Sabtu, 31 Oktober 2009



 
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri saat memberikan keterangan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (30/10). Dalam kesempatan itu Kapolri menjelaskan dan menegaskan bahwa Polri tidak melakukan kriminalisasi dan pengkerdilan KPK.
Artikel Terkait: 
Presiden Diminta Bentuk Tim Koneksitas Usut Kasus Bibit-Chandra
Gus Dur: KPK Harus Berani
ICW: Sita Rekaman Penyadapan, Polisi Kalap
SBY: Polisi, Bertindaklah Profesional, Adil, dan Obyektif
Polri: Hak Kami Menahan
Sabtu, 31 Oktober 2009 | 22:49 WIB

MALANG, KOMPAS.com - Penjelasan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri tentang proses hukum dan penahanan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto menunjukkan ketidakpahaman polisi atas hukum. Yang sebenarnya terjadi, polisi termasuk Kapolri dalam keadaan tertekan, mungkin oleh kekuatan politik di luar dirinya, agar menghalangi kerja KPK.

Demikian penjelasan diantara para pengajar hak asasi manusia (HAM) dan hukum tata negara dari Fakultas Hukum dari tujuh perguruan tinggi yang sedang menyelenggarakan pertemuan di kampus Universitas Brawijaya, Malang, Sabtu (31/10). "Pernyataan yang disampaikan Kapolri bahwa menahan adalah hak, sebagaimana dikutip media cetak keesokan harinya. Padahal yang benar menahan adalah wewenang. Beda hak dan wewenang, karena wewenang melekat dalam jabatan dan hak adalah milik pribadi," kata Herlambang Perdana, dari FH Universitas Airlangga, Surabaya.

Bukan hanya soal ucapan, tindakan hukum yang dilakukan Polri dengan menahan yang disebutkan oleh Kapolri karena alasan Bibit Samad dan Chandra Hamzah dianggap membuat siaran-siaran pers adalah tindakan hukum yang keliru. Sebab, kata Bambang Sugiono, dari FH Universitas Cendrawasih, memberi pernyataan pers adalah ekspresi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi.

"Warga negara tetap bebas berpendapat meski berstatus sebagai tersangka, bahkan terpidana. Ini menunjukkan Polri tidak memahami hak tersangka, dan mengacaukan pengertian hak dengan wewenang," kata Uli Parulian Sihombing, dari Indonesian Legal Resource Center, Jakarta.

Para pengajar HAM dari tujuh perguruan tinggi tersebut kemudian membuat pernyataan yang disiarkan untuk pers, yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak membiarkan kriminalisasi pimpinan KPK. Sebab pembiaran yang dilakukan presiden sama halnya dengan menjelaskan bahwa presiden tidak mampu memberantas

Tidak ada komentar: