Rabu, 21 Januari 2009

Albert Camus""Orang Aneh"

 

Ketika kami hidup bersama, ibu selalu memperhatikan aku, tapi kami hampir-hampir tidak bicara. Pada minggu-minggu pertamanya di wisma, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menangis. Tapi hal itu hanya karena ibu belum merasa betah. Setelah dua atau tiga bulan kemudian ia akan menangis justru bila dikatakan bahwa ia akan meningalkan wisma itu. Dan hal tersebut yang menyebabkan kesedihan bagi dirinya. Itulah sebabnya selama tahun terakhir belakang ini aku jarang melewatkan hari mingguku, kesulitan-kesulitan pergi ke tempat bis, sulitnya mendapatkan karcis, dan dua jam yang membosankan sepanjang perjalanan. (6)
 ”Baiklah, aku meningalkan Anda di sini, Tuan Mersault. Bila anda membutuhkan sesuatu, aku akan berada dikantor. Kami mengatur penguburan besok pagi. Dengan demikian anda memiliki kesempatan semalam suntuk berada didekat keranda ibumu, sesuatu yang tentu sangat kau harpakan. Satu hal lagi. Dari keterangan beberapa teman ibumu, ibumu mengharap agar dikebumikan dengan upacara gereja. Aku telah mengatur sesuatunya, kukira pantas kesampaikan pada anda.”
 Aku mengucapkan terima kasih. Sepanjang yang kuketahui, walaupun ibu sesunguhnya bukan atheis, tapi tidak perna memikirkan soal-soal agama dalam kehidupanya.(7)
 Sesaat kemudian seorang penjaga muncul di belakangku. Rupanya ia datang dengan tergesa-gesa karena nafasnya tersengal-sengal. ”Tadi kami telah menutup keranda itu, tapi ketika dikabarkan bahwa Anda akan datang, sekrup-sekrupnya kami lepas agar Anda dapat melihatnya.” ketika ia mendekati keranda itu, kukatakan agar ia jangan menjamahnya.
 ”Apa? Apa Maksudmu?” teriaknya.
 ”Apakah kau tidak ingin agar aku...”
 ”Jangan!” kataku.
 Ia memasukan kembali kunci sekrup ke dalam kantongnya lalu memandang kepadaku. Aku sadar kini bahwa seharusnya tidak melarang dia. Aku jadi kikuk. Setelah beberapa lama memandang padaku ia berkata:
 ”Kenapa tidak?” Tapi suaranya tidaklah seperti bersungguh-sunguh, ia hanya ingin tahu.
 ”Entahlah, aku betul-betul tidak bisa menjawapnya,” jawapku. Ia memutar-mutar kumisnya yang sudah memutih lalu berujar dengan suara lemah:
 ”Aku mengerti.”(8)
 Ia menyarankan padaku agar aku ke kamar makan untuk makan malam, tapi aku tidak lapar. Lalu ia menawarkan semangkok cafe au lait. Aku mengucapkan terima kasih. Karena aku senang pada cafe au lait. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan sebuh baki. Kopi kuminum, lalu aku ingin merokok. Tapi aku bimbang sejenak, apakah aku pantas merokok dalam suasana seperti itu, di mana manyat ibuku terbaring di sana. Aku mempertimbangkanya lagi, dan sungguh hal itu tidaklah akan menjadi masalah. Aku menawarkan sebatang rokok pada penjaga itu, lalu kami berdua merokok.(11)
 Ketika mereka akan duduk, mereka memandang padaku seperti ingin memberi hormat. Sementara bibir-bibir mereka seperti dihisap di antara gusi-gusi yang sudah tidak bergigi lagi. Tak bisa kupastikan apakah dengan sikap itu mereka memberi hormat kepadaku dan mencoba mengucapkan sesuatu ataukah memang sikap demikian khas dimiliki oleh orang-orang tua. Aku sendiri cenderung berpendapat bahwa mereka memberi hormat padaku bila melihat sikap mereka itu. Tapi ada suatu perasaan asing bila melihat orang-orang tua itu berkumpul di sekitar penjaga pintu dan dengan tenang sayu memandang padaku sambil sesekali kepalanya miring ke kiri dan ke kanan. Sejenak bersemi kesan absurd dalam diriku, seakan-akan mereka datang dan duduk disitu untuk mengadili aku. Beberap menit kemudian salah seorang di antara wanita-wanita tua itu mulai menangis. (13 )
 ”Udara begitu panas hari ini, bukan?”
 ”Ya,” jawapku.
 Sejurus kemudian ia bertanya: Yang kita kubur hari ini ibumu, bukan?”
 ”Ya,” aku menjawap lagi.
 ”Berapa umurnya?”
 ”Kurang pasti berapa, tapi ia sudah tahu memang,” Dan sesungguhnya aku tidak tahu pasti umurnya berapa.(21)  
 Ia memandang pada dasi hitam yang kuakai dan apakah memang aku berada pada suasana berkabung. Kujelaskan apakah memang aku berada pada suasana berkabung. Kujelaskan tentang kematian ibuku. ”kapan,” tanyanya dan kujawap: Kemarin.” Ia tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun kupastikan ia agak terkejut. Ingin kujelaskan bahwa itu bukanlah kesalahanku tapi kubatalan dan teringat betapa tololnya katika hal seperti itu kukatakan pada majikanku. Tapi –tolol atau tidak ---kukira seseorang tentulah sedikit-sedikitnya tidak merasa bersalah.(27)
 ”Demikianlah, aku tahu bahwa ada suatu permainan kotor di belakangku dan kukatakan padanya. Tapi mula-mula kuberika tepat berteduh yang baik padanya dan memberikan sekedar nasihat. Kukatakan bahwa cuma satu hal yang menarik perhatianya, yaitu tidur dengan berbagai lelaki bila ia mempunyai kesempatan. Dan langsung kuperingatkan dia: ’Pada suatu hari kau akan menyesal, kekasihku, dan kau akan kembali padamu, iri pada keberuntunganmu, karena aku menjamin hidupmu dengan baik’.”
 Ia telah memukul perempuan itu sampai berdarah, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. ”Tapi tidaklah begitu keras, hanya karena rasa gemas. Ia memekik dan cepat-cepat aku menutup jendela. Dan, seperti biasanya, hal itu berakhir begitu saja. Tapi saat ini aku sudah putus dengan dia. Cuma, menurut perasaanku, belum cukup aku menghukum dia. Kau mengerti apa maksudmu?”(41).
  Seberkas cahaya terpantul dari pisau itu dan kuraskan seperti sebilah benda tajam panjang menghujam pada dahiku. Pada saat itu juga keringat hangat yang terkumpul di alis mengucur membasahi mataku. Mataku seperti buta. Namun aku masih sadar akan cahaya matahari yang menghantam kepalaku dan cahaya mengkilat pisau yang dipegang oleh orang arap itu. 
 Lalu segala sesuatunya berputar di depan mataku, angin kencang berhembus dari arah laut, langit seperti terbelah dan nyala api seperti tercurah dari curah belahan itu. Tiap saraf dalam tubuhku mengencang dan pistol kuat kupegang pelatuk kutarik dan gangang pistol itu terasa mendepak dalam telapak tanganku. Dan demikianlah—dengan suara yang nyaring dan membahana—segala sesuatu bermula. Aku mengusap keringat dan menghidar cahaya. Aku tahu, keseimbangan dan kedamaian hari itu telah aku hancurkan sesungguhnya mengahncurkan kedamaian yang meliputi pantai di mana aku perna merasa bahagia. Masih aku menembakan empat butir peluruh lagi kerah tubuh orang Arap itu yang tidak meningalkan bekas yang dapat dilihat. Dan tiap butir peluru yang kutembakan itu rupanya adalah gedoran yang semakin keras terhadap pintu kehidupanku yang akan datang.(79)
 Sambil duduk ditempat tidurku, ia memberitahukan bahwa mereka melakukan penyelidikan tentang kehidupan pribadiku. Mereka telah mengetahui bahwa ibuku baru-baru ini telah meninggal baru-baru ini di wisma Orang Jompo. Penyeledikan dilakukan di Marengo dan polisi menerangkan bahwa aku telah memperlihatkan”kekerasan hatiku” pada saat penguburan tersebut.(85)
 Ia melanjutkan pertayaanya dengan menanyakan apakah aku merasa sedih pada ”peristiwa menyedihkan” itu. Pertayaan ini mengagetkan aku. Kedengaranya asing di telingaku. Aku tentulah akan merasa malu bila pertayaan seperti itu kuajukan kepada orang lain.
 Kujawap dengan mengatakan bahwa pada tahun-tahun terakhir ini aku sudah tidak dapat mencatat dan menghayati apa yang kurasakan dan sangat sulit bagaimana aku menjawab. Dengan jujur saja kukatakan bahwa aku sangat menyenangi ibuku—tapi apakah hal ini banyak artinya? Semua orang normal---kataku menambahkan---tentunya memilki perasaan akan perasaan berpisah dengan orang-orang yang dicintai berupa kematian pada suatu hari.
 Ahli hukum itu mencegat ucapanku dengan mata agak membelalak.
 ”Kau harus berjanji padaku untuk tidak mengatakan hal itu didepan pengadilan atau di depan jaksa penutut.”
 Aku berjanji. Dan itu hanya untuk memuaskan hatinya—tapi kujelaskan pula kondisi fisikku pada waktu-waktu tertentu sering mempengaruhi perasaanku. Seperti umpamanya pada upacara penguburan ibuku aku betul-betul bosan dan jemu dan setengah tertidur. Aku betul-betul tidak bisa menghayati apa yang sedang terjadi. Namun demikian aku masih menyakinkan dia: bahwa rasanya ibuku belum meningal.(86)
Aku merasa lelah mengulang cerita yang sama dan aku tahu baru kali itulah aku berbicara begitu banyak selama hidupku.(89)
 Aku berpikir sejenak, lalu menjelaskan masalah tembakan itu tidaklah berturut-turut. Mula-mula aku menembak satu kali dan sejenak kemudian baru menembak empat kali.  
 ”Kenapa kau berhenti antara tembakan pertama dan kedua?”
 Ak seakan-akan melihat cahaya terik pantai mengambang di depan mataku dan merasakan bagaimana nafasku turun naik dengan cepatnya, sunguh, sunguh, aku tidak menjawap pada waktu itu.
 Ruang itu menjadi hening, sementara ia nampak agak gelisah, sambil mengusap-usap rambutnya lalu duduk lagi. Akhirnya ia memandang padaku dengan ekspresi wajah yang aneh.
 ”Tapi kenapa, kenapa kau terus menmbak orang yang sudah tidak berdaya?”
  Lagi-lagi aku tidak menemukan jawapanya.
  Sambil memegang dahinya, jaksa pembantu mengulang lagi pertayaanya
  dalam nada suara yang agak berbeda. 
  ” Aku tanya kenapa?! Aku mendesak agar kau menjawap.”
  Aku tetap diam.(90)
  ”Semua penjahat yang diseret ke depanku selama ini akan menagis tersedu-sedu bila mereka melihat lambang penderitaan Tuhan kita ini.”
 Sebenarnya aku ingin menjawap dengan mengatakan”justru karena mereka memang penjahat”. Tapi cepat kusadari, bahwa aku juga berada ditempat itu dalam lukisan yang serupa. Setidak-tidaknya itu merupakan suatu ide yang tidak perna kusemaikan.(93)
 Ada sesuatu yang betul-betul membosankan aku pada akhir-akhir ini: kebiasaanku untuk berpikir seperti orang meredeka. Misalnya, keinginanku yang muncul secara tiba-tiba untuk pergi berenang kelaut. Atau ini: sekadar ingin mendengar suara tapak-tapak kakiku sementara aku melangkah, rasa lembut air yang jatuh dan mengering di badanku begitu aku keluar dari air dan perasaan yang nyaman dan lega kubawa pulang, semuanya masih terus mengoda diriku, mengetar ke seluruh sel-sel tubuhku.
 Tapi sayang, fase kehidupan seperti itu hanya berlangsung beberapa bulan. Kemudian aku harus mengantikanya dengan pikiran seorang tahanan. Antara lain, bagaimana rasanya menantikan saat bisa berjalan-jalan di halaman penjara atau kunjungan pengacaraku. Aku ingat salah satu buah pikiran ibuku---yang selalu didengung-dengungkan--:seseorang haruslah berusaha membiasakan dirinya pada sesuatu.(102)
 Sepanjang hari aku merasa pusing dan menjadi pemarah. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa aku dilarang merokok, bukanlah hal itu tidak mengagangu orang lain? Tapi akhirnya aku mengerti maksud larangan itu: perasaan kekurangan atau tidak memiliki sesuatu itu adalah bagian dari hukuman. Dan sejak aku mengerti masalahnya, merindukan akan sesuatu itu berangsur-angsur hilang dan hal itu berhenti menjadi bagian dari hukuman.
 Kecuali perasaan kekurangan atau tidak memiliki sesuatu itu, aku tidaklah bahagia. Ditambah lagi masalah utamanya: bagaimana mengisi waktu. Tapi begitu aku belajar bagaimana mengigat sesutu, maka tak ada waktu lagi di mana aku menjadi bosan. Pelajaran yang aku peroleh adalah: walaupun sehari saja kita perna hidup diluar, seseorang akan mudah hidup 100 tahun dalam penjara. Ia telah menyimpan cukup ingatan untuk tidak menjadi bosan. Tapi, jelas dari segi pandangan yang lain, ini merupaka suatu kompensasi barangkali.
 Dan... masalah tidur! Mula-mula aku sulit tidur dan disiang hari aku sama sekali tidak bisa tidur. Tapi berangsur-angsur aku bisa tidur nyeyak dan aku berusaha mencukupi masa tidurku pada siang hari. Kenyataan, dalam bulan-bulan ter-(105) akhir ini aku bisa tidur selama 16-18 jam sehai semalam. Dan waktu yang hanya 6 jam, kuisi dengan waktu untuk makan, istrirahat, mengenang sesuatu dan ...sejarah Cekoslovakia!(106)
 Atas pertanyaan yang lain, ia menjawap bahwa pada hari penguburan ibuku, ia merasa heran melihat aku begitu tenang. Ia ditanya apa yang maksud dengan ” aku begitu tenang”. Ia menundukan kepala dan memandang keujung sepatu untuk beberapa saat. Kemudian ia jelaskan, bahwa aku tidak ingin melihat mayat ibuku atau tidak menitikan air mata walau setetes dan bahwa aku segera pulang begitu penguburan itu selesai tanpa termenung sejenak pun di kuburan. Satu hal yang mengherankan dia. Salah seorang pengurus kuburan mengatakan bahwa aku tidak tahu berapa umur ibuku yang sebenarnya. 
 Rasanya aku ingin meledak dalam tangis. Tapi keinginan ini tentulah keinginan yang koyol. Untuk pertama kali aku menyadari bagaimana semua orang membenciku. (119)  
 Tujuan utamanya, kukira, adalah ingin membuktikan bahwa kejahatan yang kulakukan itu adalah perbuatan yang telah kurancang sebelumnya. Aku ingat misalnya salah satu ucpanya yang mengatakan: ”aku dapat membuktikan hal itu, para anggota juri yang terhormat, mulai dari awalnya. Pertama, anda mempunyai fakta-fakta kejahatan itu. Fakta-fakta yang sudah jelas dan terang. Dan berikutnya Anda juga memiliki apa yang kuistilahkan dengan ’sisi yang gelap’ dari perkara ini, semacam usaha atau kegiatan yang gelap dari suatu mentalitas jahat.”
 Ia menyimpilkan fakta-fakta mulai dari kematian ibuku. Ditekankan olehnya bahwa aku adalah orang yang tidak berbelas kasihan, seorang yang kejam, tidak mampu menyatakan berapa umur ibuku yang sebenarnya, kunjunganku ke kolam renang di mana aku menjumpai Marie, nonton film bersama-sama dia dan akhirnya aku dan Marie ke kamarku.(133)
  Tapi, kucoba menghibur diriku, ”walau bagaimanapun, sudah menjadi rahasia umum bahwa hidup itu bukanlah kehidupan yang pantas dijalani”. Dalam arti yang luas, dapat aku pahami hanya terdapat pendapat kecil, apakah seseorang akan mati pada umur 30,60, atau 100 tahun, karena ada orang lain. Bila kehidupanku habis dan kematian telah menyudutkan aku. Sekali lagi aku berdiri menantangnya, maka cara-cara bagaimana aku mati nanti jelas akan tidak punya arti lagi. Oleh sebab itu, aku harus mempersiapkan diri menghadapi penolakan permohonanku.(153)
 Dengan kematian begitu dekatnya, ibu tentulah merasa bahwa seakan-akan berdiri ditapal batas kebebasan dan siap lagi memulai kehidupan yang lain.(164)  
   
   
   

Tidak ada komentar: