Minggu, 22 Maret 2009

Geopolitik: Modern atau Posmodern?

Geopolitik: Modern atau Posmodern? 
Oleh Rizki Saputro 
Kategori: Analisis 


GeoPolitik Modern
John Agnew, bersama dengan rekannya, Corbridge, mencoba memberikan teorema-teorema umum geopolitik yang akan memposisikannya sebagai ide sekaligus praksis. Hasilnya adalah sebuah teori hibrida dari geopolitik dan ekonomi politik, Ekonomi Geopolitik. Ekonomi Geopolitik didapatkan dengan cara menggabungkan pemikiran Lefebvre dari Perancis tentang Aktivitas Keruangan (Spatial Practice) dan Gambaran Keruangan (Representation of Space) dengan pemikiran Gramsci dari Italia tentang hegemoni. Geopolitik Modern yang tersifati secara ekonomi ini diyakini sebagai hasil aktivitas manusia, bukan sekedar given. Ia disadari sebagai filosofi negara, sebuah teknologi mental untuk memerintah.


Henry Lefebvre mendefisiniskan Spatial Pratices sebagai Aliran, interaksi dan pergerakan material fisik, kedalam dan melintasi ruang; sebagai ciri fundamental dari produksi ekonomi dan reproduksi sosial. Sedangkan Representation of Space merupakan keseluruhan konsep, dan kode geografis yang digunakan untuk membicarakan dan memahami aktivitas keruangan. Mudahnya, aktivitas keruangan adalah bersifat material dan gambaran keruangan adalah wacana atas aktivitas keruangan.

Anthonio Gramsci menggunakan konsep hegemony untuk menambal kekurangan analisa Karl Marx. Marx meramalkan bahwa revolusi proletariat menuju masyarakat sosialis akan terjadi di negara kapitalis paling maju. Sementara kenyataannya, revolusi tersebut malah terjadi di negara agraris, Rusia. Gramsci dari penjara Italia mempertanyakan, mengapa revolusi tersebut sulit dilakukan di Eropa Barat? Hegemoni yang merupakan konsep keunggulan kepemimpinan adalah jawabannya. Hegemoni dapat dipahami sebagai langkah eksploitasi dan alienasi struktural, bisa juga sebagai kondisi statis hubungan antar negara.

Dari pembedaan Lefebvre dan konsep hegemoni Gramsci, Agnew dan Corbridge mencoba menjembataninya dengan relasi dialektis antara materi dan wacana, yang kemudian diatasnya dibangun dua istilah baru, yakni Orde Geopolitik dan Wacana Geopolitik. Orde geopolitik adalah aktivitas keruangan dalam ekonomi politik Dunia. Order sebagai rutinitas aturan, institusi, aktivitas dan strategi, dimana ekonomi politik internasional bekerja dalam periode sejarah yang berbeda-beda; memerlukan karakteristik geografis. Antara lain, derajat relatif sentralitas teritorial negara atas aktivitas ekonomi dan sosial, hirarkhi negara, jangkauan ruang aktivitas negara-negara dan aktor lain, keterhubungan atau keterputusan ruang antar aktor, aktivitas keruangan yang didukung oleh teknologi informasi dan militer, dan peringkat kawasan tertentu ataupun negara-negara dominan tertentu dalam hal ancaman dominasi ataupun keamanan militer dan ekonomi.

Dari karakteristik ini dapat kita simpulkan bahwa ada empat Orde Geopolitik semenjak istilah geopolitik sendiri lahir, yaitu Orde Inggris, Orde Persaingan antar Kerajaan, Orde Perang Dingin, Orde Liberalisme Transnasional. Dalam masing-masing orde tersebut terdapat hubungan hegemonik. Boleh jadi Orde geopolitik tidak memiliki satu negara hegemon, contohnya adalah Orde terakhir. Pasca Perang Dingin, dunia tidak dihegemoni oleh satu negara, akan tetapi beberapa negara kuat seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, yang disatukan oleh Pasar Dunia dan institusi/organisasi transnasional semacam Uni Eropa, WTO, IMF dan Bank Dunia. Orde Liberalisme Transnasional menjelaskan bahwa dunia sedang mengalami perkembangan universal, yaitu perluasan dan penambahan Pasar Kapitalis di seluruh dunia.

Istilah kedua, Wacana geopolitik, merupakan Gambaran keruangan atas hegemoni yang terjadi di dunia. Gambaran tersebut didapat sebagai hasil pewacanaan para intelektual negara baik teoritisi maupun praktisi atas pembacaan maupun penulisan geografis dalam ekonomi politik internasional. Ada empat karakteristik Wacana geopolitik yang berupa mentalitas geopolitik. Pertama, adalah Visualisasi global, dimana dunia dipandang sebagai satu gambar yang dilihat dari satu sudut yang menguntungkan. Kedua, waktu dipahami dalam konsep ruang, diamana blok/kompleks ruang dipisahkan dan diberi label sesuai atribut periode waktu, relatif terhadap pengalaman sejarah ideal salah satu blok/komplek. Tiga, negara menjadi gambaran utama keruangan global, dengan asumsi bahwa negara memiliki power eksklusif atas wilayahnya (kedaulatan), bahwa hubungan domestik dan luar negeri merupakan bidang yang berbeda, bahwa batasan negara menjelaskan batasan masyarakat. Empat, pengejaran keunggulan oleh negara-negara dominan dalam sistem antar negara, dengan asumsi, bahwa power didapat dari keuntungan lokasi geografis, besar populasi, dan sumber daya alam, bahwa power adalah atribut yang digunakan untuk memonopoli dalam kompetisinya dengan negara lain.

Senada dengan Orde geopolitik, Wacana geopolitik, berdasarkan karakteristiknya, juga terperiode dalam empat Wacana, yaitu Wacana Peradaban (abad 19), Wacana Alami (akhir abad 19 hingga akhir Perang Dunia II), Wacana Ideologi (Perang Dingin), dan Wacana Perbesaran (Post Cold War). Wacana perbesaran ini dapat dilihat pasca Perang Teluk II, dimana pemerintahan Clinton, sebagai salah satu hegemon dunia melakukan perluasan atas komunitas negara yang menerapkan demokrasi pasar. Hal tersebut dilakukan dengan mewacanakan konsep Liberalisme Transnasional dalam diskusi-diskusi pakar, perkuliahan para mahasiswa, dan pemberitaan media massa.

Geopolitik Modern adalah pendekatan yang lebih relevan atas kondisi geopolitik dunia saat ini. Dimana negara-negara terkonsentriskan dalam hegemoni tersendiri, dengan satu rumpun wacana yang sama, globalisasi ekonomi kapitalis. Dimana negara-negara berusaha mencari power relatifnya atas negara lain/hegemon lain, yang terdiri dari komponen fisik dan komponen ide/wacana.

GeoPolitik PostModern
Posmodern didefinisikan oleh Lyotard sebagai keraguan atas meta-narasi (kisah-kisah besar). Tokohnya antara lain Michel Foucault yang mengatakan bahwa power dan pengetahuan memiliki hubungan yang determinis. Ia juga menganggap bahwa tidak ada kebenaran diluar rezim kebenaran, aforismanya adalah “bagaimana sebuah sejarah memiliki nilai kebenaran, apabila kebenaran itu sendiri memiliki sejarah?” Tokoh lainnya adalah Jacques Derrida yang mengkonsepkan dekonstruksi dan pembacaan ganda atas wacana dan teks.

Menurut Robert Rich, di era globalisasi dan transnasionalisme, geometri ekonomi ia gambarkan sebagai jaring-jaring global (Global Webs). Kebangsaan sebuah perusahaan tidak menjadi relevan; power dan kemakmuran mengalir cepat dalam jaring-jaring ekonomi tersebut, melalui efisiensi telekomunikasi dan transportasi. Teknologi informasi yang menciptakan hyper-reality menjadi sangat penting dalam geometri power yang baru.

Lebih jauh, Manuel Castells menyatakan bahwa fungsi dan proses dominan di era informasi adalah jaringan kerja sosial baru (new network society). Jaringan tersebut menentukan morfologi sosial, dan tentu saja merubah secara substansial hasil dan proses bekerjanya produksi, pengalaman, power, dan kebudayaan. Ia juga menyebutkan bahwa kini dunia terskemakan dalam flows-webs-connectivity-network.

Sedikit berbeda dengan teori jaringan Castells, Bruno Latour mengkonsepkan teori Aktor-Jaringan. Menurutnya, dunia ditinggali oleh kolektivitas manusia dan bukan manusia, yang membentuk lebih dari jaringan teknik ataupun sosial. Ilmu geografi, pemetaan, pengukuran, triangulasi, menurut teori aktor-jaringan, tidaklah berguna lagi. Ukuran universal atas kedekatan, jauh, dan skala tidak lagi berdasarkan ukuran-ukuran fisik, akan tetapi konektivitas jaringan. Jika geografi dikonsepkan ulang sebagai konektivitas, bukan lagi ruang, maka ruang sebenarnya yang berasal dari pemikiran tradisional hanyalah salah satu jaringan dari keseluruhan jaringan.

Sementara itu T. Luke mencoba memperiodisasi narasi hubungan manusia dan alam serta perubahan lingkungan dan order. Menurutnya ada tiga periode, yaitu First nature, Second nature, dan Third nature. Dalam first nature, hubungan manusia dan alam tidak dimediasi oleh sistem teknologi yang kompleks. Orde keruangan bersifat organik dan corporeal/hajatul udhowiyyah (sekedar memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh). Hubungan selanjutnya adalah manusia membuat teknologi artifisial melalui industri kapitalisme modern semenjak abad ke 18. Orde keruangan merupakan hasil rekayasa, yang ditandai dengan banyaknya kompleks perangkat keras yang senantiasa berevolusi. Di masa ketiga, orde keruangan dihasilkan oleh sistem saibernetis, segalanya menjadi elektronik dan digital. Hal ini disebabkan oleh kapitalisme yang berkembang cepat dan struktur informasi yang mengglobal. Geografi modern menjadi info-graf posmodern, yang bersifat telemetrik.

Untuk mengkonsepkan Geopolitik Posmodern, Gearód Ó Tuathail mencoba menggabungkan keempat pandangan tersebut guna menjawab lima pertanyaan berikut :

a. Bagaimana menggambarkan ruang global?

Kini dengan kemajuan teknologi yang ada, dunia dapat digambarkan melalui simulasi yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Geografis dan teknologi visualisasi dan simulasi telemetrik lainnya. Kejadian di suatu tempat yang jauh dapat dilihat didengar dan dirasa oleh manusia dan pembuat kebijakan di tempatnya secara langsung. Hal ini disebabkan oleh konektivitasnya dengan teknologi. Kecepatan, kuantitas, dan intensitas informasi menjadi perhitungan utama dalam refleksi dan pembuatan kebijakan luar negeri.

b. Bagaimana ruang global dipisahkan dalam blok indentitas dan perbedaan lainnya?

Pandangan dunia Eucidian yang membatasi dunia dengan batasan fisik, kini tidak relevan lagi, terlebih dengan adanya globalisasi pasar dunia. Dunia hanya bisa dipisahkan berdasarkan glokalisasi jaringan ekonomi produksi dan konsumsi. Hirarki keruangan modern digantikan binaritas keruangan wacana, yaitu liberal dan non-liberal (fundamentalis, revivaris).

c. Bagaimana mengkonsepkan power global?

Power di jaman modern terdiri dari GPS (Geografi, Populasi, dan Sumberdaya Alam). Melalui revolusi teknologi informasi, semuanya berubah menjadi telemetrik. Akhirnya dikenal konsep ISR (Informasi intelejen, Surveilance [observasi detail dari jarak jauh], dan Reconnaissance [Pengenalan ulang obyek]) dan C4I (Command, control, communications, computer processing, dan intelejen) untuk mendapatkan power relatif. Paradoks yang terjadi adalah hal ini akan mendekonstruksi keberadaan negara secara solid, sebab organisasi-organisasi hingga pribadi-pribadi mampu memiliki power tersebut.

d. Bagaimana ancaman global diruangkan dan bagaimana strategi reaksi atas ancaman tersebut dikonsepkan?

Pasca Perang Dingin, makna keamanan dan ancaman ditinjau kembali. Ia bukan lagi berasal dari musuh teritorial dimana konsep containment dan deterrence yang kaku diberlakukan. Ancaman-ancaman yang ada menjadi tidak pasti dan menyebar cepat. Ia muncul bukan dari teritorial, tapi muncul dalam bentuk terrorisme tanpa negara, sabotase, narco-terrorism, korupsi global, wabah penyakit, krisis kemanusiaan, kerusakan lingkungan, proliferasi senjata pemusnah massal, dll. Doktrin geostrategis telah berubah dalam acuan fleksibilitas dan kecepatan, akan tetapi ia masih harus dikompromikan dengan konsep teritorial. Dalam menghadapi ancaman tersebut, diambil kasus Amerika Serikat, dimana ia menerapkan dua konsep strategi pertahanan utama, yaitu kehadirannya diseluruh lautan, dan pameran/peragaan militer. Kedepan, strategi bionik, bahkan cyborgtik akan dikembangkan untuk menangani masalah ini.

e. Bagaimana aktor-aktor utama membentuk identitas dan konsep geopolitik?

Geopolitik kontemporer menggunakan para pemimpin dan elit pemerintahan untuk membentuk kebijakan yang nantinya membentuk identifikasi dan konsep atas geopolitik, yaitu konsep geopolitical-man. Di masa kecanggihan teknologi, dunia akan menyaksikan bahwa kebijakan-kebijakan penting akan diambil oleh kolektif manusia dan bahkan kolektif cyborg dalam sebuah network ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam pandangan saya, geopolitik posmodern akan dirasakan oleh kebanyakan orang, hanya ada di awang-awang alias abstrak, ketimbang geopolitik modern yang memang berdasarkan penilaian rasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, posmodern terlalu membesar-besarkan runtuhnya ekonomi negara, dan globalisasi. Selain itu, ia juga terlalu deterministik dalam menilai perkembangan teknologi, sehingga tidak menilai moral dan nilai dasar manusia yang didapatkannya dalam kehidupan intrapersonal maupun interpersonal. Konsep network pun terlalu dibesar-besarkan apabila ditempatkan diluar konteks ekonomi dan sosial. Atas hal inilah geopolitik modern kemudian banyak dirasakan lebih ‘nyata’ ketimbang pendekatan kalangan posmodern.

Bacaan:
Graham Evans. 1999. The Penguin Dictionary of International Relations. New York : Penguin Books
Alva Myrdal. 1978. The Game of Disarmament. New York : Pantheon Books
Keith B. Payne dan C. Dale Walton. 2001. Deterrence in the Post Cold War World. Fotokopi.
Gearód Ó Tuathail. 1998. Postmodern Geopolitics?. Fotokopi.
Steve Smith dan John Baylis.2001. The Globalization of World Politics. New York : Oxford University Press.
Muhadi Sugiono. 1998. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Putaka Pelajar.

[Rizki Saputro]

Tidak ada komentar: