Cerpen bukan karya ala kadarnya, setiap penulis pasti perna menulis cerpen. karena cerpen bisa menjadi jembakan agar penulis bisa meramu cerita yang lebih besar. Cerpen bukan hanya cerita pendek, tapi juga sebagai wahana penulis menyampaikan gagasan ceritanya dalam sebuah wadah yang komples.
1. Apa Yang Ingin Kamu Ceritakan
untuk membuat cerita tidak harus itu merupakan pengalamanmu sendiri, bisa jadi itu merupakan peristiwa yang terjadi di sekitarmu, coba ubah menurut pandanganmu tersendiri. cerita apa yang bisa kamu buat agar berbeda dengan cerita orang lain.
2. Buat alur cerita dan tokohnya
untuk alur sendiri bisa kamu tentukan berdasarkan tokoh kamu mau kamu bawa kemana, aku di ceritamu sebagai tokoh utama atau sebagai pencerita saja. suatu cerita dalam cerpenmu bisa saja merupakan cerita yang lumrah kamu dengar atau biasa terjadi. tetapi karaker tokoh bisa menentukan bagus tidaknya suatu cerita.
3. Paragraf pertama yang menarik atau ending yang bagus
terserah apa yang kamu mau kedua-duanya juga boleh ending adalah klikmas dari sebuah cerita, tetapi bisa akhir dari urutan cerita yang telah kita buat. awal cerita bisa kita tentukan dari sudut pandang mana yang akan kita pakai. bila sudut pandang orang pertama maka tokoh atau aku yang melalaui peristiwa kita diskripsikan. peristiwa pertama yang kita anggap penting sebagai awal juga bisa kita sajikan.
4.Penyelesaianya dan krisis dalam cerita kita
umumnya penyelesaian cerita bergantunga penulis sendiri tapi mengenai krisis dalam cerita, umumnya penulis di indonesia kurang dalam bisa menulis krisis yang komples dalam cerpen. memang karena keterbatasan ruang apabila terlalu panjang bisa saja menjadi mini novel. krisis adalah bumbu dalam cerita kita karena tokoh harus menghadapi sebuah masalah yang mesti dihadapi
Apakah doa punya aroma? Setiap kali
pertanyaan ini datang menggoda, aku akan teringat seorang tukang doa
yang setia di masa kecilku. Entah mengapa, tiap kali mengingatnya, lafaz
doa serasa bangkit bersama aroma yang membubung dari hidung ke dalam
batin.
Adalah Bilal Jawad, lelaki setengah baya yang sudah dianggap sebagai
tukang doa keluarga di kampungku lantaran kesetiaannya mendatangi kami
pada hari baik bulan baik. Ya, sepekan menjelang bulan puasa, Bilal
Jawad akan datang ke kampung kami. Ia tiba selepas siang, dan kembali
semalam-malam hari ke rumahnya di kampung lereng bukit. Sebenamya dia
berasal dari kampung kami juga, tetapi menikah di kampung sebelah.
Bahkan, ia termasuk kerabat ayahku, karena itu aku dan adikku
memanggilnya Pak Uwo.
Di kampung istrinya, ia dipercaya sebagai bilal. Suaranya lengking
dan panjang, pas belaka dengan keadaan kampung yang berbukit-bukit.
Karena itu, tugasnya sebagai muazin tak tergantikan. Nah, di antara itu,
Bilal Jawad punya tugas yang juga tak tergantikan di kampung kami:
memimpin doa menyambut Ramadhan!
Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami menyambut Ramadhan dengan
cara menggelar doa di tiap rumah. Ada beberapa tukang doa yang bisa kami
panggil, tetapi yang paling akrab Bilal Jawad. Tinggal menyesuaikan
jadwal, maka setiap rumah mendapat giliran didatanginya. Kami akan
memasak yang enak-enak: rendang, gulai ayam, goreng itik, kalio jengkol,
ikan panggang. Semua itu dihidangkan sehabis berdoa.
Bilal Jawad mencatat jadwal tahunan itu dengan rapi, buktinya tak
sekalipun ia alpa atau lupa. Boleh jadi karena ia sekalian berziarah ke
makam orangtua, menjenguk kerabat dan menengok rumah kelahirannya. Di
rumah yang ditempati keponakannya itulah ia beristirahat, sembari
menunggu panggilan memimpin doa.
Ia akan datang ke rumah orang yang memanggilnya dengan naik sepeda
ontel. Ia kenakan peci beludru, celana panjang katun serta kemeja lengan
panjang. Meski bukan bahan yang mahal, tetapi rapi terawat. Dan, lebih
dari itu menjadi penampilannya yang khas.
Dia biasa mengunjuk salam sejak dari halaman disertai dentang lonceng
sepeda tiga kali. Bila salam berjawab salam, maka naiklah ia ke atas
rumah, duduk di tikar pandan, tempat ia bersiap memimpin doa.
Ia akan bertanya kepada si tuan rumah, apa-apa hajat hendak
disampaikan, buat siapa doa dikirimkan. Tuan rumah akan berkata, ini doa
hari baik bulan baik, semogalah lancar segala ibadah, didatangkan
berkah bagi seisi rumah. Terucap pula nama-nama yang sudah tiada,
al-marhum-almarhumah, jika sempit kuburnya mohon lapangkan, jika gelap
minta terangkan. Lalu harapan supaya anak-anak lancar bersekolah, padi
di sawah jauh dari hama, mereka yang di rantau bisa pulang berlebaran
tahun ini dan berbagai pinta lagi.
Demikian halnya Bilal Jawad, ia sangat bertanggung jawab. Ia
menyambut permintaan dan harapan itu dengan air muka yang yakin.
Katanya, Allah Azza Wajalah menyuruh hamba berdoa, dan Dialah Maha
Pengabul Segala Pinta. Si tuan rumah serentak menyambut. “Aaa-
miiiin..!!” bahkan sebelum doa dimulai.
Bilal Jawad membawa kemenyan sendiri di dalam saku celananya—bentuk
tanggung jawabnya yang lain. Jika tuan rumah lupa atau sedang tak punya,
ia akan mengeluarkan kemenyan simpanannya itu tanpa diminta. Ke dalam
bara api di atas loyang, kemenyan dibubuhkan, maka membubunglah asapnya
yang wangi mengiringi doa ke langit tinggi.
***
Bacaan doa Bilal Jawad sangat fasih. Sayup dan terang ganti-berganti,
seolah kata-kata suci itu telah terbang menjauh meninggalkan kami yang
duduk bersila, tetapi lalu kembali lagi ketika lafaznya dikeraskan. Doa
yang dirapalnya terbilang panjang dan lengkap, ibaratnya dari A sampai
Z. Setengah bergurau, orang kampungku biasa berkata, “Berdoa bersama
Bilal Jawad serasa doa setahun diringkas satu hari, semua permintaan
ada.”
Setelah doa selesai, dilanjutkan makan bersama. Seketika denting
piring dan gelas menggantikan keheningan. Namun, Bilal Jawad makan ala
kadarnya, sebab ia akan makan di tiap rumah. Jika sehari ia datangi
empat atau lima rumah, maka berapa piring makanan yang harus ia
habiskan? Karena itu, ia mengatur porsinya sedemikian rupa, sebab jangan
sampai pula di satu rumah ia tak makan. Bisa kecil hati si tuan rumah.
Membesarkan hati orang lain itu baik. Toh sisa makanan enak-enak itu
selanjutnya akan kami gasak adik-beradik.
Sebelum turun jenjang, ayah-ibu kami biasa menyelipkan lembaran uang
ke tangan Bilal Jawad, juga ala kadarnya. Ia ucapkan terima kasih sambil
memasukkan uang itu ke dalam kantong celananya, kantong yang sama
tempat ia menyimpan kemenyan.
Konon, uang yang disimpan di kantong celana Bilal Jawad bukan saja
ikut berubah wangi, tetapi juga dianggap membawa berkah. Entah siapa
yang memulainya. Boleh jadi awalnya dari gurauan, tetapi lambat-laun
membesar dan diyakini, terutama kalangan anak-anak. Seperti kami yang
selalu membayangkan aroma uang yang keluar dari sakunya. Kami senang
mengendus-endus uang kertas yang kami miliki. Mana tahu beraroma saku
Pak Uwo.
Maka, ketika tercium bau wangi, aku berteriak, “Uang Bilal Jawad!”
“Uang Pak Uwo!” kata adikku membetulkan kelancanganku.
“Ya, Pak Uwo Jawad,” ulangku.
Kami berebut menciumnya. Namun, ternyata bau rokok pertanda uang itu
dari saku ayah. Atau bau rampai pertanda ibu menyimpan uang itu di balik
bantal. Ini menambah rasa penasaran kami untuk memburu uang dari saku
sang Bilal.
***
Sepanjang petang hingga malam, Bilal Jawad bisa berdoa di atas tiga
hingga lima rumah. Ia akan diberitahu jadwal berdoa terlebih dahulu oleh
keluarga yang mengundangnya. Bilamana tiba giliran kami mendoa, maka
tugasku memberitahu Pak Uwo.
Lebih sering ia kudapatkan di belakang berkeliling melihat pohon
kelapa peninggalan orangtuanya. Kadang membersihkan beluntas,
membetulkan pancang kedondong, mengasah pisau, atau memperbaiki payung.
Itu cara dia mengisi waktu. Kalau aku datang, ia akan mengusap kepalaku
dan kurasakan ada berkah terselubung menaiki puncak ubunku.
Ia bertanya bagaimana sekolahku. Rasa simpatinya membuatku bisa tanpa
beban bercerita bahwa aku senang pergi ke muara tempat berlabuh kapal
ikan. Aku memungut ikan yang tercecer, meski Paman Markis—Pak Uwo-ku
yang lain—sering memarahiku.
“Tujuan Paman Markis-mu baik,” katanya. “Kalau kau sudah merasakan
uang dari menjual ikan, kau tak akan mau sekolah. Kau akan mencari ikan
terus, mencari uang terus.”
Nasihatnya sejuk. Bau ikan di muara tiba-tiba terasa menusuk
hidungku, membuatku tak mau lagi ke muara. Padahal, sebelumnya Paman
Markis selalu gagal mencegahku.
Suatu hari menjelang bulan puasa, entah tahun berapa dari masa
kanakku, aku menjemput Pak Uwo Jawad lagi. Kali itu aku menemukannya
sudah berpakaian “dinas” dan bersiap menuntun sepedanya. Karena itu. ia
mengajakku sekalian boncengan.
Aku bilang ibu pasti belum siap. “Tadi kata ibu berdoanya habis magrib, Pak Uwo. Sekarang gulai ibu belum masak.”
Pak Uwo tersenyum. “Tak mengapa, kita berdoa dulu ke rumah yang lain. Kau, kan, sudah memakai celana panjang,” katanya.
Memang bila menjemputnya aku selalu disuruh ibu berpakaian rapi,
bahkan memakai peci. Kata ibu, selain menghormati orang yang akan
memimpin doa, itu bisa membawa berkah. Dan, ibu benar. Buktinya aku
diajak Pak Uwo berdoa ke rumah yang lain.
Kami melaju di atas sepedanya menuju rumah Etek Marianis. Sepanjang
jalan aku menghirup aroma yang wangi dari punggung baju Pak Uwo. Jiwaku
serasa membubung. Kucari-cari aroma yang pernah hinggap di hidungku.
Tetap saja aku merasa tak ada aroma yang menyamainya. Itu campuran
menyan, asap, bahkan keringat di lengan baju yang bersitahan mengulurkan
telapak tangan ke langit.
Belum habis rasa senangku menghirup aroma punggungnya yang agak
bungkuk, laki-laki itu sudah menghentikan laju sepeda. Ia bunyikan
lonceng tiga kali.
Teng! Teng! Teng!
Dari halaman rumah Etek Marianis yang luas, ia sebar salam ke arah
jenjang. Etek Marianis tersenyum manis menyambut kami. Dia sudah tahu
bahwa aku anak Si Anu dan ponakan Bilal Jawad, jadi tak ada pertanyaan
apa-apa saat ia melihatku.
Kami langsung masuk dan duduk di tikar pandan. Seperti biasa, sebelum
berdoa, Etek Marianis menyebut harapannya. Selain menyambut bulan puasa
dan mengirim doa untuk leluhur, ia juga berharap suaminya yang masih di
Malaysia bisa pulang sebelum Lebaran.
Aku ucapkan “Aaamiiinnn…” dengan suara keras, seolah menyatakan bahwa diriku ada bersama pemimpin doa. Pak Uwo-ku!
Karena Etek Marianis tak punya kemenyan, maka Pak Uwo mengeluarkan
kemenyan dari sakunya. Kemudian ia taburkan ke atas bara di loyang. Dan,
begitu bara ditiup, asap membubungkan aroma yang tak terkatakan. Unit
sarafku berdenyar. Dadaku penuh. Waktu terasa singkat. Mataku terpejam,
dalam, dalam….
Aku baru tersadar ketika seisi rumah bilang “Aamiiiin…” dan tuan rumah mempersilakan kami makan.
Pak Uwo dipersilakan menyanduk nasi lebih dulu. Nasi putih
dari beras baru, wangi dan pulen. Pak Uwo menaruh sepotong ikan kakap di
piringku. “Kau suka ini, kan?” katanya.
Aku mengangguk.
“Makan yang kenyang, Kudal,” kata Etek Marianis. Gulai ikannya enak,
tetapi aku malu-malu, apalagi Pak Uwo makannya sedikit dan mencuci
tangan lebih dulu.
“Di rumah nanti juga mendoa, Tek,” kataku.
“O, mintalah supaya cita-citamu tercapai, Nak,” kata Etek Marianis lagi.
Selesai makan, kami lalu pamit, pindah ke rumah yang lain.
Dan, begitu pula: berdoa, makan, pergi.
Hanya di rumah yang ketiga, si tuan rumah menganggap aku anak Pak
Uwo. Dia memang orang baru di kampungku, meskipun beberapa kali diundang
berceramah dan mengisi pengajian di kecamatan. Namanya Baihaqi, usianya
separuh usia Pak Uwo. Ia orang kota yang menikah dengan perempuan
kampung kami. Maryanti, yang pernah kuliah di kota provinsi. Wajar Om
Baihaqi tak tahu siapa aku, bahkan Uni Mar pun lupa padaku. Mereka baru
pindah setelah ibu Uni Mar meninggal menyusul sang ayah, kemudian mereka
melanjutkan usaha keluarga membuat kerupuk ikan.
Di rumah ini pula, untuk pertama kalinya aku bertemu tuan rumah yang
menolak membakar kemenyan, meskipun Pak Uwo bilang, “Ini sekadar
harum-haruman.”
Baihaqi bergeming, sambil bergumam, “Bagaimanapun, kami takut bidah, Engku.”
Pak Uwo hanya tersenyum, dan tentu saja doa tetap lancar. Entah dalam
hatinya ada yang mengganjal, aku tak tahu. Untuk mencairkan suasana,
selesai berdoa, Om Baihaqi memberi kami kerupuk ikan. Sebelum melaju,
kerupuk itu kami gantung di setang sepeda. Lalu Pak Uwo bersenandung
sepanjang jalan, yang kelak kuketahui itu selawat nabi.
***
Rumahku yang keempat didatangi Pak Uwo hari itu. Sebelum membunyikan
lonceng sepeda, ia rogoh saku bajunya. Selembar uang seribuan ia
keluarkan. “Ambil,” katanya.
Aku terkaget takjub mendapatkan uang keberuntungan langsung dari Sang
Bilal. Meski bukan dari saku celana tempat kemenyannya tersimpan,
tetapi apa bedanya? Seluruh pakaian dan tubuh pendoa seperti Bilal Jawad
bagiku sama diselubungi aroma doa.
Aroma itulah yang selalu menggodaku di rantau orang, setiap memasuki
bulan Ramadhan. Ya, sudah bertahun-tahun aku hidup merantau, sudah
banyak aroma kucium di tengah doa-doa yang dipanjatkan. Aroma setanggi,
harum lilin, hio, dupa, dan bunga-bunga. Di antara semua itu, aroma doa
Bilal Jawad tak pernah padam, tak lampus diterkam waktu.
Karena itu, aku bergembira kali ini sebab berkesempatan pulang
menyambut bulan puasa, sekalian menjenguk ayah-ibuku yang sudah tua. Aku
akan berdoa bersama mereka, dipimpin tukang doa kami yang istimewa.
Namun, betapa aku kecewa mendengar kabar dari adikku. “Sudah lama Pak Uwo tak memimpin doa,” katanya.
“Kenapa begitu?” tanyaku heran. “Kurasa ia masih kuat menggayuh sepeda…”
Adikku menjelaskan bahwa Bilal Jawad sudah tidak diperkenankan
membakar kemenyan saat berdoa setelah Ustaz Baihaqi diangkat jadi
imam-khatib yang baru di kampungku. Bagi Bilal Jawad soalnya tentu bukan
sebatas larangan itu, tetapi menyangkut harga diri. Entah cara yang ia
terima menyinggung perasaan, merasa dipaksa atau yang lain.
Yang jelas sejak itu ia tersisih atau menyisihkan diri di kampung
lereng bukit. Namun, aneh, mendengar kabar miring itu, lafaz dan aroma
doa Bilal Jawad tiba-tiba membubung di pucuk hidung dan menyusup ke
dalam batinku. Sejuk mewangi. Menyepuh langit tinggi.
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Buku cerpennya antara lain Ziarah bagi Yang Hidup (2004) dan Parang tak Berulu (2005). Mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akur Indonesia di Yogyakarta.
Candi
Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan,
Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Kompleks Candi Sewu secara
geografis terletak pada Koordinat 07°44'38,8" LS - 110°29'34,2" BT.
Pendirian Candi Sewu ini didasarkan pada prasasti Manjusrigrha yang
menyebut angka tahun 714 Saka atau 792 Masehi, berhuruf Jawa Kuna,
berbahasa Jawa Kuna dan Sanskerta dikeluarkan pada masa pemerintahan
Rakai Panangkaran. Latar belakang keagamaan Budha Mahayana, hal ini
berdasarkan pada 46 arca Dhyani Budha dan 4 arca Bodhisattwa. Dalam
agama Budha, tokoh-tokoh tersebut berkedudukan sebagai dewa disebut
dengan istilah Jinna, Tataghata atau Dhyani Budha, dan Bodhisattwa.
Sifat keagamaan Buddha juga tampak pada bagian kemuncak atap dan
hiasan-hiasan atap yang berbentuk stupa.
Berada
dalam lingkungan Taman Wisata Candi Prambanan, Candi Sewu merupakan
suatu kompleks percandian yang terdiri atas 249 bangunan candi yang
berupa satu buah Candi Induk, delapan Candi Apit, dan 240 buah Candi
Perwara. Pola susunan cnadi Sewu adalah konsentris yaitu bangunan utama
atau Candi Induk dikelilingi oleh Candi Perwara dengan orientasi timur –
barat – utara – selatan. Sedang di dalam kompleks candi terdapat
delapan buah arca Dwarapala besar lebih kurang setinggi 295 cm, yang
diletakkan pada empat penjuru pintu masuk halaman kedua, masing-masing
pintu terdapat sepasang Dwarapala dengan posisi saling berhadapan.
Candi
Induk terletak di halaman I yang memiliki satu bilik utama dengan
empat buah bilik penampil yang masing-masing mempunyai pintu masuk.
Pintu masuk bilik penampil sebelah timur sekaligus berfungsi sebagai
pintu menuju bilik utama candi induk. Halaman I ini dibatasi oleh pagar
keliling berdenah bujur sangkar, arah hadap ke timur. Selanjutnya pada
halaman II terdapat Candi Perwara dan Candi Apit. Candi Perwara
disusun dalam empat deret membentuk empat persegi panjang yang
konsentris. Deret 1, 2, dan 4 mempunyai arah hadap keluar atau
membelakangi candi Induk, sedangkan candi perwara deret 3 menghadap ke
barat atau arah berhadapan dengan Candi Induk. Candi Apit terletak di
antara candi perwara deret 2 dan 3, masing-masing sepasang di setiap
penjuru dengan posisi saling berhadapan.
Daftar Motif : SEW 01
Motif : Antefiks
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Motif Utama
Daftar Motif : SEW 02
Motif : Kertas tempel pita
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 03
Motif : Tirai pita dan burung
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 04
Motif : Gana
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Motif Utama
Daftar Motif : SEW 05
Motif : Belah ketupat
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 06
Motif : Kala dan untaian mutiara
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 07
Motif : Persegi
Letak : Atap Candi Induk
Batik : Tepian
Daftar Motif : SEW 08
Motif : Kertas tempel pita
Letak : Tubuh Candi Induk
Batik : Tepian dan Isen isen
Daftar Motif : SEW 09
Motif : Kertas tempel bentuk lingkaran dengan isian flora dan fauna
Letak : Tubuh Candi Induk
Batik : Motof utama, tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 10
Motif : Tirai pta dan burung
Letak : Tubuh Candi Induk
Batik : Tepian dan Isen isen
Daftar Motif : SEW 11
Motif : Gana
Letak : Tubuh Candi Induk
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 12
Motif : Jaladwara dengan tokoh manusia
Letak : Tubuh Candi Induk
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 13
Motif : Singa
Letak : Tubuh Candi Induk
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 14
Motif : Purna kalasa dengan burung
Letak : Kaki Candi Induk
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 15
Motif : Tirai pita dan ceplok bunga
Letak : Kaki Candi Induk
Batik : Tepian
Daftar Motif : SEW 16
Motif : Antefiks
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 17
Motif : Bulat - persegi (stupa atap)
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Tepian
Daftar Motif : SEW 18
Motif : Purnakalasa
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Tepian
Daftar Motif : SEW 19
Motif : Selur gelung
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Motif utama, tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 20
Motif : Ceplok bunga
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Isen-isen
Daftar Motif : SEW 21
Motif : Kala dan pita
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 22
Motif : Sulur gelung vertikal
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Motif utama dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 23
Motif : Kala
Letak : Atap Candi Perwara no 72
Batik : Motif utama
Daftar Motif : SEW 24
Motif : Tirai
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Tepian
Daftar Motif : SEW 25
Motif : Bulat persegi
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 26
Motif : Kertas tempel vertikal
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 27
Motif : Sulur gelung Vertikal
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Tepian dan isen-isen
Daftar Motif : SEW 28
Motif : Gana
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Motif Utama
Daftar Motif : SEW 29
Motif : Garuda
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Motif Utama
Daftar Motif : SEW 30
Motif : Tirai
Letak : Atap candi apit no 8
Batik : Motif Utama
Daftar Motif : SEW 31
Motif : Hiasan lampu dengan ragam hias lidah api, padma, kalama kara, relief candi
Letak : Tubuh candi perwara (hiasan lampu)
Sumber tulisan Asli;http://batikcandi.blogspot.co.id/2011/11/ragam-hias-candi-candi-prambanan.html
BAHASA SASTRA INDONESIA, bahasa Indonesia dan Bahasa Sastra Indonesia adalah hal yang sama. Tapi meliki perbedan Juga. bahasa sebagai bagian alat komunikasi memilik keterbatasan yang ditentukan oleh makna yang dapat diterima pendengarnya. sedangkan bahasa sastra adalah bahasa yang dimodifikasi oleh penulisnya untuk memenuhi estetika yang diinginkan pada karya sastra.
Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu: keseluruhan
ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra: cara khas dalam menyatakan pikiran
dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan ( Hasan dalam Murtono, 2010:15). Gaya bahasa yang diapakai bersifat individu dan dapat juga
bersifat kelompok. Gaya bahasa yang bersifat individu disebut idiolek,
sedangkan yang bersifat kelompok (masyarakat) disebut dialek.Sudjiman (1998: 13) menyatakan bahwa
sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam
lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara
menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud
tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan
teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau
pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Bahasa Sastra adalah bahasa yang universal, umumnya bahasanya mudah dimengerti oleh orang bahkan hampir semua masa. meski para karya satrawan hidup di budaya pada zamanya. kaedah penulisan juga menyesuaikan jamanya juga. mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan pondasi dalam pengajaran Bahasa yang baik dan benar.
"Pelajaran bahasa Indonesia hanya sebagai pelengkap penderita,"
katanya melanjutkan. Perumpamaan ini ia gunakan untuk mengungkapkan betapa
repotnya mengajarkan bahasa Indonesia kepada para siswanya yang sehari-hari
hidup di dunia digital. Bahasa Indonesia bukan hanya terdesak oleh kosakata bahasa asing, tapi juga
ditantang habis-habisan oleh budaya komunikasi dunia digital yang sering kali
tak peduli kaidah. Kebiasaan siswa bicara lewat pesan pendek (sms) dan Facebook tetap terbawa
ketika mereka berbicara dalam situasi resmi, misalnya diskusi di kelas.http://intisari.grid.id/read/03113701/repotnya-berbahasa-indonesia-di-era-bahasa-alay?page=all Tetapi kaummuda sekarang lebih mementingkan gaya daripada bahasa dengan kaedah yang baik dan benar. Akibatnya bisa melakukan kegiatan formal seperi diskusi di instasi pendidikan maka kebiasaan buruk ini akan berlanjut.