Rabu, 04 November 2009

Kroser Petani dari Gunung Sumbing


Rabu, 4 November 2009 | 01:55 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Fikria Hidayat


Foto lengkap di: KOMPAS IMAGES

SOLIDHIN menggeber gas sepeda motornya, meraung-raung mengitari lapangan sepak bola berupaya membalap empat rekannya yang berada di depan. Aksi kejar-kejaran mereka menjadi tontonan gratis warga lereng Gunung Sumbing di Dusun Garung, Desa Butuh, Kecamatan Kali Kajar, Wonosobo, Jawa Tengah.

Lapangan mini yang dingin disaput kabut sore itu, berubah menjadi arena motokros. Para petani yang memiliki sepeda motor pengangkut pupuk, berkumpul adu tanding kemampuan sepeda motor, balapan, jumping dan zig-zag saling mendahului.

Kegiatan itu rupanya sudah rutin dilakukan para petani khususnya para pemuda setempat untuk mengisi waktu usai rutinitas bertani atau mengangkut pupuk ke lereng Gunung Sumbing. "Saat musim tanam atau menunggu musim panen tembakau, sore hari biasa mereka berkumpul di lapangan, membuat hiburan sendiri dengan balapan motor," terang Habib warga setempat.

Jangan bayangkan sepeda motor para petani tembakau tersebut layaknya special engine seorang kroser sungguhan. Sepeda motor mereka untuk transportasi biasa, bahkan banyak usianya sudah tua yang dimodifikasi untuk medan off-road. Untuk mensiasati medan basah berlumpur, mereka membalut rantai ke roda belakang.

Karung masih menempel di jok sepeda motor mereka, aroma pupuk kandang masih melekat di tubuh mereka, tapi demi hiburan, balapan pun tetap dilakukan.

Sepeda motor berfungsi mengangkut pupuk kandang untuk tanaman tembakau. Mereka biasa mengangkutnya hingga ke ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut menuju areal pertanian yang sedang digarap. Para petani juga bisa menjadi ojek mengangkut pupuk bagi mereka yang tidak memiliki angkutan.

"Berat sekali kalau harus berjalan mengangkat puluhan kilogram pupuk ke atas (lereng gunung), lebih mudah pakai sepeda motor, walaupun sepeda motor tua tapi sudah kita modifikasi, kita juga jadi ojek motor dalam sehari 3 hingga 5 kali naik turun mengangkut pupuk," ungkap Habib.

Petani yang bekerja sebagai ojek menerima upah Rp 5.000 sekali angkut ke lereng Gunung Sumbing. Sekali naik mereka membawa tiga karung pupuk kandang dan turunnya membawa kayu bakar. Tak jarang mereka terjatuh di sisi jurang atau di medan yang lembek, namun syukur hingga sekarang belum pernah memakan korban. "Kita sudah terbiasa bahkan ada juga yang ikut balapan resmi, hahaha..." seloroh Solodhin.

Saat matahari tenggelam di balik lereng gunung, raung sepeda motor para petani itu pun mereda. Mereka kambali ke rumah masing-masing berkumpul bersama keluarga, istirahat dan bergumul dengan dingin yang menusuk. FIA

Tidak ada komentar: