KOMPAS.com — Bicara soal pelestarian kawasan tua, ada satu hal yang terjadi di kota pusaka di Indonesia. Sebut saja Sawahlunto, Kota Gede (Yogyakarta), dan Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Utara sudah masuk dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia atau JKPI) yaitu tentang siapa sebenarnya yang akan bertanggung jawab pada kawasan lingkungan cagar budaya, si penanggung jawab harus melakukan apa saja/tugas apa yang dibebankan kepada penanggung jawab tadi.
Di dalam UU tentang Benda Cagar Budaya, UU No 5 Tahun 1992 disebutkan, “Semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara,” dan “Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah.” Dalam UU itu pemerintah lebih suka menggunakan kata benda cagar budaya (BCB) bukannya BCB dan lingkungan cagar budaya.
Di Jakarta, meskipun ada Perda Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, tetapi perhatian lebih lekat pada benda/bangunan cagar budaya. Contohnya, bidang pengawasan di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, sebelum digabung dengan Pariwisata, lebih fokus pada pengawasan BCB. Sementara itu, lingkungan cagar budaya, seperti Condet, sudah gagal. Kampung Tugu, sudah nyaris lenyap. Kawasan Kota Tua, masih bingung siapa yang bertanggung jawab pada kawasan ini. Padahal, jelas-jelas pemerintah daerah bertanggung jawab atas kawasan lingkungan cagar budaya itu, bukan cuma mengurus BCB.
Lord Donald Hankey, Presiden International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) UK memberi masukan, dengan ketidakjelasan soal tanggung jawab, perlu ada dukungan dari akademisi, komunitas pecinta pusaka, atau lembaga semacam Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) yang harusnya bisa memberi masukan pada pemerintah. “Stakeholder harus diikutsertakan dalam pembuatan rancangan master plan. Jika tidak, tentu akan sulit melaksanakan rencana itu. Harus bersama dalam melihat lahan, melihat potensi,” tandasnya.
Perlu mengupayakan pemahaman yang sama kepada semua pihak bahwa lingkungan bersejarah itu merupakan modal. Karena untuk melestarikan, orang perlu paham nilai-nilai untuk masyarakat setempat, identifikasi dalam konteks budaya atau sebuah kesepakatan lokal/nasional pada monumen atau lingkungan bersejarah. “Yang pasti, pelestarian itu nantinya harus memberikan keuntungan bagi semua pihak, bisa digunakan untuk kemudian dikelola secara berkesinambungan bagi pemeliharaan kawasan/bangunan itu sendiri,” lanjut Hankey ketika berbicara dalam acara Pelatihan Penyusunan Master Plan Kota Pusaka, di Kota Gede, Yogyakarta.
Sementara itu, Katrinka Ebbe dari World Bank Washington menyatakan, pusaka bukan benda (intangible heritage) berada pada posisi yang membahayakan dalam era globalisasi. “Dan ini terjadi di seluruh dunia. Karena orang sekarang lebih enak nonton TV, melihat ada kesempatan yang lebih menarik dibandingkan, misalnya, meneruskan kerajinan perak yang sudah turun temurun di keluarga,” ujarnya.
Spesialis sumber daya budaya bukan benda ini juga menekankan, makin hilangnya tradisi, yang menjadi intangible heritage itu tak lain adalah karena dunia pariwisata yang di satu sisi mendukung pengenalan budaya bukan benda, tetapi di sisi lain juga menghilangkan nilainya. “Misalnya, ada tarian yang karena menarik untuk turis, maka di mana-mana, setiap hari ditampilkan, padahal nilai tarian itu juga menjadi intangible heritage. Simbol ritual sering kali dikomersialkan,” demikian ia menjelaskan.
Untuk itu sekali lagi ia menegaskan pentingnya kesadaran dan pemahaman atas pentingnya tradisi yang dibangun oleh komunitas. Termasuk juga peningkatan produk budaya, seperti warisan kuliner, kerajinan. Yang terpenting, publikasi, khususnya, di dunia yang sudah tak berjarak ini, melalui website.
Namun, hal yang pertama harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran dan pemahaman adalah pendataan terhadap semua kekayaan yang ada di lingkungan bersejarah, bukan hanya fisik, melainkan juga yang non-fisik (tangible dan intangible heritage). Sudahkah Jakarta membuat daftar tersebut? Sudahkah Jakarta menjalankan Perda yang dibikin sejak 1999? Jawabnya berceceran di lapangan, fakta lapangan.
titik-titik dalam kehidupan akan aku ingat dan coba aku maknai kembali dalam sebuah tulisan
Kamis, 23 Juli 2009
Kawasan Bersejarah, Siapa Bertanggung Jawab?
Kamis, 2 Juli 2009 | 15:19 WIB
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar