena mencintai laki-laki lain. Namun, perempuan itu menginginkan si laki-laki tetap berada di sisinya. Setiap saat perempuan itu selalu menghubungi laki-laki itu. Ia tidak ingin berpisah dengannya. Bagi si laki-laki, penolakan cintanya merupakan pukulan berat dan menyakitkan.
Karena si perempuan tetap ingin bersama, laki-laki itu merasa bahwa ia dipermainkan. Ia semakin sakit ketika cinta sudah ditolak namun perempuan itu tetap mengejar-ngejar dan selalu menghubunginya. Dengan tegas, perempuan itu menyatakan bahwa ia tidak dapat berpisah dengan si laki-laki, tetapi ia tidak dapat menerima cintanya dan ia tetap mencintai kekasihnya. Inilah yang tidak dapat diterima oleh laki-laki itu hingga ia mengalami derita cinta yang paling dalam.
Fenomena seperti ini merupakan fenomena cinta yang unik dan sering terjadi. Akan tetapi, permasalahan seperti ini sering kali ditanggapi dalam perspektif sepihak. Oleh sebab itu, yang terjadi justru menempatkan pihak satu pada posisi benar dan pihak lain bersalah. Yang seharusnya terjadi justru tenggelam dalam keegoisan, yakni memahami dengan bijaksana penempatan cinta dari kedua belah pihak.
Apa Ini Eros atau Philia Semata?
Eros dan philia tidak jarang memunculkan permasalahan. Manusia pada dasarnya memiliki keduanya. Hal itulah yang sebenarnya cikal-bakal munculnya permasalahan. Fenomena derita cinta di atas disebabkan karena tumpang-tindih menangkap cinta eros dan philia. Cinta yang dinyatakan si laki-laki kepada perempuan merupakan cinta eros, sedangkan kasih-sayang perempuan kepada laki-laki itu merupakan cinta philia. Secara tidak langsung, munculnya eros tersebut disebabkan karena philia perempuan itu begitu kuat. Ketika philia begitu kuat, persahabatan tidak ingin dipisahkan. Ia merasa yang dicintai merupakan bagian dari dirinya pula dan ia pun merasa ingin dilindungi. Akan tetapi, spirit yang ditangkap laki-laki berbeda. Ia menganggap perasaan itu merupakan eros dari perempuan untuknya.
Jadi, cinta yang dihadapi laki-laki dan perempuan tersebut berbeda. Kurang pekanya menangkap spirit eros dan philia inilah penyebab derita cinta tak berbalas yang cukup unik. Keduanya punya hasrat untuk memiliki. Yang satu hasrat-memiliki yang bermuatan seksual, sedangkan yang satunya tidak bermuatan seksual. Dalam fenomena ini, perempuan memiliki cinta yang ganda. Cinta philia perempuan ditujukan kepada si laki-laki yang menderita, sedangkan cinta eros tetap diberikan kepada sang kekasih semata.
Permasalahan kurang pekanya memahami spirit eros dan philia sering terjadi. Bila salah satunya tidak mampu memahami dengan bijaksana, yang ada hanya kebencian hingga menimbulkan retaknya persahabatan. Kunci permasalahan cinta ada pada kebijaksanaan. Ketika manusia menangkap sebuah fenomena dengan bijaksana, pada dasarnya ia telah membuka diri terhadap cinta.
Untuk saat ini, permasalahan terletak bukan sekadar berhenti bagaimana kita mengartikan apa itu cinta. Bila yang dipermasalahkan sekadar apa itu cinta, yang muncul adalah cinta itu buta, cinta itu menyakitkan, cinta itu menyenangkan, cinta menjenuhkan yang semuanya merupakan lapisan luar belaka. Namun, pertanyaan lebih lanjut dan mendalam sebenarnya justru terlewatkan, yakni bagaimana kita memaknai kehidupan ini dengan cinta dan memahami dengan bijaksana penempatannya. “Bila ego diperkuat dengan cinta/Tenaganya menguasai dunia semesta/Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang/Tangannya menjadi tangan Tuhan/Bulan pecah oleh jari-jemarinya/Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia”, tegas Mohammad Iqbal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar